.
.
.
.
.
.
Title : Lavender
.
.
.
Disclaimer :
Naruto isn’t mine. The original chara is own by Masashi Kishimoto but this
story is purely mine.
Rate :
M
Genre :
Hurt, family,Mpreg, etc.
Warning :
Ending tergantung mood. EYD yang nggak jelas, OOC, BoysxBoys, banyak typonya.
Mpreg
Mpreg on real life basically impossible at this time
but possible on fanfic. So don’t be too rush ‘bout biology, OK? It only my
imagination.
Don’t like don’t read.
Purely made by : Gothiclolita89.
.
.
"Aku sudah bersabar Sasuke. Dan kini kesabaranku sudah habis.".
.
.
.
.
.
Chapter 3. Mistakes
.
.
.
"Naruto!."
Sasuke menarik tangan Naruto ke belakang. Tubuh pemuda pirang itupun terjengkang ke belakang menimpa sang pria berambut raven. Pemuda raven itu langsung memeluknya erat seolah ingin melindunginya dari bahaya. Mereka jatuh terduduk tepat di besi pembatas jalan. Sedetik kemudian sebuah mobil berwarna hitam melaju kencang tepat beberapa centi di depan mata pemuda pirang itu. Mata biru itu pun melebar memancarkan sinar ketakutan. Pemuda raven itu mengeratkan pelukannya saat merasakan tubuh pemuda yang di cintainya mulai gemetar dan terisak.
"Sudah, jangan menangis." Ia menepuk punggung Naruto dengan pelan. Ia mengalihkan pandangannya pada mobil hitam yang hampir saja menabrak orang yang dicintainya. Ia membulatkan matanya. Ia mengenali mobil itu.
'Tidak mungkin, mobil itu. . . .'
.
.
.
Sejak itu Sasuke tidak bisa tenang. Kejadian beberapa hari lalu yang hampir saja merenggut Naruto dari sisinya selalu berputar di kepalanya. Mobil itu jelas-jelas milik Uchiha. Sepertinya tua bangka itu sudah mulai bergerak. Apa yang harus dia lakukan?. Apalagi kejadian bukan yang terakhir kalinya. Selama beberapa hari ini entah berapa kali Naruto hampir saja terluka. Ini tak bisa di biarkan. Sasuke mengepalkan tangannya marah.
Tiba-tiba saja Hpnya berbunyi. Ia melihat nomor Naruto di sana. Ia buru-buru mengangkatnya.
"Dobe, kenapa kau tidak pulang-pulang hah?!." Teriaknya marah.
"A-ano- saya bukan pemilik telpon ini." Sasuke kaget. Benar, ini bukan suara Dobenya. Lalu siapa? Siapa yang memakai telpon Dobenya? Suaranya seperti suara seorang wanita.
"Siapa kau?."
"Saya teman sekelas Naruto. Saya ingin mengabarkan Naruto mengalami kecelakaan. Sekarang dia ada di klinik universitas. . . "
Sasuke merasa mendapat hantaman keras di kepalanya. Ia segera menutup telpon itu dan bergegas menuju klinik.
.
.
.
Brakk!
Dengan kasar, ia membuka pintu klinik itu.
"Naruto!."
Disana Sasuke melihat Naruto terbaring di ranjang klinik dengan keadaan tangan kanan yang di balut perban. Wajahnya tampak sedikit pucat. Sepertinya ia masih tidak sadar. Di sampingnya ada seorang wanita berpakain putih.
"Bagaimana keadaannya?."
"Anda?."
"Saya keluarganya." Kata Sasuke berbohong. Well, tidak juga sih, soalnya dia sudah menganggap Naruto 'istrinya'.
"Naruto baik-baik saja. Tangan kanannya hanya terkilir. Mm, tapi kusarankan sebaiknya kau memeriksakannya ke ahli syaraf. Aku takut ada syaraf motoriknya yang terluka." Kata dokter itu menerangkan. Dokter perempuan itupun meninggalkan Sasuke berdua dengan Naruto yang masih tertidur.
