.
.
.
.
.
.
“Hiks hiks Sasuke
selingkuh Nee-san.” Kata gadis berambut pirang itu dipelukan wanita yang
memiliki warna rambut yang sama. “Dia dengan Sakura.”
“Apa kau yakin Naru-chan?. Mungkin . . .” Tanya wanita
berambut pirang pucat itu.
“Itu benar!. Aku melihat mereka. Aku melihat mereka hiks
be-berciuman saat aku mengantarkan makan siang hiks.”
“Apa!.
brengsek!.” Teriak wanita berambut merah itu.
“A-aku harus bagaimana Nee-san. A-aku tidak mau
kehilangan suamiku. A-aku baru menikah.” Benar, gadis itu baru menikah sebulan
yang lalu. Jadi tidak mungkin ia bisa memutuskan pernikahannya sekarang. Apalagi
pernikahan ini merupakan perjodohan orang tuanya dengan anak sahabatnya dari
keluarga Uchiha. Pernikahan ini bukan hanya tentang dia dan suaminya tapi juga
persahabatan kedua keluarga.
Wanita berambut pirang yang dipanggil Nee-san itu beradu
pandang dengan wanita lain yang berambut merah yang sedari tadi mengawasi kedua
adiknya. Wanita berambut merah itu berpikir sejenak lalu menjentikkan jarinya.
“Naru, ikut kami ke Prancis.”
“Ta-tapi . . .”
“Aku akan minta ijin pada Tou-san dan Kaa-san. aku akan
mengatakan pada mereka bahwa kau harus menyelesaikan tugas kuliah yang harus
diselesaikan sebelum wisuda.”
“Ta-tapi utuk apa Nee-san?.”
“Benar, bukankah itu akan membuat si ayam itu bebas
berselingkuh, Nee-san.” Protes Shion. Jika Naruto pergi si pantat ayam itu
pasti akan lebih leluasa berselingkuh.
Karin tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. Ia menarik
kaca mata berbingkai orange yang bertenger di hidung Naruto.
“Kau harus pergi ke Paris dan belajar . . .” Katanya
misterius.
.
.
.
“. . . Untuk membuatmu menjadi Yamato Nadeshiko.”
.
.
.
.
.
Title : Marriage
Scandal
.
.
.
Disclaimer :
Naruto isn’t mine. The original chara is own by Masashi Kishimoto but this
story is purely mine.
Genre :
Marriage
life, Hurt, Angst, Drama.
Rate :
M
Warning :
Marriage
Life,
cheating and hatred, GS.
.
Don’t like don’t read
.
.
.
.
.
.
Cast
Namikaze
Naruto.
Uchiha Sasuke.
Haruno Sakura.
Namikaze Shion.
Namikaze Karin.
Cast lain mendukung.
.
.
.
Summary:
Sakit hati, iya. Saat melihat suamimu yang mulai kucintai
bercumbu dengannya, perempuan yang kuanggap teman. Lalu apa yang akan kulakukan?
Lihat saja nanti.
.
.
.
.
.
.
Wanita
itu berjalan anggun bak model seraya menarik koper besarnya keluar dari
bandara. Ia mengeluarkan smartphonenya. Ia menghela nafas. Ia teringat dengan
kedua kakaknya. Sosoknya yang cantik dengan tubuh bak model papan atas itu membuat
semua orang menoleh padanya apalagi tubuh indah itu terbalut mini dress
rancangan desainer terkenal kelas dunia.
‘Gomen Imoutou.’ Karin menangkupkan kedua tangannya
meminta maaf. ‘ Aku dan Shion masih
mau jalan-jalan. Jadi kau pulang sendiri
ne.’
Ia
kembali menghela nafas. Ia memijit keningnya memikirkan betapa tidak
bertanggung jawabnya kedua kakaknya yang kini tengah menikmati liburan di
daratan Eropa. Mungkin ia harus meminta Tousan-nya
untuk memotong uang bulanan kakaknya biar tau rasa. Ia kemudian men-dial sebuah nomor telfon yang sudah
sangat di kenalnya.
“Moshi-moshi.” Jawab
suara dari seberang.
“Sasuke.”
“Ya, ini siapa?.”
“Ish,
suara istri sendiri masa tidak kenal.” Katanya dengan nada kesal.
“ . . . Naruto?.” Suaranya
tampak ragu-ragu.
“Aku
sudah sampai di Konoha. Sekarang aku ada di bandara. Jemput aku.” Katanya
jelas, padat dan singkat. Perjalanan berjam-jam dari Prancis membuatnya sangat
lelah. Ia tidak ingin berdebat terlebih dengan orang yang membuatnya kesal saat
ini.
“Tidak bisa, aku . . .”
“Baiklah,
kalau begitu aku akan meminta Itachi-nii
untuk menjemputku.” Selanya. Ia berpura-pura kesal. Jika sampai Itachi tau
Sasuke tidak mau menjemput Naruto maka Sasuke akan diomeli habis-habisan oleh
kedua orang tuanya.
“Tunggu! Baiklah aku menjemputmu.”
“15
menit. Jika kau belum sampai di sini, aku akan menelfon Itachi-nii.”
Piip!
Wanita
itu memutuskan panggilannya. Ia tersenyum sinis kemudian mendudukkan dirinya
dengan santai di kursi tunggu. Ia ingin melihat sejauh mana pria itu bisa
berusaha. Ia tidak akan mudah melepaskan Uchiha Sasuke begitu saja.
‘Sibuk
apa? Sibuk bermesraan dengan seligkuhanmu heh. Lihat saja nanti.’ Katanya dalam
hati. Wanita itu mulai membuka majalah fashion yang dibawanya.
.
.
.
-Sasuke Pov-
Namaku
Uchiha Sasuke, 25 tahun. Aku adalah anak bungsu dari keluarga kaya raya Uchiha.
Karena itulah, aku bisa mendapat semua wanita yang kuinginkan. Well, siapa yang
tidak akan jatuh cinta pada pria tampan dan kaya sepertiku. I’m perfect ya’ know. Tapi entah kenapa
orang tuaku memaksaku menikah dengan salah satu anak temannya. Dan mau tidak
mau aku harus menuruti keinginan ayahku. Kata-katanya adalah mutlak dan tidak
boleh di ganggu gugat.
Gadis
itu bernama Namikaze Naruto. Gadis itu cukup cantik sayang gayanya agak sedikit
kampungan. Lihatlah kacamata bulatnya yang menggelikan itu. Kenapa gadis
seperti ini yang harus jadi istriku? Yah, tapi kurasa tidak ada salahnya
menikahi gadis kampungan itu. Setidaknya aku masih bisa bersenang-senang dengan
kekasihku.
Aku
bertemu dengannya saat pesta pernikahanku dengan Naruto. Gadis itu adalah
juniorku saat masih SMA dan aku tau dia tergila-gila padaku. Tidak kusangka
gadis kecil itu bisa tumbuh menjadi gadis secantik ini. Dadanya bulat besar,
wajahnya cantik dan ia pandai memoles diri. Benar-benar tipeku.
Bukan
salahku jika aku tergoda bukan? Terlebih gadis itu menyerahkan dirinya sendiri
tanpa perlu kurayu. Aku hanya menikmati apa yang tersedia di depanku.
-End POV-
.
.
.
“Sasuke-kun,
siapa yang menelpon?.” Wanita itu mendudukkan tubuhnya di ranjang. Tubuh
polosnya hanya tertutupi selembar selimut putih.
“Istriku.”
Katanya datar. Ia mengancingkan kemeja mahalnya dengan cepat. Sakura tampak
kaget. Hilang sudah rasa kantuknya saat mendengar nama yang sangat ia benci.
Benci karena gadis itu bisa menjadi istri sah seorang Sasuke Uchiha yang sangat
dipujanya.
“Naruto?.”
“Siapa
lagi?.” Sasuke menatap Sakura bosan. Terkadang ia merasa jengah juga terhadap
wanita itu.
“Dia
kembali?.”
“Ya,
dan dia memintaku segera menjemputnya atau dia akan meminta Itachi-nii.” Sasuke bergidik ngeri jika
membayangkan jika sang kakak marah padanya. Bukan itu saja, ayah dan ibunya
pasti juga akan menasehatinya sampai telinganya panas. Tentang bagaimana
seharusnya seorang suami, tentang seorang pria dewasa dan gentleman dan masih banyak lagi. Tamat riwayatnya jika Naruto
sampai mengadu pada Itachi.
.
.
.
Wanita
itu, melirik jam tangannya dengan wajah kesal. Sudah hampir 20 menit tapi
jemputannya belum datang. Padahal dia tau jarak kantor Sasuke tidak lebih dari
15 menit dari bandara.
‘Berani
kau mengabaikanku. Awas saja kau ayam.’
.
.
.
Sasuke
memasuki bandara dengan tergesa-gesa. Dia tentu tidak mau mendengar ceramah
dari ayah dan ibunya juga kakaknya. Ia menuju meja resepsionis untuk menanyakan
jadwal pendaratan hari itu.
“Permisi
nona, pesawat dari Prancis, apa sudah mendarat?.”
“A-ah,
ya. Ti-tiga puluh menit yang lalu.” Katanya gugup.
“Shit!.”
