.
.
.
.
.
Title : Sekuel
Memories Lies : All for you
.
.
Disclaimer :
Naruto isn’t mine. The original chara is own by Masashi Kishimoto but this
story is purely mine.
Genre :
Terserah lah.
Rate :
T-M
Warning :
Broken pair, Frontal, cheating and hatred. OOC.
.
Don’t like don’t read. No need for flame.
.
Pair :
Gaarafemnaru, Sasufemnaru, Sasuhina (ditulis biar kaga ada yang komplen :P.
.
.
.
By: Gothiclolita89
.
.
.
Cast
Uchiha Sasuke (39 thn)
Sabaku (Uzumaki) Naruto (38 thn)
Uchiha (Hyuuga) Hinata (38 thn)
Sabaku Gaara (39 thn)
Sabaku (Uchiha) Shunsuke (17 thn)
Sabaku Arashi (15 thn)
Uchiha (Hyuuga) Hanabi (17 tahun)
Uchiha Suki dan Uchiha Reita (twins, 17 tahun)
Cast lain menyesuaikan.
.
.
.
.
.
.
Chapter 4. Flashback
.
.
.
.
.
.
Gadis itu sedang duduk di rerumputan. Ia tampak asyik
membaca buku tebal yang ada di tangannya. Sesekali bibirnya menyunggingkan
senyuman indah.
“Hina-chan.” Seorang gadis bersurai pirang berlari
menghampirinya. Senyum lebar tersungging di wajah cantiknya. Ia langsung duduk
di samping teman wanitanya itu.
“Dengar, dengar, dengar, kau tau aku bahagia sekali hari
ini.” Katanya dengan wajah berseri-seri. “Tau tidak, tadi Teme memintaku jadi
pacarnya.”
Deg!
“O-oh se-selamat ya.”
“Ehehehe.” Gadis itu merekahkan senyum indah di wajahnya
tanpa menyadari perubahan ekspresi gadis yang ada di sampingnya.
.
.
.
Temari
memeluk adik ipar yang sudah lama tidak ia jumpai. Kankurou bahkan meluangkan
waktunya di tengah kesibukan persiapan pentas Kabuki terbarunya. Secara bergantian mereka memeluk Naruto dan
Arashi.
“Bagaimana
kabarmu Naruto?. Nee-san
merindukanmu.” Kata Temari ketika memeluk Naruto.
Naruto
tersenyum, “Baik Nee-san.”
“Oh
ya, bagaimana dengan Gaara? Kenapa dia tidak ikut dengan kalian?.” Tanya
Kankurou yang tidak melihat kedatangan Gaara.
“Gaara
baik, sayangnya dia ada bisnis penting dengan salah satu perusahaan besar asal
Kanada, jadi dia tidak bisa ikut. Tapi dia berjanji akan menyusul jika semua
pekerjaannya sudah selesai.”
“Aish
anak itu, selalu saja pekerjaan yang ada di dalam kepalanya. Awas saja kalau
dia pulang akan ku marahi dia.”
“Tou-san jangan marah pada suamiku.” Kata
Naruto dengan sedikit merajuk. Ia menggembungkan pipinya seperti kebiasaannya
sejak dulu saat merajuk. Hei, Naruto, ingatlah umurmu. Mereka melepas rindu
pada sosok menantu satu-satunya keluarga itu.
“Yak!.”
Pekik bocah berambut orange-merah itu. “ Kalian melupakan aku!.”
Semua
memandang sosok pemuda tampan yang sedang berkacak pinggang dengan muka
cemberut. Tawapun meledak. Rumah besar yang biasanya sepi itu kini benar- benar
ramai oleh tawa penghuninya setelah kedatangan dua anggota keluarga. Bahkan
sang kepala keluarga yang bisanya dingin dan irit bicara kini sedang tertawa
terbahak-bahak.
“Tidak,
Arashi-chan. Kakek tidak melupakanmu. Sini peluk kakek.” Kata Kazekage sambil
merentangkan tangannya.
“Kakek!
Jangan panggil Arashi-chan. Aku sudah besar.” Ia berlari memeluk kakeknya.
“Iya,
iya.” Kakek itu mengelus rambut cucunya dengan sayang.
