Disclaimer : Naruto isn’t mine.
Genre : Terserah lah.
Rate : T-M
Warning : Broken pair, Frontal, cheating and
hatred. OOC (ok, saya menyerahkan sepenuhnya pada reader, saya tidak mematok
bagaiman sifat charanya).
Don’t
like don’t read
Pair : Gaarafemnaru, Sasufemnaru,
Sasuhina (ditulis biar kaga ada yang komplen :P.
.
.
.
.
.
Cast
Uchiha
Sasuke (39 thn)
Sabaku
(Uzumaki) Naruto (38 thn)
Uchiha
(Hyuuga) Hinata (38 thn)
Sabaku
Gaara (39 thn)
Sabaku
(Uchiha) Shunsuke (17 thn)
Sabaku
Arashi (15 thn)
Uchiha
(Hyuuga) Hanabi (17 tahun)
Uchiha
Suki dan Uchiha Reita (twins, 17 tahun)
Cast
lain menyesuaikan.
.
.
Oh
yeah one more thing, This is not SasuNaru Lovey dovey fic (even thought I
can guarantee they will be together again or not) so if you Don’t like it,
just Get out and push the exit button. I think if you are smart you can read
the chara name and not blame me about misunderstanding of yours
.
.
.
Hari pertama.
Pasti menyenangkan. Pertama-tama yang harus
dilakukan adalah mengenali siapa musuhmu. Menyelidiki setiap kelemahan dan
kekuatannya. Dengan begitu kau akan bisa mengalahkannya dengan mudah.
.
.
.
.
.
“Hiks
hiks kenapa mereka melakukan ini padaku? Apa salahku pada mereka?.” Seorang
gadis berambut pirang tengah menangis tersedu-sedu dalam pelukan seorang pemuda
berambut merah menyala. “Meraka jahat, mereka jahat, aku membencinya. Tega
sekali mereka.” Ia terus mengulang kata-kata itu. Meluapkan rasa sakit hatinya
pada dua orang yang dipercayai dan disayanginya.
“Sst,
lupakan mereka. Mereka tidak pantas kau ingat.” Kata pemuda merah itu sembari
mengeratkan pelukannya pada tubuh ringkih sang gadis pirang yang kini terlihat
gemetaran. Betapa sakit hati pemuda itu saat melihat gadis yang dicintainya
menangis seperti ini.
“Aku
membenci mereka. Aku tidak akan memaafkan mereka.” Ucapnya berulang-ulang.
Gaara
mengendurkan pelukannya. “Naruto.” Pemuda itu menangkup pipi gadis itu. ia
memaksa gadis itu untuk menengakkan kepalanya dan menatap lurus ke matanya
”Lupakan mereka dan mulailah hidup baru.”
Gadis
itu menatap wajah Gaara. “Tegakkan kepalamu dan buat mereka menyesal karena
telah menyakitimu. Mengerti?.”
“Tapi
anak ini. . .” Naruto kembali menunduk. Kini ia tengah menatap perutnya yang
masih datar. Ia tidak mungkin bisa lepas dari masa lalunya jika anak ini masih
ada. Tapi dia tidak mau menggugurkan kandungannya. Biar bagaimanpun anak ini
tidak bersalah. Ialah yang bersalah karena terkena bujuk rayu laki-laki
brengsek itu hingga dengan sukarela menyerahkan tubuhnya.
“Aku,
aku yang akan menjadi ayahnya. Aku yang akan menikahimu dan bertanggung jawab
atas anakmu.”
Naruto
kaget tidak percaya apa yang baru didengarnya. Naruto menatap wajah Gaara.
“Tidak,
bagaimana kau bisa melakukan itu, aku tidak bisa membiarkanmu menanggung yang bukan
kesalahanmu.” Gadis itu dengan panik menggelengkan kepalanya. Ia senang karena
anaknya tidak akan terlahir sebagai anak haram. Tapi ia tidak mau mengorbankan
satu-satunya sahabat yang ia miliki saat ini. Gaara berhak mendapatkan gadis
yang lebih baik darinya.
“Naruto.”
“Tidak!.”
Naruto menutup telinganya.
“Naruto!.”
Bentaknya. Naruto tersentak.
Gaara
menangkap kedua tangan gadis itu. Memaksanya untuk mendengar apa yang ingin
dikatakannya. Ia menatap lurus mata shappire yang sangat disukainya itu.