Sasuke berbalik dan mencari sosok istrinya. Seorang gadis muda dengan kacamata
bulat dan rambut pirang panjang yang harus ia akui sangat indah bahkan lebih
indah dari surai pink milik Sakura berdiri menghadangnya dengan tangan terlipat
di dadanya. Wajahnya yang tertutup kacamata merk Gucci tampak kesal.
“Kau
terlambat 10 menit Uchiha Sasuke.” Seorang perempuan berdiri di depannya dengan
berkacak pinggang. Mata Sasuke membulat. Di depannya sedang berdiri seorang
wanita yang sangat cantik dengan wajah kesal. Sejenak tubuh pria itu membeku.
Sasuke merasa mengenal wanita itu. Wanita itu sangat cantik. Kulitnya putih
bersih. Sasuke memandang wanita itu dengan takjub. Ia melihatnya dari atas ke
bawah dan begitu sebaliknya berkali-kali. Sebuah gaun berwarna merah menyala
melekat ketat di tubuh langsingnya di padukan dengan stilleto sederhana berwana
hitam. Riasan tipis dan natural serta lipstik pink pastel menghiasi wajah
cantiknya. Rambut pirang indahnya di gerai dengan sedikit di beri gelombang dan
volume.
Tunggu!
Rambut pirang?
“Naruto?.”
Katanya dengan tidak yakin.
Wanita
itu memutar matanya dengan malas. “Kau pikir siapa?.”
Sasuke
terkejut. Ia masih tidak percaya wanita cantik didepan matanya itu adalah
istrinya yang dulu sedikit kampungan. Look
like a duck became a ghoose. Naruto menghampiri Sasuke dan menggandeng
lengan suaminya. Tidak lupa ia menyerahkan koper besarnya pada sasuke.
“Aku
lelah. Aku ingin cepat pulang.”
“I-iya.” Kata Sasuke gugup. Ia tidak tau harus berkata
apa.
Sasuke
membawakan koper besar milik Naruto dan menggeretnya ke dalam mobil.
.
.
.
Naruto
mematut dirinya di depan cermin meja rias. Ia memakai pelembab, mengoleskan lip
gloss di bibir merahnya dan tidak lupa menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Eau de Toillete keluaran Channel yang
mengeluarkan aroma manis nan menggoda. Lihatlah dia sekarang, bukankah dia
terlihat menggoda?. Ia hanya memakai sleep
wear berwarna biru tua dengan hiasan renda transparan berwarna hitam.
Koleksi dari rumah mode terkenal Victoria secret yang khusus merancang lingerine dan underwear. Ia membeli beberapa potong sesuai dengan saran
kakak-kakaknya saat ia ‘belajar’ di kota mode dunia itu.
‘Jika kau ingin mendapatkan suamimu kembali. Kau harus
menjadi istri yang sempurna. Bukan hanya di luar rumah tapi juga di ranjang.
Jika suamimu puas. Maka dia tidak akan melirik wanita lain.’
Cklek!
Pintu
kamar utama terbuka. Sasuke masuk kedalam kamarnya setelah mengantar orang
tuanya pulang. Walau sebenarnya kediaman mereka hanya terpaut beberapa rumah.
Sasuke memasuki kamarnya. Ia sedikit terkejut saat melihat Naruto duduk di
pinggir tempat tidurnya.
Naruto
menoleh saat merasa Sasuke memasuki kamar mereka. Ia berdiri dan mendekati
Sasuke. Ia tau beberapa kali laki-laki itu menenguk ludahnya. Ia medekatkan
tubuhnya ke tubuh Sasuke hingga pria itu dapat mencium wangi tubuhnya. Ia
mendongak dan mencium bibir Sasuke yang di balas dengan lumatan kasar dari sang
suami. Setelah berapa lama merekapun melepaskan ciuman itu. Sasuke merasa
bergairah karena ciuman tadi begitupun Naruto.
Naruto
sedikit menjauhkan dirinya dari Sasuke dan melepaskan ikatan simpul jubah
tidurnya. Naruto terlihat sangat seksi dan menggoda dengan hanya dibalut sebuah
sleep wear tipis berbahan sutra biru
yang sangat pendek. Bahkan gaun itu tidak bisa menutup separuh pahanya.
“You know, this is our first night. Mari
kita buat berkesan.” Katanya dengan penuh senyuman. Senyuman yang sangat
menggoda di mata Sasuke.
Malam
ini akan menjadi malam yang sangat panjang untuk mereka. Biarlah, toh mereka
memang sudah sah menjadi suami istri.
.
.
.
Sakura
merapikan make up-nya. Memakai
sedikit bedak dan mengoleskan lipstik sewarna rambutnya di bibir. Setelah
dirasa rapi, ia membuka pintu mobilnya dan keluar. Hari ini ia sengaja datang
ke kantor Sasuke dan berencana mengajaknya makan siang. Ia memasuki gedung
perkantoran itu dengan anggun dan penuh percaya diri. Beberapa orang yang
melihatnya menyapanya dengan sopan. Ia memang sudah tidak asing dengan kantor
ini berhubung hampir setiap hari ia memasuki perkantoran mewah Uchiha.
“Apakah
Sasuke ada di tempat, Hanabi-san.” Tanyanya pada sekretaris Sasuke. Hyuuga Hanabi,
seorang wanita cantik berambut coklat. Meski cantik, ia tidak akan cemburu pada
wanita ini karena wanita ini jelas-jelas tidak tertarik dengan Sasuke,
kekasihnya dan lebih tertarik pada Suigetsu, salah satu personal assistance Sasuke.
“Ah,
ya tapi . . .”
“Kalau
begitu aku masuk ya.” Sela Sakura sebelum Hanabi selesai bicara.
Sakura
berjalan ke arah pintu dan membuka pintu besar tersebut.
“Sasu
. . .” Senyum cerahnya luntur saat melihat pemandangan yang ada di depannya. “.
. . ke?.”
.
.
.
Jam
dinding menunjukkan angka 11.30. Naruto menata makanan yang akan di bawanya ke
kantor Sasuke. Ia sengaja meminta Mikoto Kaa-san untuk mengajarinya memasak
masakan kesukaan Sasuke sejak tadi pagi. Naruto buru-buru ke rumah pasangan
Uchiha senior setelah Sasuke pergi ke kantor.
‘Nona Sakura selalu datang jam 12.15 dan mengajak Tuan
Sasuke untuk makan siang. Tidak jarang mereka kembali 3-4 jam kemudian.’
Setelah
semua siap, Naruto menyuruh sopir pribadinya untuk segera ke kantor Sasuke.
Rumah mereka dan kantor Sasuke hanya menempuh waktu 20 menit dengan kecepatan
sedang. Sang sopir dengan hati-hati memarkirkan mobil mewah itu di basement.
Sebelum keluar dari mobil, Naruto kembali menata dirinya. Ia tidak mau terlihat
mengecewakan. Ia harus menunjukkan bahwa dialah nyonya Uchiha yang lembut dan
elegan. Sang sopir membukakan pintu untuk nyonya mudanya.
“Kita
sudah sampai nyonya.” Katanya dengan sedikit menunduk.
“Terima
kasih. Kau bisa makan siang di kantin. Jika akan pulang aku akan
menghubungimu.” Ucap Naruto lembut yang dijawab dengan hormat oleh sopirnya.
Sopir
itupun menunduk hormat. Naruto menggunakan lift untuk sampai ke kantor Sasuke,
suaminya. Saat melewati aula kantor, semua orang memandanginya dengan tatapan takjub
dan penasaran siapa gerangan wanita cantik itu. Naruto tiba di depan ruangan
Sasuke. Di depan ruangan itu ada sebuah meja yang di isi oleh seorang
sekretaris.
“Maaf,
apa Sasuke sedang sibuk?.” Tanyanya sopan. Kesan pertama selalu berkesan, kau
tau. Karena itu ia memberi kesan sebagai seorang wanita dan istri yang baik.
“Maaf
anda siapa?.” Kata Hanabi memperhatikan penampilan wanita itu dari ujung kaki
sampai ujung kepala. Ia merasa tidak pernah melihat wanita yang kini berdiri di
depannya.
“Aku
Uchiha Naruto, Istri dari Uchiha Sasuke.” Jawabnya dengan tenang. Sontak Hanabi
kaget dengan pernyataan itu. Jujur, ia tahu kalau bosnya sudah menikah tapi ia
belum pernah melihat istri bosnya secara dekat. Wajar kalau dia tidak bisa
mengenali Naruto.
“A-ah
ya, Silahkan masuk.” Kata Hanabi mempersilahkan. “Maafkan saya nyonya, saya
tidak tau kalau anda adalah istri Direktur.”
Naruto
tersenyum. “Tidak apa, wajar karena kita belum pernah bertemu secara langsung
seperti ini.” Ia segera melangkah ke ruangan Sasuke.
Sasuke
tampak sibuk dengan kertas-kertas di mejanya sampai-sampai ia tidak menyadari
Naruto yang masuk ke ruangannya. Wanita itu menuju sofa dan meletakkan bento buatannya di meja. Sasuke
menyadari ada orang lain saat mendengar bunyi yang sedikit keras. Ia
mengalihkan pandangannya ke meja sofa yang ada di kantornya. Terlihat Naruto
sedang meletakkan kotak bento dan
menatanya di atas meja. Ia melihat jam tangannya. Ternyata sudah menunjuk angka
12.