Sasuke duduk di samping ranjang Naruto. Ia tampak sedang termenung. Bagaimana tidak, kekasihnya saat ini sedang tidak sadarkan diri dengan tangan yang sedang di perban. Di kepalanya muncul banyak kemungkinan. Mungkinkah ini juga perbuatan ayahnya? Mungkinkah orang tua itu masih berambisi untuk memisahkannya dari Naruto. Ah bagaimana ia bisa lupa, orang tua itu akan melakukan apapun untuk mendapat apa yang diinginkannya. Ia harus memastikannya nanti.
"Engh." Erangan itu membuyarkan pikiran Sasuke. Di lihatnya Naruto sedang bergerak. Perlahan ia membuka matanya. Mengerjab-ngerjabkannya beberapa kali sebelum akhirnya penglihatannya terfokus.
"Sasuke?." Panggilnya dengan suara serak.
"Kau tidak apa-apa Naru? Ada yang sakit?. Katakan padaku?". Tanyanya khawatir. Ia hanya menggaguk.
"Apa yang terjadi? Kenapa kau bisa seperti ini?."
"Ng, sepertinya aku jatuh dari tangga."
"Bagaimana kau bisa seceroboh itu?." Katanya kesal. Pemuda ini membuatnya sangat khawatir . pemuda itu hanya diam. Ia memandang langit-langit klinik itu.
". . . Aku merasa ada yang mendorongku." Katanya pelan. Walau begitu Sasuke yang ada di sampingnya dapat mendengar kata itu dengan jelas. Sontak ia merasa kaget.
Mungkinkah?
.
.
.
Brakk!
Sasuke sengaja membanting pintu itu dengan keras. Ia memasuki ruang kerja ayahnya. Kini ia berada di depan meja kerja sang ayah dengan pandangan tajam penuh kemarahan. Laki-laki paruh baya itu sedang membaca berkas-berkas pekerjaannya.
"Tidak bisakah kau masuk dengan lebih sopan?." Tegur sang kepala keluarga Uchiha. Ia masih tidak mengalihkan matanya dari berkas yang ada di tangannya.
"Tidak perlu basa-basi, Ayah." Sasuke menatap tajam ayahnya. Emosinya kini benar-benar memuncak.
"Sampai kapan kau akan terus mengganggu hidupku."
"Kau sudah tau jawabannya bukan? Sampai aku mendapatkan apa yang kuinginkan." Jawabnya datar. Ia meletakkan berkas itu di meja. Fugaku kini menatap tajam mata anaknya.
"Kau!."
"Seharusnya kau memikirkan masa depanmu lebih matang Sasuke. Apa kau pikir kau bisa bahagia bersama pemuda itu?."
"Aku mencintainya. Tentu saja aku akan bahagia bersamanya." Jawab Sasuke dengan nada lebih tinggi. Fugaku terdiammenatap tidak percaya dengan jawaban anaknya.
HAHAHAHAHA!
Ayahnya tertawa dengan keras. Hal ini membuat Sasuke mengerutkan alisnya.
"Bahagia katamu? Kebahagian apa yang kau dapat dari cinta yang tidak akan menghasilkan apa-apa?." Kata Fugaku tajam. Ia kini berdiri. "Itu hanya sebuah ilusi sesaat. Setelah semua terlambat kau akan menyesali segalanya."
"Aku menyesal atau tidak itu bukan urusanmu."
"Bukan urusanku katamu? Kau sadar dengan siapa kau bicara hah?." Tanyanya dengan nada tinggi. "Aku, Fugaku Uchiha, ayah dari Sasuke Uchiha. Bagaimana aku bisa untuk tidak mengurusi kebahagiaan putraku."
"Cih!. Urus saja urusanmu sendiri." Sasuke memalingkan wajahnya. "Aku akan tetap akan bersama orang yang kucintai."
Fugaku menyeringai. " Benarkah? Kalau begitu aku akan melakukan apapun untuk memisahkanmu dengan pemuda itu. Walau . . ." Fugaku menggantung kata-katanya. Kali ini ia benar-benar serius. " . . . Harus membunuhnya."
"Kau!." Sasuke mengepalkan tangannya
"Aku serius Sasuke. Tinggalkan anak itu atau kau akan melihatnya MATI di depan matamu."
"Jadi benar kecelakaan itu benar-benar perbuatanmu?." Tanyanya dengan marah. Fugaku hanya tersenyum licik.
"Aku tidak pernah main-main Sasuke. Tinggalkan pemuda itu atau dia akan mati di depan matamu."
