Tampilkan postingan dengan label Fanfic. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Fanfic. Tampilkan semua postingan

Kamis, 28 September 2017

FF. Sekuel Memories Lies: All for you




.

.

.

.

.

Title    : Sekuel Memories Lies : All for you

.

.

Disclaimer      : Naruto isn’t mine. The original chara is own by Masashi Kishimoto but this story is purely mine.

Genre             : Terserah lah.

Rate                : T-M

Warning         : Broken pair, Frontal, cheating and hatred. OOC.

.

Don’t like don’t read. No need for flame.

.

Pair                 : Gaarafemnaru, Sasufemnaru, Sasuhina (ditulis biar kaga ada yang komplen :P.

.

.

.

By: Gothiclolita89

.

.

.

Cast

Uchiha Sasuke (39 thn)

Sabaku (Uzumaki) Naruto (38 thn)

Uchiha (Hyuuga) Hinata (38 thn)

Sabaku Gaara (39 thn)

Sabaku (Uchiha) Shunsuke (17 thn)

Sabaku Arashi (15 thn)

Uchiha (Hyuuga) Hanabi (17 tahun)

Uchiha Suki dan Uchiha Reita (twins, 17 tahun)

Cast lain menyesuaikan.

.

.

.

.

.

.

Chapter 4. Flashback

.

.

.

.

.

.

Gadis itu sedang duduk di rerumputan. Ia tampak asyik membaca buku tebal yang ada di tangannya. Sesekali bibirnya menyunggingkan senyuman indah.

“Hina-chan.” Seorang gadis bersurai pirang berlari menghampirinya. Senyum lebar tersungging di wajah cantiknya. Ia langsung duduk di samping teman wanitanya itu.

“Dengar, dengar, dengar, kau tau aku bahagia sekali hari ini.” Katanya dengan wajah berseri-seri. “Tau tidak, tadi Teme memintaku jadi pacarnya.”

Deg!

“O-oh se-selamat ya.”

“Ehehehe.” Gadis itu merekahkan senyum indah di wajahnya tanpa menyadari perubahan ekspresi gadis yang ada di sampingnya.

.

.

.

Temari memeluk adik ipar yang sudah lama tidak ia jumpai. Kankurou bahkan meluangkan waktunya di tengah kesibukan persiapan pentas Kabuki terbarunya. Secara bergantian mereka memeluk Naruto dan Arashi.

“Bagaimana kabarmu Naruto?. Nee-san merindukanmu.” Kata Temari ketika memeluk Naruto.

Naruto tersenyum, “Baik Nee-san.”

“Oh ya, bagaimana dengan Gaara? Kenapa dia tidak ikut dengan kalian?.” Tanya Kankurou yang tidak melihat kedatangan Gaara.

“Gaara baik, sayangnya dia ada bisnis penting dengan salah satu perusahaan besar asal Kanada, jadi dia tidak bisa ikut. Tapi dia berjanji akan menyusul jika semua pekerjaannya sudah selesai.”

“Aish anak itu, selalu saja pekerjaan yang ada di dalam kepalanya. Awas saja kalau dia pulang akan ku marahi dia.”

Tou-san jangan marah pada suamiku.” Kata Naruto dengan sedikit merajuk. Ia menggembungkan pipinya seperti kebiasaannya sejak dulu saat merajuk. Hei, Naruto, ingatlah umurmu. Mereka melepas rindu pada sosok menantu satu-satunya keluarga itu.

“Yak!.” Pekik bocah berambut orange-merah itu. “ Kalian melupakan aku!.”

Semua memandang sosok pemuda tampan yang sedang berkacak pinggang dengan muka cemberut. Tawapun meledak. Rumah besar yang biasanya sepi itu kini benar- benar ramai oleh tawa penghuninya setelah kedatangan dua anggota keluarga. Bahkan sang kepala keluarga yang bisanya dingin dan irit bicara kini sedang tertawa terbahak-bahak.