“Sasuke.”
Panggil Naruto. “Ayo makan dulu. Ini sudah waktunya makan siang.” Wanita itu
menghampiri Sasuke sambil tersenyum dan menarik tangan pria itu.
“Aku
masih banyak pekerjaan, Naruto.”
“Kau
harus makan dulu. Aku tidak mau kau sakit. Lihat, aku sudah membawa makanan
kesukaanmu.”
Sasuke
melihat menu yang dibawa Naruto. Semua terlihat menggiurkan dan semua makanan
ini adalah makanan kesukaannya.
“Darimana
kau . . .”
“Aaaa.
. .” Naruto menyodorkan makanan ke mulut Sasuke dan mengisyaratkan pria itu
untuk membuka mulutnya. Refleks pria itupun membuka mulutnya dan menerima
suapan Naruto.
“Bagaimana? Enak tidak?.”
“Hmm,
enak.” Kata Sasuke sambil menguyah makanannya. Naruto tersenyum senang. Makanan
yang di makannya benar-benar enak seperti yang sering di buatkan Mikoto
untuknya. Entah kenapa saat Sasuke melihat senyum Naruto dadanya menghangat.
Iapun ikut tersenyum. “Kau juga harus makan. Kau juga belum makan kan?.”
Mereka
saling menyuapi dan berbincang. Tampak kehangatan diantara mereka. Agaknya
Sasuke mulai menyukai suasana ini.
Brak!
“Sasu-“
Teriakan itu mengganggu acara makan mereka. “-ke?.”
Mereka
mengalihkan pandangannya pada pintu ruangan Sasuke. Wanita itu berdiri mematung
di sana dengan wajah terkejut. Naruto dan Sasuke menghentikan acara saling
menyuapi mereka. Naruto memasang wajah terkejut saat melihat kedatangan Sakura.
“Loh?
Sakura?.”
“Na-naruto?.”
Sakura tampak ketakutan. Oh, sial!. Dia lupa kalau Naruto sudah pulang kemarin.
“Eh?
Sedang apa kau di sini?.” Tanya Naruto. Naruto meletakkan sumpit yang dibawanya
di atas meja.
“A-aku
. . .”
“Ah!
Aku tau, pasti Sasuke yang memberitahumu kan?.” Katanya menyela kata-kata
Sakura.
“I-iya,
Sasuke-kun ma-maksudku Sasuke-san yang memberi tahukan padaku. A-aku sengaja
memberi kejutan.” Jawabnya gugup.
“Oh
ya, kamu sudah makan siang?. Mau makan bersama kami?.” Tawarnya dengan
tersenyum manis.
“Ti-tidak
usah. Aku ada urusan lain.” Kata Sakura menolak.
“Ya
sudah. Kapan-kapan mainlah ke rumah kami. Aku dan Sasuke akan dengan senang
hati menjamumu.” Katanya sambil mengapit lengan Sasuke dengan mesra. Membuat
Sakura merasa cemburu.
.
.
.
Sakura
keluar dari ruangan Sasuke dengan marah. Rasa cemburu membakarnya. Seharusnya
ia yang ada di samping Sasuke bukan Naruto. Ia yang lebih pantas dan berhak.
Karena dia dan Sasuke saling mencintai. Ia memasuki mobilnya. Sakura terdiam
sambil mencengkram kuat kemudi mobil mmewahnya kemudian mengambil ponsel pintar
dari hand bag miliknya kemudian mengetik pesan pada Sasuke.
‘Temui aku malam ini di apartemen. Aku butuh penjelasan.’
Setelah
menekan tombol send. Ia melempar ponselnya ke kursi di sebelah pengemudi lalu
melajukan mobilnya keluar dari basement perusahaan Sasuke.
.
.
.
Naruto
menata kembali bento yang dibawanya
saat ponsel Sasuke bergetar. Ia melirik ke arah kamar mandi. Ia lalu mengambil
ponsel yang tergeletak di meja itu dan melihat notifikasi pesan masuk yang
berbunyi.
‘Temui aku malam ini di apartemen. Aku butuh penjelasan.’
Naruto
tersenyum sinis. Ia lalu meletakkan ponsel itu kembali ke atas meja. Tidak mau
membuat Sasuke curiga padanya. Tidak lama kemudian Sasuke keluar dari kamar
mandi dan duduk di sebelah Naruto.
“Kau
sudah akan pulang. Hmm?.”
“Hmm.”
Naruto mengangguk tanpa melihat ke arah Sasuke. “Oh ya, nanti malam Kaa-san meminta kita untuk makan malam
bersama. Katanya untuk merayakan kepulanganku.”
“Hnn,
baiklah.”
Naruto
duduk di pangkuan Sasuke. Dan menangkup wajah tampan itu. Ia menatap lurus ke mata
kelam itu. Sebuah ide tercetus di kepalanya.
“Kurasa,
jam makan siang masih bersisa. Wanna play?.”
Tanyanya dengan nada menggoda.
Sasuke
mengembangkan senyumnya. “Why not?.”
.
.
.
Naruto
dan Sasuke datang ke rumah Uchiha. Naruto mengapit lengan Sasuke dengan mesra.
Mereka tampak seperti pasangan yang saling mencintai bukan?. Begitu sampai di
rumah mertuanya, mereka langsung di sambut oleh beberapa pelayan. Rumah utama
keluarga Uchiha dihuni oleh pasangan Uchiha senior, Fugaku dan Mikoto.
Sementara anak-anaknya, Itachi dan Sasuke sudah menikah dan memutuskan keluar
dari rumah itu. Rumah itu adalah rumah kuno peninggalan kepala keluarga
terdahulu yang masih kental dengan nuansa tradisional. Tentunya rumah itu sudah
beberapa kali direnovasi agar nyaman untuk di tinggali.
“Kalian
sudah datang?.” Mikoto tampak menghampiri Naruto dan Sasuke. Wanita paruh baya
yang masih terlihat cantik di usia senjanya memakai kimono berwarna ungu tua dan bermotif bunga lili yang membuat
kecantikannya bertambah.
“Ya
kaa-san.”
“Kau
cantik sekali Naru-chan.” Puji Mikoto sambil memeluk Naruto. Naruto tersenyum
malu-malu. “Ayo, semua orang sudah menunggu.”
Mikoto
membawa anak dan menantunya ke ruang makan. Di sana sudah menunggu Fugaku,
Itachi beserta istri dan anaknya serta keluarga Namikaze.
Eh?!.
“Nee-san!.” Pekik Naruto kaget saat
melihat kedua kakaknya di salah satu kursi meja makan. Kedua kakaknya hanya
tersenyum tanpa dosa. Rasanya Naruto benar-benar ingin mencekik kedua kakaknya
itu. Mereka berdua sungguh menyebalkan.
“Oh,
hai adikku sayang.” Sapa Karin terlebih dahulu.
“Merindukan
kami tidak?.” Timpal Shion.
“Kenapa
kalian ada di sini?. Seharusnya kan- em Milan. Lalu Roma.” Tanyanya kesal.
“Ah,
kami memutuskan pulang dan Mikoto baa-san
mengundang kami makan malam sebagai pengganti ayah dan ibu yang tidak bisa
hadir.” Kata Karin tanpa dosa.
Naruto
mengerucutkan bibirnya karena kesal. Sedang Karin dan Shion hanya tertawa kecil
melihat kelakuan adik kecilnya itu. Sasuke memperhatikan istrinya. Tanpa sadar
sebuah senyuman kecil tercipta di wajah dinginnya.
Deg deg deg
Sasuke
memegang dadanya. Entah kenapa dadanya berdebar sejak melihat senyuman istrinya
tadi. Ia mengerutkan keningnya penuh tanda tanya. Ia begitu tenggelam dalam
pikirannya sampai tidak menyadari bahwa ayahnya, Fugaku memperhatikannya sejak
tadi. Pria paruh baya itu tersenyum samar.
.
.
.
Sakura
berjalan mondar mandir di dalam apartemen mewah itu sambil membawa sebuah
ponsel pintar. Jam dinding sudah menunjukkan waktu tengah malam tapi Sasuke
belum datang juga.
Ia
cemas dan khawatir.
Ia
takut.
Setelah
berfikir, akhirnya ia mencoba menghubungi Sasuke. Berulang kali namun tidak ada
jawaban. Sampai panggilannya diterima ponsel Sasuke.
.
.
.
Sasuke
dan Naruto dipaksa Mikoto dan Fugaku untuk menginap. Kedua orang tua Sasuke itu
mengatakan masih merindukan Naruto.
“Nggh
–suke. . .” Desah wanita itu. Pria itu makin bersemangat menggerakkan tubuhnya
membuat wanita yang ada di bawahnya mendesah lebih keras. Pria itu- Sasuke-
tidak pernah menyangka wanita yang pernah diacuhkannya menjadi candu tersendiri
untuknya. Tidak pernah ia merasa sepuas ini saat bersama kekasihnya yang lain.
Tidak sekalipun Sakura.
Pip Pip Pip
“Ngh
su-suke. . . pon-ngh-sel . . . ahhh.”
“Biar-
huh biar saja.”
Beberapa
kali nada dering itu menyala sehingga mengganggu Naruto. Tangan kirinya meraba
meja kecil di sisi ranjang. Ia menggapai ponsel milik Sasuke dan menjawab
panggilan itu tanpa melihat ID si pemanggil.