“Wah
wah, Arashi-chan sudah besar ya.” Goda Temari. Naruto hanya tertawa melihat
interaksi keluarganya.
“Baa-san!.” Pekik Arashi kesal.
“Hai,
panda kecil. Miss me?.” Arashi
menoleh. Shun sudah bediri di sana dengan senyum lebar.
“Hell ya. Big bro.” Pemuda itu langsung
menerjang kakaknya dan memeluknya. Hubungan kakak beradik ini memang dekat.
Mungkin hampir mendekati Incest tapi
tenang sajalah si Gothiclolita89 ga bakal bikin mereka incest kok. Ntar malah melenceng dari cerita dan berakhir humor
lagi.
.
.
.
-Kediaman Uchiha Sasuke.-
Hinata
menggeser pintu kayu itu dengan pelan. Ia melihat Sasuke sedang sibuk dengan
beberapa berkas di mejanya dan tampak tidak menyadari keberadaan Hinata. Wanita
itu mendekati meja suaminya yang penuh dengan berkas perusahaan Uchiha yang
dikendalikan oleh sang suami.
“Sasuke-kun,
makan malam sudah siap.”
“Hn.”
Ucapnya singkat tanpa sedikitpun menoleh pada sang istri. Seolah pekerjaannya
jauh lebih menarik daripada wanita cantik yang kini menatapnya sedih.
“Sa-.”
“Pergilah
Hinata. Aku akan makan nanti.” Ucapnya lagi tanpa melihat wanita yang kini
menunduk dengan wajah sendu.
“Tapi.
. .”
“Apa
kau tidak dengar ucapanku?.” Kata Sasuke dingin. Beginilah sikap Sasuke pada
Hinata jika tidak ada orang lain di sekitar mereka. Dingin dan tidak
bersahabat. Mau tidak mau Hinata meninggalkan ruang kerja Sasuke.
Lagi-lagi
diacuhkan. Sampai kapan Hinata sanggup bertahan?. Entahlah, hatinya seolah mati
rasa. Dulu ia berpikir kalau bersama orang yang dicintainya, ia akan bahagia.
Namun kenyataan tidak seindah yang diharapkannya. Ia tidak hidup didalam
dongeng yang selalu diimpikannya.
“Baa-san.”
Panggilan itu membuyarkan lamunannya. Seorang gadis muda berjalan menuju
kearahnya.
“Hana-chan.”
Hinata tersenyum hangat ketika melihat keponakannya. Saat ini hanya Hanabi lah
yang bisa membuatnya merasakan sedikit kebahagiaan dalam hidupnya. Hanabi lah
yang membuatnya bisa bertahan selama ini.
“Ji-san
mana?.”
“Ah,
Ji-sanmu sedang sibuk. Katanya kita bisa makan malam tanpa dirinya.”
“Baiklah
kalau begitu.” Keduanya menuju ke ruang makan rumah bergaya Jepang tradisional
itu.
.
.
.
Agaknya
Hinata lupa satu hal penting.
.
.
.
Hinata memasuki rumahnya dengan wajah murung. Langkahnya terasa sangat berat. Sesekali dia terlihat sedang menahan tangisnya.
“Hinata.”
“Ni-Nii-san.” Hinata langsung berlari memeluk Neji, kakak sepupunya. Hanya pada pria muda itu dia bisa menumpahkan segala isi hatinya.
“Ada apa?.” Tanya Neji sambil mengelus rambut panjang Hinata.
“Hiks.” Hinata makin terisak keras. Neji merasa kebingungan karena adik kesayangannya semakin keras menangis.
“Ni-san.”
“Hmm?.”
“Apa aku kurang cantik? Apa aku kurang menarik? Kenapa dia tidak pernah melihatku?.”
“. . .”
“Kenapa bukan aku? Kenapa harus Naruto?. Apa kelebihan Naruto dibandingkan aku?.”
“Hinata.”
“Aku mencintainya, Nii-san. Aku mencintainya. Hiks.” Hari itu Hinata menangis seharian karena patah hati.
.
.
.
Aku akan membuatnya menjadi milikmu.
.
.
.