“Tidak, Arashi-chan. Kakek tidak melupakanmu. Sini peluk kakek.” Kata Kazekage sambil merentangkan tangannya.

“Kakek! Jangan panggil Arashi-chan. Aku sudah besar.” Ia berlari memeluk kakeknya.

“Iya, iya.” Kakek itu mengelus rambut cucunya dengan sayang.

“Wah wah, Arashi-chan sudah besar ya.” Goda Temari. Naruto hanya tertawa melihat interaksi keluarganya.

Baa-san!.” Pekik Arashi kesal.

“Hai, panda kecil. Miss me?.” Arashi menoleh. Shun sudah bediri di sana dengan senyum lebar.

Hell ya. Big bro.” Pemuda itu langsung menerjang kakaknya dan memeluknya. Hubungan kakak beradik ini memang dekat. Mungkin hampir mendekati Incest tapi tenang sajalah si Gothiclolita89 ga bakal bikin mereka incest kok. Ntar malah melenceng dari cerita dan berakhir humor lagi.

.

.

.



-Kediaman Uchiha Sasuke.-

Hinata menggeser pintu kayu itu dengan pelan. Ia melihat Sasuke sedang sibuk dengan beberapa berkas di mejanya dan tampak tidak menyadari keberadaan Hinata. Wanita itu mendekati meja suaminya yang penuh dengan berkas perusahaan Uchiha yang dikendalikan oleh sang suami.

“Sasuke-kun, makan malam sudah siap.”

“Hn.” Ucapnya singkat tanpa sedikitpun menoleh pada sang istri. Seolah pekerjaannya jauh lebih menarik daripada wanita cantik yang kini menatapnya sedih.

“Sa-.”

“Pergilah Hinata. Aku akan makan nanti.” Ucapnya lagi tanpa melihat wanita yang kini menunduk dengan wajah sendu.

“Tapi. . .”

“Apa kau tidak dengar ucapanku?.” Kata Sasuke dingin. Beginilah sikap Sasuke pada Hinata jika tidak ada orang lain di sekitar mereka. Dingin dan tidak bersahabat. Mau tidak mau Hinata meninggalkan ruang kerja Sasuke.

Lagi-lagi diacuhkan. Sampai kapan Hinata sanggup bertahan?. Entahlah, hatinya seolah mati rasa. Dulu ia berpikir kalau bersama orang yang dicintainya, ia akan bahagia. Namun kenyataan tidak seindah yang diharapkannya. Ia tidak hidup didalam dongeng yang selalu diimpikannya.

“Baa-san.” Panggilan itu membuyarkan lamunannya. Seorang gadis muda berjalan menuju kearahnya.

“Hana-chan.” Hinata tersenyum hangat ketika melihat keponakannya. Saat ini hanya Hanabi lah yang bisa membuatnya merasakan sedikit kebahagiaan dalam hidupnya. Hanabi lah yang membuatnya bisa bertahan selama ini.

“Ji-san mana?.”

“Ah, Ji-sanmu sedang sibuk. Katanya kita bisa makan malam tanpa dirinya.”

“Baiklah kalau begitu.” Keduanya menuju ke ruang makan rumah bergaya Jepang tradisional itu.

.

.

.

Agaknya Hinata lupa satu hal penting.

.

.

.

Hinata memasuki rumahnya dengan wajah murung. Langkahnya terasa sangat berat. Sesekali dia terlihat sedang menahan tangisnya.

“Hinata.”

“Ni-Nii-san.” Hinata langsung berlari memeluk Neji, kakak sepupunya. Hanya pada pria muda itu dia bisa menumpahkan segala isi hatinya.

“Ada apa?.” Tanya Neji sambil mengelus rambut panjang Hinata.

“Hiks.” Hinata makin terisak keras. Neji merasa kebingungan karena adik kesayangannya semakin keras menangis.

“Ni-san.”

“Hmm?.”