“Halo
. . . ah . . . Sasuke pelan-pelan, nhhh. Ha-halo . . .” Panggilan itupun mati. Sasuke
makin gencar menggerakkan tubuhnya hingga mereka berdua menggapai firdausnya.
Tubuh Sasuke jatuh menimpa tubuh Naruto.
“Siapa
hum?.” Bisiknya di telinga Naruto.
“.
. . Mati.” Jawab Naruto. Meski ia bisa menduga siapa yang menelfon tadi. “Wanna play again?. One more round?.”
Kata Naruto dengan nada menggoda.
“Ok.”
Malam
benar-benar panjang untuk mereka. Sementara itu di sebuah apartemen mewah,
seorang wanita tengah mengamuk dan berteriak seperti orang gila.
Prank! Brugg!
Wanita
itu membanting sebuah vas bunga hingga hancur berkeping-keping. Ia membanting
semua benda yang ada di jangkauannya. Masih teringat sesaat yang lalu saat ia
menghubungi Sasuke. Ia mendengar suara wanita itu. Suara yang sangat di
kenalnya. Suara Naruto. Gadis itu sedang mendesahkan nama Sasuke-nya.
Apa
Sasuke menyentuh gadis itu?
Apa-
Tidak!
Sasuke miliknya hanya miliknya
.
.
.
“Arghhh!!.”
.
.
.
Naruto
terbangun lebih dulu. Ia memandang wajah Sasuke yang masih tertidur. Ah,
suaminya memang tampan. Pantas saja banyak wanita yang jatuh hati padanya dan
berusaha menggodanya.
‘Jadilah wanita idaman semua orang. Tunjukkan padanya
bahwa kau wanita yang berharga sehingga dia tidak akan mau melepaskanmu.
Setelah dia jatuh, ikatlah dia sekuat tenagamu. Buat dia tidak bisa berkutik
dihadapanmu.’
Naruto
mengingat perkataan kakaknya, Karin, saat mereka masih di Prancis.
‘Ada kalanya kau harus bersikap lemah. Tidak benar-benar
lemah tapi berpura-puralah lemah. Pria senang jika menjadi superior. Ambisius
dan possesif, itulah sifat dasar pria Uchiha. Gunakan itu untuk mengikatnya
kuat-kuat.’
Naruto
membelai wajah tertidur suaminya sambil tersenyum. Wajah itu benar-benar tampan
dan tanpa cela.
‘Apa
yang harus kulakukan untuk membuatmu memilihku Sasuke?.’ Katanya dalam hati.
Naruto
lalu membalut tubuh telanjangnya dengan selimut lalu masuk ke kamar mandi untuk
membersihkan diri. Setelah mandi dan berganti pakaian ia segera membangunkan
Sasuke. Tapi melihat wajah kelelahan Sasuke, dia mengurungkan niatnya.
“Sudahlah,
biar dia tidur saja. Pasti dia sedang capek. Lagipula ini hari minggu.”
Ia
mengecup bibir Sasuke lalu berjalan keluar kamar tanpa tau Sasuke sudah
terbangun dan merasakan ciuman kecil itu. Ia
duduk di tempat tidurnya. Tangannya dengan halusnya menyentuh bibir yang
tadi di kecup Naruto.
Deg Deg Deg
Jantungnya
berdebar kencang. Tanpa sadar ia tersenyum. Sesuatu yang sangat mahal untuk
seorang Uchiha sepertinya.
“Am I in love?.” Tanyanya pada diri
sendiri. Ia merasakan sensasi yang berbeda saat bersama Naruto. Sensasi yang
membuatnya senang dan tenang di wantu bersamaan. Sensasi yang membuat emosinya
meledak-ledak dan membuatnya merasakan amarah saat Naruto berdekatan dengan
orang lain.
Naruto
berjalan menunju dapur. Ia berniat membantu Mikoto untuk membuat sarapan
sayangnya Mikoto sudah selesai menyiapkan sarapan untuk mereka.
“Kaa-san, ada yang bisa ku bantu?.” Tanya
Naruto. Naruto menarik salah satu kursi meja makan kemudian mendudukinya.
“Ah,
Naru-chan. Tidak usah sayang.
Lagipula koki kita sudah menyiapkan semuanya. Ayo duduklah. Kamu mau sarapan
kan?. Ah ya, Sasuke mana?.” Tanya Mikoto sembari meletakkan cangkir teh di depan
Naruto.
“Mmm,
Sasuke sedang tidur.” Wanita muda itu menyesap tehnya dengan tenang.
“Aish,
anak itu.”
“Tou-san mana?.”
“Fuga-kun pagi-pagi sekali sudah berangkat.
Katanya dia sudah berjanji akan memancing dengan ayahmu. Sekalian mengantar
Karin dan Shion pulang katanya.”
Naruto
mengangguk.
“Oh
ya, kapan kalian akan memberi Kaa-san
cucu hmm?. Kushina-chan juga sudah
tidak sabar menggendong cucu dari kalian. Hmm, karena Itachi-kun sudah memberi Kaa-san cucu lelaki, Kaa-san
ingin cucu perempuan.”
Blush!
Wajah
Naruto langsung memerah karena malu.
“Tunggulah
sebentar lagi Kaa-san. Lagipula Naru
juga baru kembali satu bulan kan?.”
Mereka
kaget. Sasuke sudah berdiri di pintu ruang dengan gagahnya. Pria itu sudah
membersihkan diri dan berniat untuk sarapan. Ia menarik kursi di sebelah sang
istri dan mendudukinya.
“Sasuke.”
“Kenapa
tidak membangunkanku?.” Sasuke menghampiri kedua wanita cantik beda usia itu.
“Bukannya
kamu lelah?.” Kata Naruto sambil mengedipkan matanya menggoda Sasuke. Sasuke
tertawa kecil. Mikoto agak terkejut. Suatu hal langka karena anaknya bisa
tertawa seperti itu. Mikoto tersenyum.
“Nee,
Sasuke-kun. Kaa-san ingin cucu perempuan ne.”
Sasuke
menghela nafas. “Laki-laki atau perempuan, bukankah tidak masalah Kaa-san.”
“Datte, di keluarga ini hanya ada anak
lelaki. Kakakmu juga hanya punya putra. Kaa-san
juga ingin punya cucu perempuan sama seperti teman-teman Kaa-san. Kaa-san juga ingin membeli gaun yang manis dan
memakaikannya pada cucu perempuan Kaa-san.”
Adunya pada Sasuke.
Pip pip pip
Ponsel
yang ada di kantong Sasuke bergetar. Saat melihat ID si penelfon, Sasuke
langsung menutupnya. Tidak lama kemudian ponsel itu berbunyi kembali.
“Siapa?.”
Tanya Naruto.
“Bukan
siapa-siapa.”
“Angkatlah,
siapa tau itu penting.” Saran Naruto. ‘Kau pikir aku tidak tau siapa yang
menelponmu heh?.’ Katanya dalam hati. Telfon itu benar-benar merusak mood-nya
pagi ini
“Baiklah,
aku permisi dulu.” Sasuke keluar dari ruang makan itu untuk menerima telpon
tidak lama kemudian dia menghampiri mereka.
“Aku
harus pergi. Ada urusan penting.”
“Sarapannya?.”
“Aku
sarapan diluar saja Kaa-san.” Katanya
buru-buru pergi.
.
.
.
Sakura
tidak bisa tidur semalaman. Ia tampak berantakan dengan mata sembam. Ia kembali
mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Sasuke. Ia tidak peduli jika Naruto
mungkin berada di samping Sasukenya. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin
Sasuke-nya. Wanita itu meringkuk di sudut kamar yang terlihat berantakan. Ia
benar-benar terlihat menyedihkan dengan
wajah penuh gurat lelah.
“Sakura!.”
Sakura
mendongak saat ia mendengar namanya di panggil.
“Sasuke-kun
hiks!.” Sakura langsung berlari dan menghampiri Sasuke yang kini berdiri di
ruang tamu.
“Ada
apa?.”
“Hiks.
. . kau tidak akan meninggalkanku kan? Kau mencintaiku kan?.”
“Apa
yang kau katakan?.” Sasuke mengangkat sebelah alisnya.
“Aku
mencintaimu . . . aku mencintaimu.”
.
.
.
Wanita
pirang itu memasuki salah satu restoran elit di kota ini. Ia segera menuju
private room yang telah dipesan oleh kedua kakak perempuannya.
“Bagaimana?.”
Tanya Shion langsung.
Naruto
menghela nafas. Ia tampak sedikit tidak bersemangat. “Nee-san. Aku tidak yakin akan mampu melakukannya.”
“Kau
harus yakin Naru.”
“Tapi
aku tak ingin menyakiti siapapun. Aku . . .”
“Kau
tidak menyakiti siapapun Imotou.”
Kata Karin meyakinkan. Benar, tidak ada yang salah saat kita ingin
mempertahankan milik kita bukan?. Kenyataannya kini ia secara sah menyandang
nama Uchiha. “Kau hanya mempertahankan milikmu. Bertahanlah sebentar lagi.
Nee-san yakin kaulah yang akan menang.”
Naruto
terdiam mendengar nasehat kakak-kakaknya. “Kau benar, Nee-san. Aku hanya mengambil milikku.”