Tok tok tok
“ Shun, boleh Ibu masuk?.”
“Masuk saja, Bu. Pintunya tidak di kunci.”
Naruto memegang knop pintu itu dan mendiring pintu berwarna putih dengan pelan. Ia kemudian memasuki kamar Shun. Shun sedang sibuk dengan laptop dan beberapa lembar kertas di mejanya.
“Shun.” Panggil Naruto dengan lembut. “Kemarilah, kaa-san ingin bicara padamu.
Shun menoleh pada Naruto yang sudah duduk di sofa kamarnya. Ia pun menghampiri sang ibu yang sedang tersenyum padanya. Ibunya cantik sekali. Dia tidak seperti wanita yang sudah melahirkan dua anak lelaki tampan yang menjadi pujaan setiap wanita. Shun duduk si samping ibunya. Wanita itu langsung menyandarkan kepalanya di bahu sang anak.
“Kau tahu, Ayah dan Ibu sangat menyayangimu sama seperti Arashi.”
“I know.” Aku tahu.
“So, can we forget ‘bout this?.” Jadi, bisa kita lupakan tentang ini?.
“ . . . .”
“I don’t wanna you to get involve. I . . .” Aku tidak ingin kau terlibat. Aku . . .
“I can’t.”
“Shun.” Lirih Naruto.
“I can’t mom. Please understand. I- I just can’t.” Aku tidak bisa mom. Tolong mengerti. A-aku hanya tidak bisa.
Mata Shun berkaca-kaca. Ia hampir menangis melihat ibunya. Ia tidak peduli jika ia terlihat lemah.
“Shun.” Naruto memeluk anaknya. Ibu mana yang hatinya tidak sakit melihat anaknya menangis penuh luka seperti ini.
“Saat aku berkaca aku melihat bayangan orang itu. Aku selalu melihatnya. Aku selalu takut dan was-was. Bagaimana jika suatu hari ibu membenciku? Bagaimana jika Ayah membenciku?. Kenapa aku harus mirip dengan dia? Kenapa aku tidak seperti Arashi yang mirip ibu?.” Lirihnya.
Naruto hanya diam. Yah , Naruto tau apa yang dirasakan Shun semenjak anak itu tau bahwa Gaara bukan ayah kandungnya. Mereka masih dekat. Hanya saja kadang Naruto melihat tatapan anak sulungnya itu memandang kosong saat Gaara dan Arashi sedang bersama. Anaknya itu seolah ingin menjauh. Namun Naruto yakin hubungan Shun dan Gaara tidak selemah itu hingga dengan mudah terputus karena darah yang berbeda. Gaara adalah orang yang membuatnya bisa hidup sampai sekarang. Semua yang ia dapatkan sekarang adalah ada Gaara bersamanya. Naruto juga yakin suatu saat Shun akan mau terbuka padanya dan inilah saatnya. Pemuda itu mengatakan apa yang dirasakannya selama ini. Naruto menggigit bibir bawahnya.
“Shun, kau tau Ayah dan Ibu tidak akan pernah membencimu. Kami mencintaimu.” Naruto berusaha memberi penjelasan pada Shun. Shun harus tau bahwa dia dan Gaara benar-benar menyayangi Shun. Tidak peduli siapa ayah kandungnya. Bagi Gaara, Shun adalah anak kebanggaannya dan akan selalu begitu. Selamanya akan menjadi Sabakuno Shunsuke.
“Aku tau. Aku tau Ibu. Tapi tetap saja. . . Ada lubang di dalam hatiku.” Shun mulai terisak. Ia menumpahkan semua yang dirasakannya sampai saat ini. Biarlah dia disebut cengeng dan lemah. Ia hanya bisa bebas berekspresi saat berada di depan ibunya.
“Shun, Semua tidak akan berubah. Tidak akan merubah apapun.”
“Setidaknya aku bisa merasa lega. Ya lega.”
Naruto melepaskan pelukannya. Ia menatap mata biru sang anak. “Ibu tidak akan menghalangimu Shun tapi Ibu juga tidak akan mendukungmu.” Ia meremas tangan Shun. Wanita pirang itu menghela nafas.