"Aku tidak pernah menyukai perempuan itu." Bentak Sasuke. "Kenapa aku harus menikahinya hah?."
Fugaku dengan tenang memandang anaknya. "Siapa yang menyuruhmu mencintainya? Aku hanya ingin mendapatkan cucu darimu kau mengerti?."
"Cucu? Kenapa kau tidak minta saja pada putra kesayanganmu itu."
"Aku tidak ingin berdebat denganmu! 3 bulan lagi, aku akan menyiapkan pesta pernikahan 3 bulan lagi. Kau tidak bisa menolak Sasuke."
Sasuke mengepalkan tangannya. Ayahnya benar, ia tidak bisa menolak. Ia bisa tidak peduli pada nasibnya tapi bagaimana dengan Naruto? Pemuda yang di cintainya. Ia bisa gila jika terjadi sesuatu pada Naruto. Pemuda itu adalah sumber kekuatannya sekarang. Ia tidak punya pilihan lain. Lebih baik ia kehilangan Naruto daripada melihat Naruto mati di depan matanya.
"Baik. Aku akan menikah dengan perempuan itu." Ucapnya. Fugaku hanya tersenyum licik. "Tapi sebelum aku menikah. Aku akan tetap bersama Naruto. Dan ayah tidak boleh menyentuhnya seujung rambutpun."
"Baiklah kalau itu maumu. Ayah berjanji tidak akan menyentuh bocah Uzumaki itu."
Sasuke keluar dari ruangan itu dengan membanting pintu. Fugaku hanya terdiam di tempat duduknya. Sasuke melewati lorong itu. Ia menghentakkan kakinya dengan marah.
"Sasuke." Panggil seorang pria yang memiliki wajah mirip dengannya. Bedanya ia memiliki rambut panjang dengan 2 keriput dibawah matanya. Dialah Itachi Uchiha, putra sulung keluarga Uchiha dan kakak lelaki Sasuke.
"Jangan bicara padaku!." Ia berjalan melewati Itachi dengan kesal. Ia hanya ingin bertemu Naruto saat ini.
.
.
.
Sasuke tidak menyia-nyiakan waktu 3 bulan terakhirnya bersama sang kekasih. Ia benar-benar memperhatikan Naruto dan selalu disisinya. Perubahan inipun akhirnya membuat pertanyaan dari Naruto. Tapi Sasuke selalu dapat berkelit. Ia selalu mengatakan bahwa ingin bersama Naruto selama mungkin yang ia bisa. Merekam setiap senyuman dan tingkah lakunya yang mungkin akan menjadi terakhir kalinya ia melihat itu. Ini sangat berat baginya. Ia harus meninggalkan orang yang dicintainyadan membuat dirinya dibenci.
Waktu 3 bulan itupun hampir habis. Dan hari ini tepat seminggu sebelum hari pernikahannya. Ia tidak ingin berpisah dengan Naruto tapi ia juga tidak mau melihat orang yang dicintainya mati deidepan matanya. Iapun akhirnya membulatkan tekadnya.
"Aku ingin kita putus." Betapa sakitnya hati Sasuke saat ia mengatakan ini. namun ia tidak punya pilihan lain. Ia terlalu pengecut untuk mempertahankan Naruto disisinya. Hanya ini jalan satu-satunya untuk menyelamatkan pemuda pirang itu.
Sasuke dapat melihat rasa sakit di mata Naruto saat ia mengatakan hal ini. Ia tau seberapa besar cinta pemuda itu padanya begitupun sebaliknya. Ia sangat mencintai Naruto dan ia dapat memastikan tidak akan ada yang bisa menggeser posisi pemuda pirang itu dihatinya. Tapi sepertinya takdir mempermainkan mereka ( Ano, Sasuke-san. Sebenarnya bukan Takdir yang mempermainkanmu tapi tapi Author Gebleg yang bikin cerita ini. Apa? Kenapa? Jawabannya karena dia nggak suka pantat ayam (dalam arti sebenarnya) . Jadi dia ngerjaian kamu. Coba kalo rambut kamu kaya paha ayam, pasti Author baikin kamu :9 ).
.
.
.
Seminggu sebelum pernikahan orang tua Sassuke memintanya menemani gadis itu. gadis yang membuatnya hancur. gadis yang dibencinya. Sangat dibencinya. Apapun yang dilakukan gadis itu untuk menarik perhatiannya. Ia sama sekali tidak peduli.