Sasuke
adalah suaminya dan sudah seharusnya ialah yang paling berhak atas Uchiha
Sasuke. Ikrar suci pernikahan yang mereka ucapkan di altar adalah pengikat
mereka selamanya.
.
.
.
“Kau
meminum pil itukan.”
“A-aku-.”
“Aku
tidak menginginkan anak sekarang.”
Sakura
meremat selimut yang di pakainya. Wanita itu sebenarnya sadar betapa
menyedihkannya ia karena memuja pria itu. Pria yang jelas-jelas sudah memiliki
orang lain. Tapi ia buta. Buta karena cinta. Entah sampai kapan ia akan seperti
ini.
.
.
.
Sasuke
menikmati hubungannya dengan sang istri, Naruto. Di matanya sekarang, wanita
itu sangat sempurna tapi entah kenapa ia merasa berat meninggalkan Sakura. Ia
sudah terbiasa dengan wanita itu. Ia masih menjalani hubungan terlarang itu
dengan Sakura tanpa sepengetahuan Naruto- setidaknya itu yang ia kira. Naruto
mengetahui segalanya tapi ia memilih diam untuk sementara waktu.
Entah
kenapa sejak bangun tidur Naruto merasa kesal pada suaminya. Wajah cantik itu
tertekuk dengan mulut mencebil. Sasuke mengerutkan dahinya.
“Ada
apa?.”
Naruto
hanya memalingkan wajahnya dengan kesal. Sasuke makin heran. Tidak biasanya
Naruto bersikap seperti ini. Ada yang aneh, pikirnya. Sasuke memang merasa
beberapa hari ini sikap Naruto sangat aneh. Selalu berubah-ubah dan moody.
Pipipip.
Sasuke
melihat pesan di ponselnya.
“Aku
harus segera pergi. Ada meeting dengan klien.” Kata Sasuke menjelaskan. Sasuke
mencium Naruto seperti biasa.
“Hn.”
Naruto terlihat cuek dan meneruskan makannya tanpa menggubris Sasuke.
.
.
.
Sakura
duduk di tepi bathtub. Tangan kanannya memegang sebuah gelas kaca dan tangan
kirinya memegang sebuah benda persegi kecil berwarna putih dan memiliki 2 garis
berwarna merah. Tangannya bergetar. Ia tidak menyangka ini akan terjadi. Ia
senang karena ini artinya Sasuke akan jadi miliknya. Karena ia sedang
mengandung keturunan Uchiha. Ia segera menghubungi Sasuke dan mengajak pria itu
bertemu.
“Sasuke.
Mari kita bertemu.”
“Ada apa?. Ada yang penting?.”
“Iya,
aku ingin memberitahumu sesuatu.”
“Apa?. Sekarang?. Tidak bisa lewat telpon saja?.”
“Tidak
bisa.”
“Baiklah temui aku di ruang VIP restoran biasanya.”
“Baiklah.”
Sakura mematikan telfon itu lalu bersiap pergi. Ia harus terlihat cantik di
depan Sasuke. Setelah siap ia segera pergi ke restoran elite yang di maksud.
Sesampainya di sana, Sakura disambut oleh seorang pelayan yang mengantarnya ke
sebuah ruangan VIP. Restoran elite itu memang menyediakan ruangan khusus yang
biasa di gunakan untuk acara keluarga, meeting dan hal-hal bersifat pribadi
lainnya. Ruangan itu di batasi dinding cermin di mana orang yang ada di dalam
ruangan itu bisa melihat keluar dan orang luat tidak bisa mengintip ke dalam.
Sembari menunggu, Sakura mulai membayangkan reaksi Sasuke. Mulai membayangkan
kehidupannya dengan Sasuke dan anaknya kelak. Mereka pasti akan menjadi
keluarga yang harmonis dan sempurna. Tidak berapa lama kemudian Sasuke datang.
Senyum merekah di bibir wanita pink itu.
“Ada
apa kau mencariku?.”
“Apa
kau sudah makan?. Bagaimana kalau pesan makanan dulu?.”
“Tidak
usah basa-basi. Kau tau aku sangat sibuk hari ini.” Kata Sasuke dingin.
Entahlah, ia merasa Sakura berubah makin merepotkan. Ia harus segera menjauhi
perempuan pink itu.
Sakura
menunduk. “A-Aku hamil.” Lirihnya tapi Sasuke cukup bisa mendengarnya.
“Apa?.”
Ia menaikkan sebelah alisnya.
“Aku
hamil.” Ia memandang pria itu takut. Entah kenapa kini ia merasa takut padahal
biasanya ia tidak pernah merasa takut padanya. Pandangan pria itu begitu dingin
dan menusuk. “Sas-.”
“Lalu?.
Apa maumu?.” Tanyanya dingin.
“A-aku.”
“Perlu
kau ingat, sejak awal hubungan ini hanya hubungan mutualisme. Kau menemaniku
tidur dan aku memberimu kepuasan. Tidak kurang tidak lebih. Lagipula kau
seharusnya tau kalau aku sudah menikah.”
“Tapi
Sasuke, ini anakmu.”
“Gugurkan!.
Anak itu hanya akan mencoreng nama baikku.”
Sasuke
beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan Sakura yang masih termenung.
“Tidak!
Jangan tinggalkan aku.” Sakura memeluk Sasuke dari belakang.
“Terserah.”
Sasuke melepaskan pelukan Sakura dan menghempaskan tangannnya. Tidak
memperdulikan saat wanita itu terduduk si lantai sambil menangis. “ Jangan
berharap lebih dariku. Bukankah dari awal sudah kukatakan padamu?.” Sasuke
keluar dari ruangan itu dengan membanting pintunya.
‘Tidak,
seharusnya tidak begini. Seharusnya kami bertiga bahagia bersama sebagai
keluarga. Aku, Sasuke-kun dan bayi
kami.’
Sakura
masih menangis. Ia mencengkram dress baby
pink yang di kenakannya.
.
.
.
Sasuke
mengendarai sportcar mewah miliknya. Sasuke
memikirkan apa yang akan dilakukannya jika Sakura sampai berbuat nekat. He need to get rid that woman. Yeah, he has
to. Ia berencana kembali ke kantor saat ponselnya berbunyi. Ia segera
memakai headsetnya.
“Halo.”
“Tuan,
saya bibi Chiyo.”
“Bibi
Chiyo?.” Wanita paruh baya itu adalah pelayan di rumahnya dan Naruto. “ Ya, ada
apa bibi?.”
“Nyonya,
tuan. Nyonya pingsan.” Suara wanita tua itu terdengar sangat cemas.
“Apa?!
Baiklah, aku akan segera pulang.”
Setelah
mematikan telfon. Sasuke langsung berputar arah menuju rumahnya. Perlu waktu 15
menit untuk sampai di rumahnya. Ia terlihat tergesa-gesa memasuki kediamannya.
Wajah stoic-nya menampilkan
kecemasan.
“Dimana
Naruto.”
“Nyonya
ada di kamar. Sedang istirahat.”
Sasuke
langsung berlari menuju kamarnya. Ia melihat Naruto sedang berbaring di tempat
tidur mereka. Begitu menyadari kedatangan Sasuke. Wanita itu tersenyum.
“Kau
tidak apa-apa? Apa yang terjadi? Mana yang sakit?.”
“Um.”
Naruto menggeleng. “Bacalah.” Ia menyerahkan sebuah amplop putih pada Sasuke. Sasuke
menerimanya lalu membacanya. Ia tampak terkejut.
“Benarkah
ini?.” Tanyanya memastikan Naruto mengangguk. Sasuke terlihat senang. Ia segera
memeluk istrinya dengan erat. Sekarang ia mengerti kenapa sikap Naruto sedikit
aneh dan selalu berubah-ubah. Ternyata istrinya tengah mengandung calon penerus
keluarga Uchiha. Berulang kali Uchiha bungsu itu mengucapkan terima kasih dan
ungkapan cinta untuk Naruto.
Hei
apa kau lupa ada seorang wanita lagi yang sedang mengandung anakmu.
.
.
.
Pasangan
SasuNaru mendatangi kediaman Uchiha senior untuk memberitahukan kabar baik.
Sasuke berjalan di samping istrinya dan memeluk pinggang Naruto. Ia terlihat
begitu melindungi Naruto. Naruto hanya tersenyum. Ternyata benar kata-kata
kakaknya kalau pria Uchiha itu sangat protektif. Lihat saja kelakuan Sasuke
yang begitu protektif memeluknya karena tidak ingin ia terpeleset atau jatuh
dan membahayakan calon bayi mereka.
“Ada
apa kalian kemari?. Tanya Mikoto sambil menghidangkan makanan kecil dan teh
pada anak dan menantunya juga pada suaminya.
Naruto
dan Sasuke saling bertukar pandang lalu tersenyum.
“Sebenarnya
kami kemari karena ini.” Kata Sasuke sambil meletakkan tangannya di perut sang
istri. Mikoto langsung mengerti isyarat yang diberikan Sasuke. Akhirnya ia
mendapatkan hal yang ditunggu-tunggunya dari anak dan menantu kesayangannya.
Mikoto
terlonjak senang. “Benarkah itu?.”
Naruto
mengangguk malu-malu. Wanita itu mengusap perutnya dengan lembut.