“Ibu tidak mau Ayahmu mengira Ibu masih mencintai Sasuke. Karena itu lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tapi Ibu mohon kau harus berhenti jika kau merasa terluka. Ibu dan Ayah juga akan merasa sakit jika kau sakit. Kau mengerti?.”
Naruto berbohong, bagaimana dia bisa tidak mencintai Sasuke jika pada kenyataannya sang putra selalu mengingatkannya pada pria itu. Tapi dia juga tidak berbohong jika dia merasa takut kalau Gaara mengira dia masih mencintai Sasuke. 18 tahun bukan waktu yang singkat hingga benih cinta bisa tumbuh di hatinya untuk Gaara. Ia mencintai Gaara dan ia tau ia mencintai Gaara lebih dari rasa yang pernah ia rasakan pada Sasuke. Pernah?, ia yakin perasaan cintanya pada pria Uchiha itu tak lebih dari perasaan bahwa pria itulah ayah dari putra pertamanya. Ia mencintainya, mencintainya sebagai ayah dari anak yang sangat dicintainya.
Shun tersenyum tipis. “Mom.”
“Hmm?.”
“Can we sleep together?.” Tanya Shun yang masih memeluk ibunya dengan manja. Naruto menepuk-nepuk punggung Shun. Anaknya ini bisa berubah sangat manja jika ada yang dipikirkannya.
Brak!
“Kembalikan Mom!.” Arashi mendobrak kasar pintu kamar Shun. Ia terlihat kesal.
“Ck, panda bodoh datang.” Katanya dengan nada mengejek.
“Siapa yang kau sebut panda bodoh, Nii-san no Baka.”
“Ck ck ck, dasar adik tidak sopan. Di mana tata krama mu heh, dasar adik durhaka.” Shun berdecak.
“Khh, Nii-san no baka.”
Inilah yang setiap hari terjadi di rumah mereka. Shun dan Arashi selalu bertengkar memperebutkan perhatiannya. Belum lagi jika ada Gaara. Suaminya itu tidak jauh berbeda dengan kedua putra manjanya ini. Terkadang Naruto pusing bagaimana menghadapi tiga bocah besar ini. Ngomong-ngomong soal Gaara, Naruto mulai merindukan keberadaan Gaara di sisinya.
.
.
.
Pagi yang sangat cerah. Cahaya matahari yang masuk dari jendela kamarnya membuat matanya tidak bisa terpejam kembali. Ia menguap lalu melangkahkah kakinya ke kamar mandi. Setelah selasai, ia kemudian menuju ke ruang makan dimana semua orang menunggu.
“Selamat pagi.” Sapanya. Ia kemudian mendekati ibunya dan mencium pipinya.
“Selamat pagi sayang.”
“Jadi.”
“Jadi?.”
“Jadi apa rencanamu hari ini, Naruto?.”
“Ah, Arashi ingin ke Akihabara.” Kata Naruto sembari menguyah roti dengan marmalade tersebut.
“Akihabara?.”
“Ung, Aku ingin mencari video game. You know Grandpa. Akihabara is popular among us. Never visit Japan without visit Akihabara.” Ucap Arashi dengan mata berbinar-binar. Sudah sejak lama ia ingin menunjungi tempat itu.
“Ck, Akihabara terkenal diantara teman maniak gamemu.” Ejek Shunsuke.
Dan mulailah pertengkaran kecil kakak beradik yang membuat mansion itu jadi ramai. Seluruh penghuninya tampak senang walau ada keributan di depan mereka. Bahkan para pelayan tidak dapat menyembunyikan tawa kecil mereka ketika melihat kedua tuan muda itu.
.
.
.
-Di bagian benua lain-
Pria itu menegakkan tubuhnya. Meregangkan ototnya yang lelah akibat seharian penuh bekerja di kursi kebesarannya. Ia menoleh sebuah bingkai foto kecil yang selalu ia pajang. Foto keluarga kecil yang sangat dicintainya. Tatapan matanya menunjukkan kasih sayang yang sangat besar. Usianya sudah hampir setengah abad namun ketampanan ragawinya tidak luntur dimakan usia.
“Sebentar lagi, aku akan menyusulmu sayang.”
.
.
.
-TBC-
.
.
.