"Bagaimana? Gaun pengantin ini bagus tidak?." Tanya Sakura pada calon suaminya. Sasuke hanya diam mengacuhkan pertanyaan calon istrinya. Sakura yang tadinya tersenyumpun mendadak murung karena melihat ketidak pedulian sang calon suami. Ia tau bahwa Sasuke sama sekali tidak menyukainya. Pernikahan ini terjadi karena ikatan bisnis semata.
"Bagus sekali. Kau cantik sayang." Kata Mikoto memuji sang calon menantu.
Sasuke memandang keluar dari jendela kaca etalase toko itu. Ia menopang kepala dengan tangan kanannya. Tidak memperdulikan percakapan hangat antara gadis itu dan ibunya. Menatap kosong jalan yang penuh dengan kegiatan manusia. Sampai matanya menangkap sesosok pemuda berambut pirang yang sedang ditenangkan oleh seorang pemuda berambut merah di seberang jalan. Nampaknya pemuda pirang itu sedang menangis. Terlihat dari gerakan tangannya yang seolah sedang menghapus air matanya. Sasuke membulatkan matanya. Ia kenal kedua pemuda itu. Tanpa disadari, tangannya mengepal menahan marah saat pemuda merah itu merangkul dan memeluk pemuda pirang. Ia cemburu.
Begitu besar cintanya pada Naruto, ia bahkan tidak merasakan apapun saat mengucapkan ikrar pernikahan yang sakral. Setelah upacara selesai, mereka melanjutkan resepsi di sebuah aula hotel mewah. Semua orang tampak bahagia, semua kecuali sang pengantin pria tentunya. Bagaimana ia bisa bahagia jika ia sama sekali tidak mencintai perempuan itu. Ia terlihat meninggalkan pengantin wanitanya yang sedang sibuk menerima ucapan selamat dari para tamu undangan untuk minum di meja bar hotel itu. Hanya dengan minum, ia dapat melupakan segala kesedihan hatinya hari ini. Sakura yang melihat sang suami tengah mabuk membantunya untuk masuk ke kamar pengantin mereka.
Sasuke yang dalam kondisi setengah sadarpun menyerang gadis itu. Berhalusinasi bahwa Narutolah yang dipelukannya. Menidurinya seolah ia sedang meniduri kekasihnya. Memandang wajahnya seolah ia sedang melihat kekasihnya. Tidak memperdulikan tangisan dan teriakan gadis itu.
"Akh!." Gadis itu berteriak kesakitan saat tubuhnya direnggut sang suami dengan kasar. Sasuke menyeringai, saat melihat kekasihnya terlihat tengah diantara kesakitan dan kenikmatan. Ia memangut bibir itu. Merasakan setiap centi tubuh indah itu. Mencumbunya dengan penuh birahi. Ia berbisik di telinganya.
"You are mine forever." Bisik Sasuke dengan nada penuh ketegasan. Membuat Sakura mengetatkan ototnya dan memijat milik suaminya didalam tubuhnya.
"Ough." Desah Sasuke. " What a naughty kitsune. . ." Sasuke kembali menggerakkan miliknya di dalam tubuh itu dengan keras dan kasar. Sakura mendesah nikmat saat sang suami membenamkan miliknya dalam tubuhnya. Mereka berdua mencapai klimaks bersamaan. Ia dapat merasakan cairan hangat memenuhi rongga tubuhnya. Iapun tersenyum. Sasuke mencium bibir merah itu dengan ciuman panas andalannya. Sakurapun membalas ciuman panas itu. Sasuke mengeluarkan miliknya dari dalam tubuh wanita yang ada di dekapannya. Ia membaringkan tubuhnya disamping wanita itu. Iapun berbisik.
"My Kitsune. . . . I love you . . ."
"I love you too." Sakura mengusap wajah tampan itu dengan lembut. Ia tersenyum, rupanya Sasuke memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Iapun mendekatkan tubuhnya ke tubuh suaminya. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Iapun memejamkan matanya.
"I love you. . . My Kitsune . . . I love you. . . Naru-chan . . ." Igau Sasuke. Sakura yang mendengar itupun segera membuka matanya. Matanya membulat saat mendengar suaminya mengigau. Ia tidak tuli. Sepelan apapun igauan Sasuke, Sakura dapat mendengarnya dengan jelas. Airmata mulai jatuh dari mata emeraldnya.