“Fuga-kun, kita akan segera memiliki cucu. Aku
harus mengabarkan ini pada Kushina-chan.”
“Hn.”
Seorang
pelayan datang dan memberitahukan kedatangan keluarga Haruno kepada Fugaku dan
Mikoto yang tengah berbahagia itu.
“Tuan,
nyonya. Keluarga Haruno datang berkunjung.” Tanya Mikoto heran. Pasalnya
keluarga Uchiha dan keluarga Haruno tidak begitu dekat. Mereka hanya pernah
bertemu beberapa kali. Itupun karena kerjasama bisnis yang mereka jalankan. Jadi
wajar jika Mikoto merasa heran.
“Haruno?.
Untuk apa mereka kemari?.”
Naruto
menyandarkan kepalanya di bahu Sasuke dan memeluk lengan pria itu. Ia bisa
menebak apa yang diinginkan Sakura saat ini. Wanita itu pasti berniat
membeberkan hubungannya dengan Sasuke dan berharap bisa di terima di keluarga
ini. Naruto mendadak merasa pusing dan mual. Naruto berharap kakaknya berada di
sini.
“Kau
tidak apa-apa?.” Tanya Sasuke karena khawatir melihat wajah istrinya yang
pucat. Sasuke merasakan pergerakan Naruto yang mengangguk di pundaknya.
Pelayan
membawa rombongan keluarga Haruno ke ruang keluarga Uchiha. Sakura melihat
Naruto bermanja pada bahu Sasuke dan Sasuke yang membelai lembut rambut wanita
pirang itu. Sakura mengepalkan tangannya. Seharusnya itu tempatnya. Miliknya.
Sakura menyeringai. Sebentar lagi, sebentar lagi ia akan menggantikan posisi
Naruto. Dengan adanya anak yang ada di perutnya, ia pasti bisa memaksa Sasuke
untuk menikahinya dan menjadikannya nyonya Uchiha.
“Kami
kemari untuk meminta pertanggung jawaban atas putri kami, Sakura.” Kata Kizashi
Haruno, ayah Sakura.
“Pertanggung
jawaban?.”
“Putri
kami, Sakura, hamil dan ini anak dari putramu.” Kata Kizashi tanpa basa basi.
“Apa?!.”
Mikoto tampak terkejut. Wanita paruh baya itu menatap anaknya dengan tajam dan
meminta penjelasan.
“Sakura
kami hamil dan itu karena anak kalian.” Tambah Mebuki. Sedang Sakura hanya
memasang wajah sendu di samping ibunya.
“Benarkah
itu?.” Mata Naruto berkaca-kaca. Ia menegakkan tubuhnya dan memandang Sasuke
dengan mata sendu. “Kau berselingkuh dengan Sakura?.”
“Itu
tidak benar Naruto. Aku-.”
“Kau
berselingkuh?. Dia hamil. Lalu bagaimana dengan anak kita? Hiks.”
“Tidak,
Naruto. Itu tidak benar. Aku tid-.”
“Sasuke!.”
Pekik Sakura. Ia kembali memasang wajah memelas dan penuh tangis. “Kenapa kau
tidak mau mengakui anakmu. Aku hamil Sasuke. Hamil anak kita.”
“Bagaimana
kau yakin anak yang kau kandung itu anak Sasuke?.” Suara itu mengagetkan
mereka. Seorang gadis berambut merah dengan kacamata berbingkai merah dan
seorang gadis berambut pirang pucat berjalan dengan santai memasuki ruang keluarga
itu.
“Tentu
saja ini anak Sasuke-kun. Aku hanya
melakukannya dengan Sasuke-kun!.”
“Benarkah?.”
Karin menaikkan sebelah alisnya.
“Apa
maksudmu?. Kau tau siapa aku?. Tentu saja aku bisa di percaya. Aku wanita
baik-baik dari keluarga terpandang.”
Karin
dan Shion terkikik kecil.
“Wanita
baik-baik?. Kau yakin?.” Tanya Shion dengan nada mengejek.
“Wanita
baik-baik tidak akan menggoda suami temannya. Wanita baik-baik tidak akan tidur
dengan suami temannya. Ah ya, wanita baik-baik tidak akan hamil tanpa menikah.
Lalu dari sisi mana kau mengatakan dirimu wanita baik-baik?.”
Sakura
mengepalkan tangannya.
“Kau!.”
Mata wanita merah muda itu berkilat marah.
“Oh
ya, kau tau Nee-san. Kudengar Haruno Corp sedang mengalami masalah keuangan.”
Celetuk Shion. Mikoto langsung mengerti arah pembicaraan Shion. Wanita anggun
itu tampak marah.
“Jadi
kalian ingin menggunakan anak itu untuk memeras keluarga Uchiha?.” Kata Mikoto
penuh dengan emosi. “Dengar tuan, kau bukan orang pertama yang mencoba
mengambil keuntungan dari keluargaku. Asal kau tau, aku tidak akan
membiarkannya. Betul kata gadis-gadis muda ini. Anak yang dikandung puterimu
belum tentu hasil perbuatan puteraku. Bisa saja dia melakukannya dengan orang
lain dan menimpakan kesalahan pada puteraku.” Kata Mikoto dengan penuh
penekanan.
“Kaa-san.” Naruto mendekati Mikoto dan
mengusap lengan perempuan paruh baya itu guna meredakan amarahnya. “Kaa-san, sudahlah.”
“Menantuku
saat ini sedang mengandung cucu kami. Dan asal kalian tau, aku dan Fugaku tidak
akan pernah mengakui anak yang dikandung puterimu sebagai keturunan Uchiha. TIDAK AKAN PERNAH!.”
Kizashi
Haruno mengepalkan tangannya mendengar penghinaan itu tapi apalah daya, jelas
ini adalah kesalahannya karena tidak bisa mendidik putrinya dengan baik. Ia
segera bangkit dari tempat duduknya.
“Kita
pulang!.” Putusnya.
“AYAH!.”
Pekik Sakura tidak terima. Ia tidak mau semua rencananya gagal. Ia harus
menjadi istri Sasuke.
“Mebuki!
Bawa Sakura pulang!.” Katanya sambil berjalan meninggalkan ruangan itu tanpa
memperdulikan protesan dari putri tunggalnya.
“Tidak!
Sasuke! Sasuke!.” Sakura meronta saat ibunya menyeretnya untuk pergi dari rumah
itu. Bukan ini. Seharusnya bukan ini. Seharusnya Sasuke menjadi miliknya.
Ruangan
itu jadi sepi setelah keluarga Haruno pergi. Mikoto langsung berjalan mendekati
putranya.
PLAK!
“Apa
yang kau pikirkan ha? Bisa-bisanya kau menyakiti Naruto?.”
“Kaa-san aku. . .” Belum ia bicara tubuh
Naruto sudah oleng di pelukannya. Untung Sasuke sigap menangkap tubuh istrinya.
Wajah Naruto terlihat sangat pucat dengan air mata membasahi pipinya.
“Astaga!
Naruto!.”
“Panggil
dokter!.”
Mereka
panik karena tiba-tiba Naruto pingsan apalagi wanita itu kini tengah hamil
muda. Mereka
tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada calon keluarga baru
mereka.
.
.
.
“Naruto.”
Lirih Sasuke. Pria tampan itu mendekati ranjang tempat istrinya berbaring.
Naruto memalingkan wajahnya enggan menatap wajah tampan sang suami. Membuat
Sasuke merasakan sakit di ulu hatinya. Apa dayanya, kali ini dialah yang salah.
Ia hanya bisa menerima semua akibat perbuatannya.
“Naruto.”
Panggilnya sekali lagi. Berharap sang istri menoleh padanya.
“Pergi!.”
Naruto menoleh dengan wajah penuh air mata. Ia tampak sangat rapuh dan terluka.
“Aku
mohon.” Lirihnya. Ia merendahkan dirinya untuk memohon. Ia sudah tidak peduli
lagi dengan harga dirinya. Jika itu bisa membuatnya tidak kehilangan istrinya
maka ia akan berlutut dengan senang hati.
Naruto
berusaha duduk. Sasuke berniat membantu tapi tangannya di tampik. Dengan kasar
Naruto menghapus air mata yang mengalir di pipinya.
“Kita
bercerai!.”
Deg!
“Ti-tidak.
Naruto.”
“Aku
bilang kita cerai!.” Pekiknya marah.
Sasuke
langsung memeluk Naruto meski wanita itu meronta di pelukannya. Sasuke memeluknya
dengan erat sampai ia merasakan perlawanan wanita itu melemah.
“Kumohon
jangan ucapkan itu lagi.”
“Kita
. . . Hiks . . . Kita . . . Cerai.” Naruto tampak tidak melawan lagi.
Tangisannya makin keras. Sasuke mengeratkan pelukannya ke tubuh Naruto. “Kau jahat
hiks . . . Aku . . . Ceraikan aku . . . . Hiks . . . kau . . . jahat . . .hiks
. . .hiks . . . kau selingkuh.”
“Maafkan
aku.” Sasuke melepaskan pelukannya. Kini menatap mata Naruto. “Aku-Aku
bersumpah. Aku tidak akan berselingkuh. Hanya kau satu-satunya wanitaku mulai
sekarang.”
“Kau
bohong. Hiks.”
“Aku
bersumpah.” Kata Sasuke dengan penuh kepastian. Naruto terdiam sejenak. Mencoba
mencari kebenaran di mata sang suami.
“Be-benarkah?.”
“Uchiha
tidak akan menarik sumpahnya.”
“La-lalu
Sakura?.”
“Dia
bukan siapa-siapa. Percayalah. Aku hanya mencintaimu. Maukah kau memaafkanku?.”
Tanya Sasuke. Naruto ragu tapi kemudian ia mengangguk. Sasuke menarik sang
istri ke dalam pelukannya. Syukurlah ia bertindak sebelum benar-benar
kehilangan istrinya dan calon anaknya. Sasuke tidak menyadari bahwa kini Naruto
tersenyum penuh kemenangan di balik punggungnya.
Setelah
keadaan sedikit tenang, Karin dan Shion menemani Naruto di kamarnya. Kamar di
rumah utama Uchiha maksudnya. Mikoto tidak mengijinkannya pulang karena takut
terjadi sesuatu dengan dirinya dan calon bayinya. Wanita paruh baya itu masih
memendam kemarahan dan rasa kecewa pada Sasuke meski Sasuke sudah berulang kali
meminta maaf dan bersumpah tidak akan mengulanginya lagi.
“Nee-san. Kenapa tiba-tiba Nee-san ada di rumah ini?.” Tanya Naruto
yang kini bersandar di tempat tidurnya.
“Sebenarnya-.”
“Shion!.”
Sela Karin. Shion menoleh ke arah Karin. Karin terlihat menggeleng dan
memberinya kode. Ia tidak mau seorangpun di rumah ini mendengar pembicaraan
mereka. Shion-pun mengangguk lalu mendekati Naruto. Ia membisikkan sesuatu di
telinga kiri adiknya.
“Sebenarnya
kami mengikuti Sakura ke sini. Kemarin kami tidak sengaja melihat Sasuke
menemui gadis itu. Setelah Sasuke pergi, kami melihatnya menangis. Insting
mengatakan akan terjadi hal yang besar di sini dan ternyata benar yang kami
tebak.”
“Tapi
aku kasian pada Sakura.” Lirih Naruto. Bagaimanapun ia juga calon ibu. Pasti
sangat berat baginya untuk hamil di luar pernikahan.
“Apa
dia kasian padamu saat ia berselingkuh dengan Sasuke?. Tidak, bukan?. Ini
adalah karmanya jadi kau tidak perlu kasian padanya.”
“Tapi-.”
“Nee-san benar Naru. Pikirkan bayi yang
ada di perutmu. Apa kau tega ia tidak mendapat kasih sayang ayahnya?. Atau
kasih sayang ayahnya terbagi karena ayahnya memiliki wanita lain.” Tambah
Shion.
“Kau
anak yang baik Naru. Tapi bersikaplah sedikit egois. Demi anakmu. Demi
keponakanku.”
“Aku
mengerti, Nee-san.”
Benar
kata Karin, kali ini saja biarkan ia bersikap egois. Biarkan ia mendapatkan
kebahagiaannya sendiri. Untuknya, juga anaknya.
.
.
.
Kandungan
Naruto sudah memasuki bulan ke tujuh. Baik orang tuanya maupun mertuanya sangat
antusias menyambut cucu laki-laki pertamanya. Dan hari ini ibu dan mertuanya
mengajak Naruto untuk membeli perlengkapan bayi berhubung mereka sudah
mengetahui jenis kelaminnya. Naruto diantar oleh sopir pribadinya ke salah satu
butik elit yang ditunjuk oleh ibunya.
Begitu
sampai di depan butik. Sang sopir langsung membukakan pintu mobil mewah itu
untuk nyonya mudanya. Naruto turun dari mobil itu. Wanita itu terlihat cantik
dengan balutan mantel bulu mink mahal berwarna coklat tua, hadiah dari sang
mertua karena tidak ingin menantunya kedinginan. Hari ini ia hanya memakai gaun
kehamilan warna biru muda di balik mantel tebal itu dan sepatu flat sederhana. Tak
lupa ia memakai syal rajut warna kuning gading kesayangannya. Naruto merapatkan
mantelnya ketika hawa dingin mulai meyergapnya. Beberapa waktu ini memang suhu
udara Konoha terbilang sangat dingin padahal baru memasuki pertengahan musim
gugur. Naruto memasuki butik itu. Ia di sambut beberapa pelayan yang
mengenalinya sebagai nyonya Uchiha muda.
.
.
.
Sementara
itu, di seberang jalan terdapat sebuah mobil hitam yang terparkir. Di dalamnya
ada seorang wanita berambut pink yang memandang penuh kebencian pada wanita
pirang itu. Ia mengusap perutnya yang kini membesar. Masih teringat akan
kejadian beberapa bulan lalu di rumah Uchiha. Penghinaan yang didapatnya masih
teringat jelas. Karena tidak ingin mendapat malu, kedua orang tua Sakura
memilih menyembunyikan atau lebih tepatnya mengasingkan putrinya itu ke rumah
di pinggir kota. Sakura meremas setir mobilnya.
Jika
Naruto tidak ada maka dia bisa menjadi nyonya Uchiha
Jika
Naruto tidak ada maka dia akan menjadi istri Sasuke
Ya,
dia harus menyingkirkan Naruto. Dengan begitu dia bisa hidup bahagia dengan
Sasuke dan anaknya.
Sakura
tertawa seperti orang gila. Ia melihat gadis pirang itu keluar dari butik
setelah 30 menit ia menunggu. Gadis itu masuk mobilnya. Sakura mencengkram
setir mobilnya. Inilah kesempatannya untuk menyingkirkan Naruto dan
menggantikannya menjadi nyonya Uchiha. Ia menekan pedal gasnya dan menabrak
mobil itu dari belakang hingga mobil mewah itu terbalik dan berhenti karena
menabrak pohon. Sayangnya Sakura lupa memperhitungkan keselamatannya sendiri.
CKIIIIIT!
BRAKKK!!
.
.
.
Lorong
rumah sakit yang semula sepi kiri ramai dengan langkah kaki. Mereka berhenti di
depan ruang operasi yang lampunya masih menyala merah. Minato, Kushina, Karin
juga Fugaku dan Itachi tampak berlari ke arah mereka. Wajahnya terlihat cemas.
Beberapa saat lalu Mikoto menghubungi mereka dan mengabarkan mobil Naruto mengalami
kecelakaan.
“Mikoto
Baa-san. Bagaimana keadaannya?.”
Tanya Karin.
“Dokter
sedang menanganinya.” Kata Mikoto menenangkan menantunya yang sedang menangis
sesengukan.
“Dia
tidak akan apa-apa kan? Dia baik-baik saja kan?.” Tanya Kushina dengan suara
bergetar. Ia sangat cemas setelah mendengar putrinya mengalami kecelakaan. Minato
pun maju dan memeluk sang istri untuk menenangkannya.
“Permisi.”
Seorang pria berambut nanas menghampiri mereka. Ia menunjukkan ID
kepolisiannya. “Saya Nara Shikamaru dari polisi distrik Konoha. Apakah saya
bisa bicara sebentar mengenai kecelakaan ini?.”
“Ya,
ada apa?. Apa ada yang salah?.”
“Pihak
kami sudah memeriksa beberapa saksi dan hasilnya kecelakaan ini di sengaja.
Tersangka kini juga tengah dirawat di sini karena mobilnya menabrak pembatas
jalan.”
“Siapa?
Siapa yang melukai adikku?.” Tanya Karin dengan penuh emosi.
“Tersangka
bernama Haruno Sakura. Menurut saksi mata mobil yang dikendarai Haruno-san menabrak bemper belakang mobil
belakang adik anda dengan kecepatan tinggi hingga terbalik dan menabrak pohon.
Haruno-san sepertinya tidak bisa
mengendalikan mobilnya hingga mobil itu tertabrak mobil lain dan menabrak
pembatas jalan. Bersyukurlah karena adik dan sopir anda mengenakan sabuk pengaman
saat itu. Jadi mereka tidak terlempar keluar mobil.”
Yah,
meski mengalami patah tulang dan cedera cukup serius, belum ada korban jiwa
dalam kecelakaan ini. Mobil Naruto memang memiliki balon pengaman yang akan
mengembang jikalau terjadi kecelakaan seperti saat ini. Gunanya untuk
meminimalisir benturan saat kecelakaan. Sopir Naruto juga di rawat di rumah
sakit itu karena patah tulang dengan beberapa luka lebam dan jahitan di
tubuhnya.
“Perempuan
itu.” Karin mengepalkan tangannya karena marah. Sebagai kakak tertua, Karin
tentu sangat protektif terhadap kedua adik perempuannya.
“Hiks,
nee-san. Nee-san. Akh!.” Pekikan itu mengagetkan mereka. Naruto terlihat
kesakitan sambil memegangi perutnya.
“Astaga
Naruto!.” Mikoto terlihat kaget saat melihat darah menetes di kaki menantunya.
Sasuke bergerak cepat dengan menggendong istrinya dan mencari pertolongan.
.
.
.
“Bagaimana
dokter? Apa Naruto tidak apa-apa?. Kandungannya tidak bermasalah kan?.”
“Nyonya
Uchiha mengalami tekanan batin yang hebat. Dan itu sangat mempengaruhi kondisi
janinnya. Tolong usahakan agar dia tenang dan jauhkan semua hal yang dapat
mengganggu batinnya. Saya akan memberikan resep vitamin dan penguat kandungan.”