“Apa aku kurang cantik? Apa aku kurang menarik? Kenapa dia tidak pernah melihatku?.”

“. . .”

“Kenapa bukan aku? Kenapa harus Naruto?. Apa kelebihan Naruto dibandingkan aku?.”

“Hinata.”

“Aku mencintainya, Nii-san. Aku mencintainya. Hiks.” Hari itu Hinata menangis seharian karena patah hati.

.

.

.

Aku akan membuatnya menjadi milikmu.

.

.

.

Tok tok tok

“ Shun, boleh Ibu masuk?.”

“Masuk saja, Bu. Pintunya tidak di kunci.”

Naruto memegang knop pintu itu dan mendiring pintu berwarna putih dengan pelan. Ia kemudian memasuki kamar Shun. Shun sedang sibuk dengan laptop dan beberapa lembar kertas di mejanya.

“Shun.” Panggil Naruto dengan lembut. “Kemarilah, kaa-san ingin bicara padamu.

Shun menoleh pada Naruto yang sudah duduk di sofa kamarnya. Ia pun menghampiri sang ibu yang sedang tersenyum padanya. Ibunya cantik sekali. Dia tidak seperti wanita yang sudah melahirkan dua anak lelaki tampan yang menjadi pujaan setiap wanita. Shun duduk si samping ibunya. Wanita itu langsung menyandarkan kepalanya di bahu sang anak.

“Kau tahu, Ayah dan Ibu sangat menyayangimu sama seperti Arashi.”

I know.” Aku tahu.

So, can we forget ‘bout this?.” Jadi, bisa kita lupakan tentang ini?.

“ . . . .”

I don’t wanna you to get involve. I . . .” Aku tidak ingin kau terlibat. Aku . . .

I can’t.”

“Shun.” Lirih Naruto.

I can’t mom. Please understand. I- I just can’t.” Aku tidak bisa mom. Tolong mengerti. A-aku hanya tidak bisa.

Mata Shun berkaca-kaca. Ia hampir menangis melihat ibunya. Ia tidak peduli jika ia terlihat lemah.

“Shun.” Naruto memeluk anaknya. Ibu mana yang hatinya tidak sakit melihat anaknya menangis penuh luka seperti ini.

“Saat aku berkaca aku melihat bayangan orang itu. Aku selalu melihatnya. Aku selalu takut dan was-was. Bagaimana jika suatu hari ibu membenciku? Bagaimana jika Ayah membenciku?. Kenapa aku harus mirip dengan dia? Kenapa aku tidak seperti Arashi yang mirip ibu?.” Lirihnya.

Naruto hanya diam. Yah , Naruto tau apa yang dirasakan Shun semenjak anak itu tau bahwa Gaara bukan ayah kandungnya. Mereka masih dekat. Hanya saja kadang Naruto melihat tatapan anak sulungnya itu memandang kosong saat Gaara dan Arashi sedang bersama. Anaknya itu seolah ingin menjauh. Namun Naruto yakin hubungan Shun dan Gaara tidak selemah itu hingga dengan mudah terputus karena darah yang berbeda. Gaara adalah orang yang membuatnya bisa hidup sampai sekarang. Semua yang ia dapatkan sekarang adalah ada Gaara bersamanya. Naruto juga yakin suatu saat Shun akan mau terbuka padanya dan inilah saatnya. Pemuda itu mengatakan apa yang dirasakannya selama ini. Naruto menggigit bibir bawahnya.

“Shun, kau tau Ayah dan Ibu tidak akan pernah membencimu. Kami mencintaimu.” Naruto berusaha memberi penjelasan pada Shun. Shun harus tau bahwa dia dan Gaara benar-benar menyayangi Shun. Tidak peduli siapa ayah kandungnya. Bagi Gaara, Shun adalah anak kebanggaannya dan akan selalu begitu. Selamanya akan menjadi Sabakuno Shunsuke.

“Aku tau. Aku tau Ibu. Tapi tetap saja. . . Ada lubang di dalam hatiku.” Shun mulai terisak. Ia menumpahkan semua yang dirasakannya sampai saat ini. Biarlah dia disebut cengeng dan lemah. Ia hanya bisa bebas berekspresi saat berada di depan ibunya.

“Shun, Semua tidak akan berubah. Tidak akan merubah apapun.”

“Setidaknya aku bisa merasa lega. Ya lega.”

Naruto melepaskan pelukannya. Ia menatap mata biru sang anak. “Ibu tidak akan menghalangimu Shun tapi Ibu juga tidak akan mendukungmu.” Ia meremas tangan Shun. Wanita pirang itu menghela nafas.

“Ibu tidak mau Ayahmu mengira Ibu masih mencintai Sasuke. Karena itu lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tapi Ibu mohon kau harus berhenti jika kau merasa terluka. Ibu dan Ayah juga akan merasa sakit jika kau sakit. Kau mengerti?.”

Naruto berbohong, bagaimana dia bisa tidak mencintai Sasuke jika pada kenyataannya sang putra selalu mengingatkannya pada pria itu. Tapi dia juga tidak berbohong jika dia merasa takut kalau Gaara mengira dia masih mencintai Sasuke. 18 tahun bukan waktu yang singkat hingga benih cinta bisa tumbuh di hatinya untuk Gaara. Ia mencintai Gaara dan ia tau ia mencintai Gaara lebih dari rasa yang pernah ia rasakan pada Sasuke. Pernah?, ia yakin perasaan cintanya pada pria Uchiha itu tak lebih dari perasaan bahwa pria itulah ayah dari putra pertamanya. Ia mencintainya, mencintainya sebagai ayah dari anak yang sangat dicintainya.

Shun tersenyum tipis. “Mom.”

“Hmm?.”

Can we sleep together?.” Tanya Shun yang masih memeluk ibunya dengan manja. Naruto menepuk-nepuk punggung Shun. Anaknya ini bisa berubah sangat manja jika ada yang dipikirkannya.

Brak!

“Kembalikan Mom!.” Arashi mendobrak kasar pintu kamar Shun. Ia terlihat kesal.

“Ck, panda bodoh datang.” Katanya dengan nada mengejek.

“Siapa yang kau sebut panda bodoh, Nii-san no Baka.”

“Ck ck ck, dasar adik tidak sopan. Di mana tata krama mu heh, dasar adik durhaka.” Shun berdecak.

“Khh, Nii-san no baka.”

Inilah yang setiap hari terjadi di rumah mereka. Shun dan Arashi selalu bertengkar memperebutkan perhatiannya. Belum lagi jika ada Gaara. Suaminya itu tidak jauh berbeda dengan kedua putra manjanya ini. Terkadang Naruto pusing bagaimana menghadapi tiga bocah besar ini. Ngomong-ngomong soal Gaara, Naruto mulai merindukan keberadaan Gaara di sisinya.

.

.

.

Pagi yang sangat cerah. Cahaya matahari yang masuk dari jendela kamarnya membuat matanya tidak bisa terpejam kembali. Ia menguap lalu melangkahkah kakinya ke kamar mandi. Setelah selasai, ia kemudian menuju ke ruang makan dimana semua orang menunggu.

“Selamat pagi.” Sapanya. Ia kemudian mendekati ibunya dan mencium pipinya.

“Selamat pagi sayang.”

“Jadi.”

“Jadi?.”

“Jadi apa rencanamu hari ini, Naruto?.”

“Ah, Arashi ingin ke Akihabara.” Kata Naruto sembari menguyah roti dengan marmalade tersebut.

“Akihabara?.”

“Ung, Aku ingin mencari video game. You know Grandpa. Akihabara is popular among us. Never visit Japan without visit Akihabara.” Ucap Arashi dengan mata berbinar-binar. Sudah sejak lama ia ingin menunjungi tempat itu.

“Ck, Akihabara terkenal diantara teman maniak gamemu.” Ejek Shunsuke.

Dan mulailah pertengkaran kecil kakak beradik yang membuat mansion itu jadi ramai. Seluruh penghuninya tampak senang walau ada keributan di depan mereka. Bahkan para pelayan tidak dapat menyembunyikan tawa kecil mereka ketika melihat kedua tuan muda itu.

.

.

.

-Di bagian benua lain-

Pria itu menegakkan tubuhnya. Meregangkan ototnya yang lelah akibat seharian penuh bekerja di kursi kebesarannya. Ia menoleh sebuah bingkai foto kecil yang selalu ia pajang. Foto keluarga kecil yang sangat dicintainya. Tatapan matanya menunjukkan kasih sayang yang sangat besar. Usianya sudah hampir setengah abad namun ketampanan ragawinya tidak luntur dimakan usia.

“Sebentar lagi, aku akan menyusulmu sayang.”

.

.

.


-TBC-

.

.

.

Jumat, 11 November 2016

FF. I'm Sorry




.

.

.

Tittle : I'm sorry

.

.

.

Disclamer : Naruto isn't mine, but this story does.

Genre : Hurt, angst, just whatever

Rate : T

Warning : GS. Don't like Don'read.

.

.

.

Tidak menerima flame, sumbangan dalam bentuk apapun.

Boleh komplen tentang EYD.

.

.

.

Cast

Namikaze Naruto

Uchiha Sasuke

Cast lain mendukung.

.

.

.

.

.

Summary: Hanya maaf. Maaf yang sudah sangat terlambat yang bisa kuucapkan.

.

.

.

.

Sudah lebih dari setengah jam mereka duduk di kursi taman rumah sakit itu namun tampaknya belum ada yang mau membuka percakapan. Sang wanita agaknya sudah mulai bosan dan tidak sabar.

"Kalau tidak ada yang dibicarakan aku-." Wanita itu baru saja akan berdiri.

"Bagaimana kabarmu?." Tanya sang pria saat melihat sang wanita berniat pergi. Wanita itupun mengurungkan niatnya dan kembali duduk.

"Baik." Ucapnya singkat.

"Oh." Sang priapun mengerti. "Lalu Menma. Bagaimana keadaannya?."

"Baik, berkat dirimu. Terimakasih sudah mendonorkan darahmu untuk anakku."

Anakku?!. Sang pria tersenyum miris. Bahkan sekarang wanita itu menyebut anak mereka sebagai anaknya. Hanya anaknya. Sebegitu bencikah ia kepadanya. Ah, tentu saja. Seharusnya ia sadar seberapa besar kesalahannya pada wanita itu. Kesalahan yang sebetulnya bukan kehendaknya. Kesalahan yang membuatnya kehilangan semua kebahagiaan dan keluarganya yang seharusnya ia miliki.

"Tidak, bagaimanapun Menma juga . . . " Tenggorokannya terasa kering. Beberapa kali dia menelan ludahnya. Bolehkah ia mengatakannya?. Anak yang bahkan tidak di ketahui keberadaannya selama ini jika saja ia tidak sengaja berpapasan dengan Naruto yang panik. " . . . Anakku."

"Ya, dia juga anakmu." Lirihnya, seolah wanita itu enggan mengakui bahwa dia adalah ayahnya.

"Naruto, aku ingin mengatakan sesuatu." Sasuke memberanikan diri. "7 tahun lalu. Alasanku bersama dengannya."

Naruto terdiam. Ia meremas roknya dengan tangan gemetar.

"Saat itu, dia sakit. Ia sakit parah. Ia datang padaku dan memohon agar aku mengabulkan permintaannya.

"A-aku tau." Naruto menunduk. Sasuke menoleh dan memandangi wanita itu. "Aku tau dan tidak apa-apa."

"Naruto . . ."

"Semua sudah lama berlalu. Tidak perlu diingat lagi."

"Jadi . . . Apakah itu artinya aku masih memiliki kesempatan? A-apakah kita bisa kembali lagi?." Katakanlah Sasuke tidak tau malu, tidak tau diri karena meminta wanita itu kembali. Tidak pernah satu haripun selama 7 tahun ini ia melupakan wajah terluka wanita pirang itu.

Naruto menggeleng. "Maaf, tapi aku tidak bisa."

"Kenapa?."

"Aku sudah menemukannya. Kebahagiaanku yang lain dan Menma sangat menyayanginya."

Sasuke terdiam.

"Kisah kita sudah berakhir 7 tahun lalu. Kuharap kau mengerti."

"Ya, aku mengerti." Lirihnya.

"Kuharap kau dan putrimu bisa menemukan pengganti dirinya."

Sasuke tersenyum kecut. Bagaimana mungkin dia menemukan pengganti Naruto sementara hati dan pikirannya selalu menjeritkan nama wanita yang kini bersamanya.

"Aku harus pergi. Menma mungkin sudah bangun sekarang."

Sasuke menatap nanar sosok Naruto yang kini beranjak meninggalkannya. Kini kisahnya benar-benar berakhir disini. Betapa ia sangat menyesalinya. Ia tidak bisa berbuat apapun. Ini adalah konsukuensi keputusan terburu-burunya dimasa lalu.

Tak bolehkah ia merasa sakit hati?. Disini dialah yang paling tersakiti. Dialah yang terkhianati. Disini dialah yang paling terluka saat suaminya lebih memilih wanita lain. Dia sadar, Sakura membutuhkan perhatian lebih karena karena wanita itu sakit keras. Tapi kenapa harus Sasuke?. Kenapa harus seorang pria yang telah memiliki seorang istri?. Masih banyak pria lain diluar sana yang masih sendiri. Lalu kenapa harus Sasuke?.

Dia tidak bisa. Dia tidak bisa membagi suaminya. Dia hanya wanita biasa. Wanita biasa yang bisa merasa sakit hati dan terluka. Karena itu dia memilih mundur. Memilih melepaskan semua masa lalu yang dirasakannya menyakitkan. Menyongsong hari esok yang diharapkan membahagiakan bersama buah hati yang kala itu tumbuh dirahimnya.

.

.

.

.

.

.

-The End-

.

.

.



Selasa, 17 November 2015

FF. Forever




.

.

.

.

.

Title    : Forever

.

.

.

Disclaimer      : Naruto isn’t mine. The original chara is own by Masashi Kishimoto but this story is purely mine.

Genre             : Hurt, Romance, Drama.

Rate                : M

Warning         : Kesamaan chara dan story tidak disengaja.

.

Don’t like don’t read

.

.

.

.

.

.

Cast

Namikaze Naruto.

Uchiha Sasuke.

Cast lain mendukung.

.

.

.

Summary: Selamanya, aku mencintaimu.
.

.

.

.

.

.

“Sasuke, sudah waktunya makan.” Kata gadis berambut pink itu.

Sasuke hanya menoleh sebentar sebelum kembali memandang hampa halaman belakang rumah jepang itu. Angin sore menerpa helaian hitam di atas kepalanya. Gadis itu menghela nafas. Lagi-lagi Sasuke mengabaikannya. Semenjak hari itu Sasuke sering melamun dan berdiam diri.

Hari dimana dia kehilangannya.

“Sampai kapan kau akan seperti ini?.” Desahnya cemas sebelum akhirnya ia masuk ke dalam rumah.

.

.

.

“Naruto. . .”

.

.

.

“Naru kau kenapa.” Tanya sang raven cemas. Sudah beberapa hari Sasuke melihatnya pucat. Beberapa kali ia juga melihat Naruto lemah dan hampir tidak kuat berjalan.

Yang di panggil Naru hanya  tersenyum. “Tidak apa-apa.”

Mereka hanya tinggal berdua di rumah mungil itu. Rumah kecil berdinding kayu tempat mereka berlindung.

“Sasuke.”

“Hn.”

“Dingin.”

Sasuke mendekatinya dan membelitkan selimut wol hangat, satu-satunya selimut yang mereka miliki, ke tubuh mungil itu. Malam ini sangat dingin. Mereka berbagi selimut itu dan tidur berpelukan.

“Sasuke.”

“Hn.”

“Kau ingat saat pertemuan pertama kita. Kakiku terluka dan terjatuh di semak-semak. Kau dan Sakura menemukanku disana. Aku berterimakasih.” Ia menyandarkan kepalanya di dada Sasuke.
Sasuke mengeratkan pelukannya.

.

.

.

“Sakura, bagaimana?.” Tanya Mebuki.

Sakura menggeleng. “Sasuke belum mau makan.” Ucapnya dengan nada cemas.

“Sejak Naruto pergi, dia jadi kehilangan semangat. Mungkin sudah saatnya.” Ucapnya.

“Ibu.” Lirih Sakura. Matanya mulai memanas. Baru 3 bulan lalu ia kehilangan Naruto. Ia tidak mau kehilangan Sasuke juga.

“Sakura, maafkan ibu.” Mebuki merasa bersalah saat melihat sang anak mulai menitikkan air mata. Ia tau Sakura sangat menyayangi Sasuke. Bagaimanapun mereka sudah bersama sejak kecil.

“Hiks Hiks.” Gadis merah muda itu terisak saat membayangkan Sasuke meninggalkannya sama seperti Naruto. Ia belum ingin kehilangan Sasuke.

.

.

.

Malam ini, Sasuke bergelung di dalam selimut wolnya. Ia menghirup aroma yang masih tertinggal di selimut lusuh itu.

“Naruto.” Matanya memanas. Ia ingin menangis kencang. Meninggalkan semua atribut ke-Uchiha-annya.

.

.

.

“Sasuke, ayo kita kesana.” Tanpa basa-basi, gadis itu langsung menyeret Sasuke ke sebuah taman di dekat kompleks perumahan mereka.

Sasuke mendengar sesuatu di semak-semak. Karena penasaran, iapun menerobos semak yang lebat itu.

“Kau kenapa?.”

“Hiks Hiks.”

“Siapa Namamu?.”

Dia menggeleng dengan cepat. Ia tidak tau namanya. Sasuke melihat kaki makhluk cantik itu berdarah. Sasukepun segera memanggil Sakura agar bisa menolongnya. Sakura segera melakukan pertolongan pertama dan membalut luka berdarah di kaki mungil itu.

“Siapa namamu hmm?.” Tanya Sakura.

“Naruto.” Katanya bermonolog sendiri.

“Hmm, kurasa Naruto cocok untukmu.”

“Naruto.” Batin Sasuke. Ia memandangi makhluk bersurai emas itu dengan intens.
.

.

.

Sasuke menangis mengingat kenangannya bersama Naruto. Ia merindukannya. Ia sangat merindukan si cerewet itu.

“Nah, Teme. Jika reinkarnasi itu ada. Aku berharap akan terlahir denganmu agar kita selalu bersama-sama. Dan kita bisa menghabiskan waktu bersama sampai tua.”

“Hn.”

“Aku mencintaimu, Teme.”

“Aku juga.”


Sasuke hampir saja memejamkan matanya saat tiba-tiba sebuah cahaya menyilaukan menghampirinya.

“Sasuke.”

Ia tidak mampu melihat dengan baik karena cahaya yang menyilaukan itu. Sesosok siluet mendekat kearahnya. Sasuke mengenalinya. Seseorang yang sangat ia rindukan saat ini.

“ . . . Naruto.”

Naruto tersenyum manis. Ia mengulurkan tangannya. “Aku datang menjemputmu.”

“Kemana?.”

“Ke tempat yang sangat indah.” Katanya dengan lembut.

Sasuke tersenyum. Ia bangkit dan menerima uluran tangan itu.

“Baiklah.”

Mereka saling tersenyum. Naruto dan Sasuke berjalan kearah cahaya menyilaukan itu sambil bergandengan tangan. Saling bertatapan dan tersenyum bahagia. Akhirnya penantiannya selama ini berakhir. Ia akan bersama Naruto selamanya.

.

.

.

“Aku merindukanmu, Dobe.”

.

.

.

Seperti hari-hari biasanya, Sakura membawa makanan untuk Sasuke sebelum ia berangkat sekolah. Ia berjalan menuju halaman belakang rumahnya.

“Sasuke, waktunya makan.” Sakura meletakkan makanan di depan rumah kecil milik Sasuke.

Sasuke House’

Lama ia menunggu tapi tak ada respon. Ia pun mengintip rumah kecil itu. Sakura berteriak memanggil ayah dan ibunya. Kizashi dan Mebuki sontak berlari menghampiri putri kesayangan mereka. Mebuki memeluk Sakura yang sudah menangis sementara Kizashi memeriksa keadaan Sasuke. Ia kemudian memberi isyarat pada Mebuki dengan menggeleng. Sakura semakin kencang menangis saat menyadari bahwa Sasuke sudah meninggalkannya.

“Sasuke pasti sedang bermain dengan Naruto di sana. Ia tidak akan kesepian lagi.” Hibur Mebuki.

Sejak rubah kecil berwarna orange peliharaannya itu mati. Sasuke, anjing Siberian berwarna hitam itu memang terlihat enggan makan dan jadi pendiam. Mungkin karena anjing itu sangat kehilangan sahabatnya. Yah, mungkin ini yang terbaik. Sakura sudah mempersiapkan dirinya namun tetap saja ia merasa sedih. Akhirnya mereka memutuskan untuk memakamkan Sasuke di sebelah makam Naruto.

.

.

.

Selamanya kita akan selalu bersama.

.

.

.

.

-End-

.

.

.

-Omake-

Sakura duduk di kursi taman dekat rumah sakit tempatnya bekerja. Ia menghirup udara segar sore hari setelah seharian penuh bekerja sebagai seorang dokter anak. Taman ini sangat ramai pengunjung saat sore. Banyak anak-anak yang menghabiskan waktu disini. Kemudian matanya tertuju pada sepasang anak kecil yang tengah berlarian riang. Ia memperkirakan kedua anak itu masih berusia sekitar 6 tahun. Ia tampak tersenyum

Brughh!

Anak perempuan berambut pirang itu jatuh terjungkal.

“Hik hik Hueee~~.”

Sakura menghampiri anak perempuan itu karena kawatir.

“Daijoubu?.”

“Hik hueee~~ cakit. Kaki Nalu cakit huee.”

“Naluto.” Seorang anak laki-laki berambut raven menghampirinya .

“Cuke. Hik kaki Nalu cakit.”

“Daijoubu, Fuu Fuu. Cuke tiup bial cakitnya ilang.” Katanya sambil meniup luka kecil di kaki gadis kecil itu. “Ayo, cudah cole. Nanti kaa-chan malah kalo Nalu dan Cuke telambat makan malam.”

Anak lelaki yang dipanggil Cuke itu menggandeng tangan sang gadis kecil dan menuntunnya dengan hati-hati.

“Um, Ba-chan. Aligato cudah menolong Nalu-nya Cuke. Cuke dan Nalu haluc pulang.” Katanya dengan sopan. Sakura tersenyum geli melihat anak sekecil itu bertingkah seperti orang dewasa. Sakura memandang dua anak itu berlalu. Ia tersenyum melihat kedua anak itu bergandengan tangan dan bernyanyi kecil dengan riang.

Ia memandang langit sore yang berwarna merah.

.

.

.

“ Naruto, Sasuke. Aku merindukan kalian.”

.

.

.

-End-

.

.

.