Betapa bodohnya dia. Seharusnya dia sadar Sasuke tidak mungkin mencintainya. Mereka hanya menikah karena bisnis ingat? Sasuke merengkuhnyapun mungkin karena pengaruh alkohol. Seketika itu pula hatinya benar-benar hancur. Suaminya merengkuhnya tapi memikirkan orang lain. Suaminya bercinta dengannya tapi membayangkan orang lain. Ini adalah penghinaan terbesar bagi seorang wanita.
Esok paginya Sasuke yang menemukan dirinya tidur di samping wanita itu marah besar, ia merasa Sakura telah menjebaknya agar bisa tidur dengannya. Ia tidak peduli dengan tangisan gadis itu.
Setelah malam pertama, mereka kembali ke rumah utama keluarga Uchiha. Ia menolak rencana bulan madu dengan alasan sibuk. Sebagai gantinya, mereka akan menginap selama satu minggu di salah satu hotel bintang lima milik keluarga Uchiha. Setelah malam pertama itu, Sasuke tidak pernah berniat menyentuh istrinya. Mereka hanya tidur dengan saling membelakangi.
Hari itu Sasuke mengendarai mobilnya. Ia sudah tak bisa menahannya lagi. Sudah sebulan lamanya ia tidak menemui kekasihnya atau bisa dikatakan mantan kekasih. Dengan ragu ia melangkah menuju apartemen mereka. Apartemen yang ia berikan pada pemuda itu saat mereka masih bersama.
'Jam segini pasti Naruto sedang ada di kampusnya.' Katanya dalam hati. Ia mengeluarkan sebuah kartu yang merupakan kunci apartemen itu. Dengan perlahan ia membuka pintu apartemen itu.
.
.
Gelap.
.
.
Hal itulah yang pertama kali ia lihat. Ia menyalakan lampu dari saklar disamping pintu keluar. Perlahan ia memasuki apartemen yang sudah lama ia tinggalkan. Ia mengedarkan matanya ke seluruh ruang tamu itu.
Ada yang salah, pikirnya.
Iapun semakin memberanikan diri untuk masuk ke dalam apartemen mewah itu.
Kenapa tempat ini seolah sudah lama tidak di huni?.
Kemana Naruto?
Mata Sasuke membulat saat ia melihat tempat sampah yang ada si samping perapian penuh dengan bingkai poto. Iapun dengan cepat menghampiri tempat sampah itu dan mengeluarkan isinya. Semua poto kebersamaannya dan Naruto ada di dalam tempah sampah itu. Tubuhnya melemas saat ia membayangkan bahwa saat ini Naruto benar-benar membencinya. Ia segera berlari menuju ke kamar tidur. Dibukanya lemari pakaian disamping tempat tidurnya. Isinya sudah banyak berkurang. Pakaian yang diberikannya pada Naruto masih ada tapi pakaian yang sering pemuda itu pakai sama sekali tidak terlihat. Ia mencari sebuah tas besar yang biasanya diletakkan Naruto disudut dalam lemari tapi ternyata tidak ada. Tubuh Sasuke merosot kelantai.
Ini artinya Naruto telah pergi. Naruto telah pergi meninggalkannya. Dengan langkah perlahania menyeret tubuhnya untuk berbaring di tempat tidur. Ia membaringkan tubuhnya di sisi tempat tidur yang biasa Naruto pakal. Mencoba merasakan aroma sang kekasih yang masih tersisa. Tapi nihil. Aroma citrus manis itu sama sekali tidak dapat ia cium. Ia menangis. Menangisi kelemahannya. Menangisi perasaan hancurnya. Menangisi semuanya. Andai dia bukan seorang Uchiha. Andai ia lebih memilih Naruto.
Harusnya ia sadar. Harga diri Naruto terlalu tinggi untuk tetap tinggal di tempat ini. Tempat ia dicampakkan olehnya. Ia seharusnya tau persis sifat kekasihnya itu. Sasuke tertidur dalam tangisnya. Melepaskan alam saadrnya malam itu.
.
.
.
Keesokan harinya, Sasuke terbangun saat handphonenya berbunyi.
"Moshi-moshi."