Dokter itupun meninggalkan ruang rawat Naruto yang diisi Kushina, Mikoto,
Sasuke dan tentu saja Naruto.
“Sasuke,
tolong jaga Naruto. Aku dan Mikoto akan melihat keadaan Shion dulu.”
“Baik
Kaa-san.”
Ruangan
itu menjadi sepi setelah kedua wanita paruh baya itu keluar. Sasuke menggenggam
tangan istrinya. Ia menciumi tangan mulus itu. Dalam hati ia bersyukur tidak
kehilangan istri dan anaknya. Jika karma itu ada, maka biarlah ia yang
menanggungnya jangan Naruto dan calon puteranya yang tidak bersalah.
“Ngh.”
“Naruto,
kau sadar.”
“Sasuke,
anakku . . .” Lirihnya.
“Tenanglah.
Dia tidak apa-apa.” Katanya sambil mengelus perut buncit Naruto. Naruto merasa
sedikit tenang.
“Shion-nee, bagaimana keadaannya?.”
“Tenanglah,
semua pasti baik-baik saja. Shion-nee gadis yang kuat. Dokter terbaik juga
sudah menanganinya. Jadi pasti dia baik-baik saja.”
“Ini
salahku. Seharusnya aku tidak menyuruh nee-san
naik mobilku. Seharusnya aku yang di sana bukan nee-san. Hiks.” Naruto teringat
kejadian di butik beberapa jam yang lalu. Saat ia sampai di butik, ternyata
Shion juga sedang menemani Mikoto berbelanja untuk calon anaknya.
.
.
.
“Aduh bagaimana ini.” Shion terlihat panik saat melihat
jam tangannya. Ia baru teringat kalau dia memiliki janji yang sangat penting
dengan seseorang.
“Ada apa Shion-nee?.”
“Aku ada janji lain. Maaf tidak bisa menemanimu belanja.”
Ucap Shion. Naruto tersenyum.
“Tidak apa kok. Lagipula ada Mikoto Kaa-san di sini.”
“Benar, pergilah. Aku akan menjaga Naruto disini.” Mikoto
tersenyum pada Shion.
“Baiklah kalau begitu.” Kata Shion sambil beranjak.
“Ah, Nee-san. Tunggu sebentar.” Naruto berdiri di depan
Shion. Ia melepas mantel hangatnya dan menyampirkannya ditubuh sang kakak.
Tidak lupa ia juga memasangkan syal yang dipakainya ke leher Shion.
“Udaranya sangat dingin. Nee-san bisa sakit kalau tidak
pakai pakaian hangat.”
“Apa tidak apa-apa?.” Tanya Shion balik. “Kamu juga butuh
mantel hangat Naruto.” Ia tidak mau adik dan calon keponakannya kedinginan.
“Aku dan Kaa-san bisa membeli lagi disini. Ah ya, pakai
mobilku saja. Aku akan pulang bersama Kaa-san. Bolehkan Kaa-san.” Naruto
berbalik menatap Mikoto.
“Tentu Saja.”
“Baiklah kalau begitu.”
.
.
.
“Sst.
Tidak Naruto. Ini bukan salahmu. Tidak ada yang menyalahkanmu. Ingat, kau harus
tenang. Dokter mengatakan kau tidak boleh sedih. Mengerti?. Aku tidak ingin
terjadi apa-apa padamu.” Kata Sasuke sambil memeluk Naruto.
.
.
.
Karin
kini berdiri di sebuah ruang rawat inap. Teriakan demi teriakan terdengar dari
ruangan itu. Seorang wanita muda berambut merah muda sedang mengamuk. Beberapa
suster memegangi tubuhnya supaya tidak lepas kendali. Seorang dokter bersiap
menyuntikkan sesuatu di lengan yang di pegang oleh seorang suster. Karin
mengenali wanita muda yang tampak menyedihkan itu. Wanita itu Haruno Sakura
“Tidak!!
Anakku. . . . anakku! Berikan anakku! Sasuke-kun akan marah padaku! Tidakkk!! . . .anak . . . ku. . .” Suaranya
kian melemah setelah obat yang disuntikkan dokter mulai bereaksi. Wanita itu
telah tenang dalam tidurnya. Karin mencegat dokter yang keluar dari ruangan
Sakura.
“Dokter,
bagaimana keadaannya?.”
“Anda?.”
“Saya
kenalannya.” Karin tidak berbohong. Tentu saja ia kenal dengan Sakura karena
wanita itu teman adiknya, mantan teman.
“Ah,
anda kenalannya?.” Tanya dokter itu mengulangi. Karin pun mengangguk. “Nona ini
mengalami depresi berat setelah tau janinnya tidak bisa di selamatkan.”
“Bayinya
. . . meninggal?.”
“Kandungannya
memang sudah bermasalah. Bayinya tidak berkembang secara sempurna. Kurasa
karena nyonya itu tidak memperhatikan gizi selama masa kehamilannya atau
mungkin dia memiliki banyak beban pikiran. Benturan keras di tambah usia bayi
yang belum cukup membuat bayi itu tidak terselamatkan.”
Karin
masih terdiam di depan kamar rawat Sakura. Ia melihat wanita itu dari balik
kaca pintu. Ia masih memiliki rasa kasian pada wanita itu.
“Mungkin
ini adalah karmamu Haruno Sakura. Aku tau kau sebenarnya ingin mencelakai
Naruto tapi malah Shion yang terluka. Bagiku, Shion dan Naruto adalah adikku
yang berharga. Aku tidak akan pernah memaafkanmu yang telah melukai kedua adik
berhargaku.”
Karin
pun meninggalkan kamar Sakura.
.
.
.
“Karin,
kau darimana saja?.”
“Aku.
. . “
“Shion
sedang di operasi sekarang. Ibu takut.”
“Ibu,
aku . . .” pandangannya teralih saat melihat pria itu berjalan mendekati
mereka. Ia melihat Fugaku, Mokoto juga Sasuke. “Kau!!.” Karin segera
menghampiri Sasuke dan menyeretnya menjauh tanpa memperdulikan protesan dari
yang bersangkutan. “Ikut aku!.”
“Karin,
hei!.”
Karin
sama sekali tidak menggubris panggilan ibunya. Ia menyeret Sasuke. Semua orang
di lorong rumah sakit memandangi mereka dengan heran.
“Karin,
kita mau kemana? Hei!”
Mereka
berhenti di sebuah kamar rawat. Lengkingan suara teriakan mulai terdengar dari
kamar itu. Para suster dan dokter mulai berdatangan.
“Karin,
ini di mana?.”
.
.
Sasuke
mendengar suara yang dikenalinya.
.
.
Sakura?.
.
.
.
“Kau
lupa huh?. Kau tidak mengingat suara itu?.”
“Ini.
. . “
“Ini
adalah kamar rawat simpananmu.”
Deg!
“Karin,
aku-.”
“Kau!.
Semua masalah ini berasal darimu. Jika sesuatu terjadi pada adik-adikku. Maka
kaulah orang pertama yang kucari.” Karin meninggalkan Sasuke di depan kamar
rawat Sakura.
.
.
.
Keluarga
Uchiha dan Namikaze masih menunggu dengan cemas di depan ruang operasi. Sudah
hampir 3 jam dan operasi itu belum selesai juga.
Tring!
Lampu
hijau itupun mati. Seorang dokter yang masih mengenakan baju operasi berwarna
hijau keluar menyapa mereka.
“Bagaimana,
dok? Apa putri kami baik-baik saja?.” Tanya Minato dengan cemas.
“Tenanglah,
nona itu baik-baik saja. Masa kritisnya sudah lewat. Meski beberapa tulang
rusuknya patah tapi kita harus bersyukur karna tidak ada organ dalamnya yang
terluka. Putri anda akan dipindahkan ke ruang rawat. Dalam waktu 24 jam obat
biusnya akan hilang.”
Beberapa
suster mendorong tempat tidur itu keluar dari ruang operasi. Shion tampak
berbaring tidak sadarkan diri dengan beberapa lebam dan balutan perban
ditubuhnya. Mereka mengikuti di belakangnya dengan cemas. Kushina tampak
menangis melihat keadaan putri keduanya.
.
.
.
Sasuke
memasuki kamar rawat Naruto. Ia tersenyum saat mendapati istrinya sedang
tertidur. Ia mendekati ranjang Naruto dan duduk di salah satu kursi dekat
ranjang tersebut. Sasuke mengelus perut besar itu dengan sayang.
“Naruto,
kau tau. Sakura depresi berat dan di rawat di rumah sakit jiwa. Ini mungkin
hukuman untuk kesalahannya padamu.” Sasuke mengecup punggung tangan Naruto.
“Aku pun mungkin tidak akan lepas dari hukuman. Tapi sampai saat hukuman itu
tiba, ijinkan aku berada di sampingmu dan menjagamu. Aku mencintaimu Naruto.
Sungguh.”
.
.
.
Naruto
membuka mulai kedua mata shappirenya. Ia melihat Sasuke yang tengah tertidur di
sampingnya.
.
.
.
‘Kali
ini biarkan aku menjadi egois karena tidak mau melepaskanmu.’
.
.
.
-The end-
.
.
.