“Dengar!
Aku melakukannya bukan untukmu. Aku melakukannya untuk diriku.” Ucapnya dengan
penuh ketegasan. Gaara harus memastikan agar Naruto dapat menangkap
kesungguhannya. Ia melembutkan suaranya. “Aku- aku mencintaimu . . . sejak
pertama kali melihatmu.”
Mata
shappire Naruto membesar memandang Gaara. Gaara dapat melihat ketidakpercayaan
dan keraguan dibola mata yang ia puja keindahannya itu. Naruto bingung. Sungguh
ia tidak pernah menyangka bahwa ada orang yang sangat mencintainya berada
didekatnya. Selama ini ia begitu dibutakan oleh pesona seorang Uchiha Sasuke
hingga tidak menyadari bahwa ia telah melukai perasaan Gaara. Naruto meragu tapi
saat melihat wajah Gaara, ia tidak menemukan apapun selain ketegasan. Gaara
tidak berbohong padanya. Ia tau ia tidak punya pilihan.
Ia
kembali jatuh.
“Kenapa?
Kenapa kau mengatakannya sekarang? Kenapa kau tidak mengatakannya dari dulu.”
Naruto kembali terisak. Semua emosinya keluar tanpa bisa terbendung lagi. ”Kalau
saja kau mengatakannya dari dulu mungkin aku. . .”
“
. . . mungkin aku akan mencintaimu sekarang.”
Gaara
kembali mendekap Naruto dengan erat. Ia menyesal. Kalau saja ia mengatakannya
dari dulu mungkin Naruto tidak akan jatuh ke pelukan Uchiha bungsu itu. Mungkin
saja saat ini Naruto sudah menjadi miliknya. Kali ini, setelah ia mendapatkan
kesempatannya lagi. Ia bersumpah tidak akan pernah melepaskan Naruto lagi.
.
.
.
“Maaf.”
.
.
.
Shunsuke terbangun dari tidurnya saat merasakan
sinar matahari pagi menyusup dari jendela kamarnya. Pemuda itu mengerjapkan
matanya untuk membiasakan matanya dengan cahaya yang semakin terang.
‘Oh, sudah pagi.’
Iapun bangun dan meregangkan tubuhnya. Ia kemudian
masuk kamar mandi untuk membersikan diri. Dia langsung berjalan menuju kamar
mandi dan membasuh tubuhnya dengan air hangat. Setelah selesai, Ia lalu
mengambil jubah mandi dan berjalan kedalam ruangan yang penuh dengan
pakaiannya. Beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Jepang, ibunya Naruto
telah mengirim barang-barangnya kemari hingga ia tidak perlu repot membawa
banyak barang saat akan naik pesawat.
Ibunya itu memang penuh perhitungan dan persiapan.
Shunsuke merasa sangat beruntung memiliki ibu seperti Naruto. Ah jangan lupakan
juga ayahnya, si panda merah, Gaara, meski kedua orang ini seperti anjing dan
kucing tapi mereka sangat dekat. Gaara menyayangi Shunsuke seperti ia
menyayangi Arashi. Dan anehnya meski tidak memiliki hubungan darah, Gaara dan
Shunsuke memiliki ikatan dan selera yang hampir sama. Mereka bahkan bertengkar
untuk mendapatkan perhatian dari sang nyonya muda Sabaku. Jika sudah begitu,
tidak akan ada yang bisa melerai mereka kecuali si bungsu berambut merah.
“Ish,
dasar panda tua dan rubah buluk.”
Arashi selalu mengatakan itu dengan ketus saat
melihat kakak dan ayahnya bertengkar untuk mendapatkan sang Ibu. Shunsuke
selalu tertawa saat melihat kelakuan adiknya itu. Padahal dulu sang adik selalu
bersikap manis dan mengikutinya kemanapun ia pergi. Ia tidak menyangka adik manisnya
tumbuh jadi pemuda ketus dan bermulut tajam walaupun sifat kelewat cerianya
masih ada sampai sekarang.
Shunsuke memilih-milih pakaian hingga akhirnya ia
mengambil setelan jas Armani berwarna hitam dan sebuah kemeja putih dengan
merek yang sama. Ia memakainya dengan cepat. Jas itu begitu pas dengan ukuran
tubuhnya. Selera ibunya memang selalu bagus. Hampir semua pakaiannya adalah
hasil hunting dari sang ibu. Karena ia sendiri mengaku terlalu malas untuk
mengurusi hal sepele seperti itu.
Iapun segera bersiap. Ia menuju wastafel dan berkaca
di sana. Dipandangnya pantulan dirinya dalam cermin. Jas yang dipakai tidak
terlalu rapi. Kemeja yang tidak dimasukkan ke dalam celana dan 2 kancing
teratas yang dibiarkan terbuka. Memberi kesan maskulin dan fashionable pada
pemuda 17 tahun itu.
‘Ck, kenapa aku harus mirip dengan laki-laki itu
sih. Sial.’ Umpatnya dalam hati saat melihat bayangannya di cermin yang berada
di atas wastafel.
Tidak dapat dipungkiri, Shunsuke memang lebih mirip
dengan klan Uchiha ketimbang dengan ibunya sendiri. Bukan hanya mirip, tapi dia
bagai pinang dibelah dua sengan ayah biologisnya, Sasuke Uchiha. Sekali
lihatpun orang akan bisa melihat kesamaan mereka. Terkadang ia iri pada
adiknya, Arashi yang lebih mirip dengan ibunya. Meski anak itu memiliki rambut
oranye kemerahan dan mata ruby milik ayahnya ,Gaara, tapi wajahnya benar-benar
mirip dengan sang ibu.
Shunsuke kini menatap iris matanya yang berwarna
dark blue. Satu-satunya yang tidak sama dengan orang itu. Satu-satunya hal yang
membuatnya merasa terikat kuat dengan Naruto, ibunya. Meski warna itu jauh
lebih gelap dari iris sapphire ibunya.
Shunsuke mengambil sebuah kotak yang berisi contac
lens berwarna hitam dan memakainya. Beberapa kali ia mengedipkan matanya.
Terakhir ia membuka matanya dengan perlahan dilihatnya sosok yang ada dalam
cermin. Iapun menyeringai.
Sempurna!
.
.
.
Kediaman Uchiha.
“Berapa lama lagi kau akan mempertahankan perempuan
itu Sasuke?. Kapan kau akan memberiku cucu?.”
“Sudahlah bu, ibu tahu keadaan Hinata.” Jawab Sasuke
datar.
“Makanya menikahlah lagi. Ibu akan mencarikan calon
istri yang sempurna untukmu.”
“Sudah
kukatakan, aku tidak akan menikahi perempuan lain bu. Aku hanya
mencintai Hinata.” Ucap Sasuke. Sudah berapa kali ibunya memaksa untuk menikah
lagi. Entahlah. Ia sampai bosan mendengar ibunya selalu mengeluh dan memaksanya
mengikuti perjodohan lagi hanya untuk mendapatkan keturunan. Ia tidak mungkin
meninggalkan Hinata. “Lagipula ada Hanabi. Dia cucu ibu juga.”
“Gadis itu bukan cucuku. Aku ingin cucu kandung,
bukan cucu angkat yang tidak jelas asal usulnya.”
“Hanabi bukan
anak yang tidak jelas bu. Dia anak dari sepupu Hinata. Dia dari keturunan Hyuga
yang terhormat.”
Sepuluh tahun lalu, setelah mengetahui Naruto
memiliki anak dari Sasuke, pasangan itu sepakat mengangkat Hanabi yang baru
saja kehilangan orang tuanya dalam kecelakaan. Mereka berharap dengan adanya
Hanabi, Mikoto tidak akan mengungkit lagi mengenai keturunan tapi ternyata
mereka salah. Mikoto semakin gencar menyuruh Sasuke untuk menikah lagi.
“Tetap saja, tidak ada darah Uchiha yang mengalir
dalam tubuhnya.” Mikoto berjalan dengan anggun meninggalkan sang putra.
Bagaimana ia bisa menerima Hanabi jika ia tau ia
memiliki cucu kandung dari Sasuke? Menggelikan bukan? Orang yang tidak seharusnya
menyandang nama Uchiha malah memakainya
dibelakang namanya, sedangkan orang yang berhak memakainya justru memakai nama
keluarga orang lain.
.
.
.
Shunsuke turun dari kamarnya menuju ke ruang makan
di lantai bawah. Disana ia hanya melihat Iruka dan Kakashi yang sedang menata
sarapan bersama beberapa maid. Oh, salah. Hanya Iruka yang bekerja menata
makanan bersama beberapa maid sedang Kakashi hanya berdiri beberapa langkah
dibelakang Iruka. Tangannya terlipat didadanya. Ia terlihat sedang menatap tajam
‘Istrinya’ yang tampak akrab dengan maid-maid wanita itu.
Dari jarak inipun Shunsuke dapat melihat kerutan
berbentuk perempatan jalan di kepala Kakashi saat tangan ‘istrinya’ secara
tidak sengaja menyentuh tangan maid wanita yang membantunya. Shunsuke hanya
dapat tersenyum geli saat melihat tingkah Kakashi yang terlihat menahan
kecemburuanya dari balik masker yang ia kenakan. Shunsuke mendekati kedua paman
itu dengan hati-hati.
“Ohayou.” Sapanya.
“A- ohayou
tuan muda.”
Shunsuke mendekati meja makan putih berbentuk
persegi panjang itu dengan ukiran indah berwarna emas di sisi-sisinya. Ia duduk
di salah satu kursi di seberang Iruka dan Kakashi berdiri.
“Ne paman Iruka.”
“Ya?.” Iruka menghentikan pekerjaannya dan beralih
memandang Shunsuke.
“Jangan panggil aku tuan muda ne. Aku tidak suka.
Lagian pamankan yang membesarkan ibu dari kecil. Jadi anggap aku juga sama
seperti ibu. Panggil nama kecilku saja.”
“Tapi . . .”
“Kakek juga sudah mengijinkan. Paman sudah lama ikut
keluarga Sabaku jadi keluarga ini sudah menganggap paman sebagai keluarga
sendiri. Lagian ibu yang paman asuh menikah dengan Dad.”
Setelah orang tua Naruto meninggal, Irukalah yang
merawat gadis pirang itu hingga dewasa. Lalu apa hubungan mereka berdua? Hmm,
memang kedua orang ini tidak ada mirip-miripnya sama sekali tapi mereka berdua
masih bisa di sebut saudara sepupu karena ibu Iruka adalah kakak sepupu dari
Kushina, ibu Naruto.
“Ba-baiklah. Shunsuke-sama.”
“Shun.” Kata Shunsuke. “Panggil aku Shun.”
“Baiklah, um . . . etto . . . Shun-kun.”
Shunsuke tersenyum. “Ne, paman.”
.
.
.
“Kaa-san aku berangkat dulu.”
“Hati-hati di jalan Hanabi.”
“Hai’ kaa-san.” Katanya sambil tersenyum. Ia melihat
sang nenek dari dalam rumah bersama kedua sepupu kembarnya, Suki dan Reita.
“Nenek selamat pagi.”
Namun seperti biasa Mikoto sama sekali tidak
menghiraukan Hanabi. Mereka berjalan menuju ke sebuah mobil mewah yang
terparkir rapi di depan mansionitu. Seorang sopir berpakaian rapi membukakan
pintu mobil itu untuk para majikannya. Ia sedikit membungkukkan badannya untuk
memberi hormat.
“Ayo cepat berangkat, nanti kalian berdua
terlambat.” Katanya pada kedua cucu kesayangannya. Berbeda sekali perlakuannya
pada Hanabi.
“Hanabi-chan, ayo kita berangkat.” Panggil Suki.
Gadis berambut dan bermata hitam itu saat melihat sang sepupu yang terlihat
diam disamping bibinya.
“Eh? Umm.” Hanabi langsung menghampiri kedua
sepupunya dan masuk kedalam mobil. Begitu semua majikannya masuk, sang sopir
menutup langsung menutup pintu mobil dan segera melajukannya keluar dari
mansion.
Kini tinggallah Mikoto dan Hinata di depan gerbang
mansion Uchiha.
“I-ibu, bi-bisakah ibu bersikap lebih baik pada
Hanabi? Ba-bagaimanapun dia juga cucu ibu.” Hinata memberanikan diri untuk
berbicara pada Mikoto.
Mikoto
menatap Hinata dengan tajam.
“Aku sudah memberinya fasilitas mewah. Apa itu
kurang?.”
“Ta-tapi . . .”
“Dan anak itu bukan cucuku. Kau tau betul siapa cucu
kandungku sebenarnya. Seharusnya kau bersyukur aku mau menerimanya disini.”
Hinata menunduk. Ia mencengkram kain kimononya
dengan erat.
“Dasar perempuan tidak berguna.”
Mikoto melewati Hinata yang masih menunduk dengan
angkuh. Wanita paruh baya itu masuk kedalam rumahnya.
Sementara Hinata masih menunduk sedih. Ia tau betul
siapa yang dimaksud Mikoto. Satu-satunya wanita yang melahirkan anak untuk
Sasuke, suaminya. Perempuan yang selalu membayangi rumah tangganya. Perempuan yang selalu menjadi
benalu dalam hidupnya.
.
.
Uzumaki Naruto.
.
.
Hanabi menunduk didalam mobil. Kedua sepupunya
tampak saling menukar pandangan kebingungan.
“Ada apa Hanabi-chan?.”
Gadis berambut coklat itu hanya menggeleng. Mereka
berdua sebenarnya tau apa yang sekarang dirasakan Hanabi. Namun mereka tidak
bisa melakukan apapun untuk membantu gadis itu.
“Yang sabar ne. Aku yakin suatu saat nenek pasti
akan berubah.”
Hanabi hanya mengangguk pelan. Sampai sekarang ia
masih tidak mengerti kenapa sang nenek sangat membencinya.
Apakah karena ia anak angkat? Tidak, ia yakin bukan
hanya itu alasannya. Pasti ada sesuatu yang lain yang disembunyikan darinya.
“Bagaimana kalo pulang sekolah kita jalan-jalan?.”
Ajak Suki. Gadis itu berusaha menghibur sepupunya. Meski Hanabi hanya anak angkat paman dan
bibinya. Tapi ia sangat menyayangi gadis itu seperti ia menyayangi Reita.
“em, yah.”
.
.
Shunsuke mengajak Kakashi bicara empat mata di ruang
perpustakaan rumah itu.
“Paman, apakah sudah mendapatkan yang aku minta.”
“Ya.” Kakashi mengeluarkan sebuah amplop besar
berwarna coklat yang entah keluar darimana. Ia membuka amplop itu dan mulai mengeluarkan
isinya. Beberapa lembar foto dan berlembar-lembar kertas yang berisi hasil
penyelidikan rahasia yang dilakukan Kakashi. Ia meletakkan foto-foto itu di
meja dan membacakan isi dokumennya. “10 tahun lalu, Uchiha Sasuke dan Uchiha
Hinata mengadopsi seorang anak perempuan yang bernama Hanabi. Menurut informasi
yang kudapat Hanabi adalah anak dari sepupu Hinata yang meninggal dalam
kecelakaan.” Kakashi menunjuk sebuah foto berisi seprang gadis muda berambut
coklat dan bermata lavender khas keturunan keluarga Hyuga. “Lalu . . .”
Shunsuke mengangkat sebelah alisnya.
“10 tahun lalu?.”
“Ah iya 10 tahun lalu. Lebih tepatnya beberapa saat
setelah anda berempat datang ke pesta ulang tahun cucu kembar Uchiha.”
“Ho?, Jadi bisa dibilang kedua orang itu mengadopsi
anak setelah tau keberadaanku.”
“Sepertinya begitu. Terlebih sejak saat itu hubungan
anggota keluarga Uchiha lain dengan pasangan Uchiha bungsu tampaknya memburuk.”
“Benarkah?.”
“Mungkin anda belum tau tapi Uchiha Ino, Istri dari
Itachi, adalah teman Naruto sejak kecil. Itachi sendiri sepertinya lebih
menyukai ibu anda ketimbang nona Hyuga itu. Fugaku dan Mikotopun dulu merestui
hubungan ibu anda dan Sasuke Uchiha. Karena itu mereka sempat menolak saat
Sasuke hendak melamar putri Hyuga itu. Hubungan mertua dan menantu itu memang
tidak terlalu dekat sejak awal apalagi setelah tau bahwa Hinata ternyata mandul
dan Naruto yang memiliki anda. Hubungan mereka kian memburuk.”
“. . .” Shunsuke terus menatap foto yang tadi
ditunjuk Kakashi dengan intens. Sesaat kemudian ia tersenyum menerikan. “I
think it’s gonna be so damn interesting.”
Kakashi hanya diam dan tidak mampu berkata-kata.
.
.
“Hanabi-chan ayo kesana. Ah itu imut sekali.” Suki
terus saja menarik lengan sepupunya dengan semangat. Hanabi hanya bisa pasrah.
Ia tahu ia tidak akan bisa menghentikan sepupunya itu kalo sudah menyangkut
hobinya. BELANJA, ya belanja. Gadis cantik itu menarik Hanabi untuk melihat
toko barang-barang yang menurutnya sangat lucu. Reita, sang adik hanya
mengikuti kedua gadis itu. Ia tidak berminat untuk menyela kegiatan keduanya.
Lebih tepatnya tidak berani. Suki kakaknya sangat mengerikan kalau sedang kesal
dan gadis cantik itu akan sangat kesal kalau ia diganggu dengan hobinya.
Beberapa kali Reita menghela nafasnya saat melihat
tingkah kekanak-kanakan dari saudari kembernya itu. Padahal Suki lahir lebih
dulu darinya tapi kenapa kelakuannya lebih mirip seperti adiknya.
“Hanabi-chan coba lihat.” Kata Suki memberi isyarat
agar Hanabi mengikutinya.
Hanabi berjalan dengan cepat berusaha mengikuti
Suki.
Brukk
Tubuh Hanabi oleng karena menabrak sesuatu di
depannya. Hanabi menutup matanya saat merasa tubuhnya oleng. Tiba-tiba sebuah
lengan meraih pinggangnya dan mencegahnya untuk tidak membentur tanah. (taulah
adegan ini kek gimana :D)
“Kau tidak apa-apa nona?.” Tanyanya.
Hanabi membulatkan matanya. Di depannya ada seorang
pemuda tampan berambut hitam yang sedang memeluknya atau lebih tepannya
menyangga tubuhnya agar tidka jatuh. Pemuda itu benar-benar tamapan. Tapi bukan
itu yang membuatnya terkejut.
“Nona? Kau tidak apa-apa?.”
Hanabi tersadar dari lamunannya. Ia segera
membenarkan posisi berdirinya.
“A… um tidak apa. Maafkan aku.” Hanabi membungkukkan
badannya.
“No prob.”katanya sambil tersenyum. “Ah aku baru 2
hari di kota ini. Maaf sudah menabrakmu.”
“Ti-tidak, aku yang salah. Hountou ni Gomenasai.”
“Ah oh ya siapa namamu?.”
“eh. Aku Uchiha Hanabi.”
“Hanabi? Nama yang cantik seperti orangnya.”
Pipi Hanabi merona mendengar pujian untuknya. Selama
ini tidak ada yang memujinya cantik. Mungkin karena ia selalu bersama Suki yang
diakuinya sangat cantik.
“
Perkenalkan, aku . . .”
.
.
.
Di Paris.
“Ne Mom, kapan kita menyusul?.” Tanya seorang pemuda
berambut merah yang sedang bermanja-manja pada sang ibu. Tumben-tumbenan ia
mendapat kesempatan seperti ini karena biasanya ayah dan kakaknya selalu
memonopoli sang ibu. Pemuda berambut merah itu tiduran dan meletakkan kepalanya
dipangkuan sang ibu dengan santai. “I miss him like hell.”
“Hmm?. Setelah semua urusan Dad di sini selesai.”
Wanita itu membelai lembut rambut sang anak. Wanita yang usianya hampir
memasuki kepala 4 itu masih terlihat cantik dan segar. Tidak sedikit dari orang
yang baru mengenalnya mengira usianya masih pertengahan 20 tahunan. Itu membuat
sang suami kadang uring-uringan karena tidak sedikit dari relasi bisnisnya
mengira sang istri adalah adiknya dan jatuh hati padanya. Naruto hanya bisa
tertawa saat sang suami menceritakan hal itu padanya.
“Benar-benar akan melakukannya?.”
“Ya.”
“Can I help too?.”
“Do you want to?.”
Bocah itu menggangguk mantap.
“Fine. Then just call and tell him.”
Senyum lebar merekah dibibir bocah merah itu. ia
langsung bangkit dari pangkuan ibunya.
“Ok.”
Pemuda itu memasuki mansion mewah itu sambil bersiul
senang. Wanita itu memandang punggung anaknya yang berjalan menjauhinya. Ia
kemudian memandang langit biru diatanya.
.
.
.
There
will be always a yellow sun for bue sky
And
the moon for black sky.
Very
black sky
.
.
.
-TBC-
.
.
.
Keren . . . Ayo siksa sasu teme
BalasHapus