"Sasuke kemana saja kau. Cepat pulang sekarang juga!." Teriak sang ibu.
Sasuke bangun dari tidurnya. Mau tidak mau ia harus pulang jika tidak ingin kena amukan sang Ibu tercinta. Sesampainya di rumah ia disambut oleh pelayan dan Sakura yang tersenyum manis padanya. Kenapa perempuan ini ada disini? Ah ya dia lupa. Dia sudah menikahinya sebulan lalu jadi secara sah ia adalah menantu keluarga Uchiha. Merekapun makan siang bersama. Sakura dan Mikoto terlihat senang. Beberapa kali sang mertua memberi isyarat pada menantu kesayangannya itu.
"Ano, aku ingin mengumumkan sesuatu." Kata gadis itu malu-malu.
"Apa itu Sakura?." Tanya sang kepala keluarga Uchiha. Sakura melirik Sasuke yang duduk disampingnya. Ia tampak sedang menikmati makanannya. Ia kemudian mengalihkan pandangannya pada ibu mertua. Memberi isyarat 'bolehkah?' yang dijawab dengan anggukkan oleh sang ibu.
"Aku hamil."
Berita kehamilan Sakurapun disambut antusias oleh keluarga itu. Namun tidak dengan Sasuke. Pria itu sama sekali tidak bereaksi, membuat Sakura sedikit kecewa. Padahal perempuan itu berharap dengan kehadiran anak ini, Sasuke akan sedikit memperhatikannya. Tapi ternyata sikap Sasuke menunjukkan bahwa ia semakin dingin padanya. Saat kehamilan Sakura menginjak 5 bulan, Sasuke berkeras untuk tinggal diapartemen. Ia tidak peduli dengan tentangan dari keluarganya, mengingat Sakura tengah berbadan dua. Sasuke membeli sebuah apartemen mewah di dekat apartemennya dengan Naruto. Jika ia tinggal sendiri, ia akan dapat mengunjungi apartemen itu sesuka hati.
Setelah tinggal bersama sendiri, Sasuke mulai mengenal Sakura lebih dalam. Gadis itu tidak seburuk yang dipikirkannya selama ini. Tidak di pungkiri oleh Sasuke, perasaan sayang mulai muncul di hatinya. Merekapun mulai dekat. Sakurapun bersyukur dengan keputusannya untuk tinggal bersama Sasuke. Meski Sasuke masih tidak mau menyentuhnya, paling tidak pria itu tidak sedingin dulu. Saat Sakura memintanya untuk menemaninya check up, tak disangka bungsu uchiha itu mau menemaninya. Ia bahkan tampak antusias menyambut kelahiran bayi mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Sasuke mulai memperhatikan Sakura karena merasa sedikit bersalah atas sikap dinginnya yang keterlaluan dulu.
Bayi mereka lahir normal dan diberi nama Uchiha Kazuki. Anak laki-laki itu lahir dengan rambut raven sang ayah dan mata emerald sang ibu, berkulit putih pucat. Kelahirannya disambut gembira oleh kedua keluarga. Sakura dapat bernapas lega karena hubungannya membaik dengan Sasuke dan tampaknya Sasuke sangat menyayangi anak mereka.
Kazuki tumbuh menjadi anak yang pintar walau agak pendiam. Untungnya sifat anti sosial ayahnya tidak menurun padanya. Terbukti dengan banyaknya teman yang ia punya. Kazuki sangat senang melukis terutama melukis pemandangan. Hobinya ini terkadang membuat sang ayah kesal karena anak itu sering menggambar di sembarang tempat termasuk kertas kerjaan milik Sasuke. Walau begitu Sasuke sangat menyayangi Kazuki tapi tidak dengan Sakura. Ia masih saja berlaku dingin dan enggan menyentuh wanita itu walau sudah 8 tahun berumah tangga. Mereka memang sudah tidur bersama tapi tidak melakukan apapun, hanya berbaring di tempat tidur yang sama. Sakura sangat senang karena dengan begitu ia bisa mempererat hubungannya dengan sang suami yang telah lama dicintainya.
'Aku akan menunggu sampai selama apapun. Aku akan menunggu cintamu' kata Sakura dalam hati. Walau hatinya sakit setiap kali Sasuke menyebut namanya.
.
.
.
.
"Naruto."
.
.
.
~TBC~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar