Selasa, 11 Maret 2014

FF Memories Chapter 3 Lie



.

.

.

.

.

.

Disclaimer      : Naruto isn’t mine.

Genre             : Terserahlah.

Rate                : T-M

Warning         : Broken pair, Frontal, cheating and hatred, GS, OOC (ok, saya menyerahkan sepenuhnya pada reader, saya tidak mematok bagaimana sifat charanya).

Don’t like don’t read

Pair                 : Sasufemnaru, xxxfemnaru slight Shikafemnaru (ditulis biar kaga ada yang komplen :P).

.

.

.

.

.

Cast

Uchiha Sasuke

Uzumaki Naruto

Nara Shikamaru.

Uzumaki Karin.

Nara Shikaku.

Mr. X

Cast lain menyesuaikan.

.

.

 .

Summary: Saat masa lalu datang kembali membawa sejuta kenangan indah dan juga kenangan buruk. Apakah kamu akan berbalik ataukah lari?

.

.

.

Chapter 3. Lie

.

.

.

Seharusnya ini adalah hari pernikahannya.

Gaun itu adalah gaun khusus yang telah dipesannya.

Dan laki-laki itu . . .

.


.

.

Tes

Tes

Tes

Air mata mengalir deras di pipinya. Hatinya sakit saat melihat pernikahan itu. Pernikahan yang seharusnya miliknya. Wanita itu membelai lembut perutnya. Ia menangis sesengukan dalam taxi itu.

“Nona, anda tidak apa-apa?.” Tanya sopir paruh baya. Ia khawatir dengan keadaan penumpangnya yang tidak terlihat baik ini.

“Ya.” Wanita itu menghapus air matanya dengan kasar. “Kita pergi dari sini.”

.

.

.

‘Your word is all lie and bullshit.’

.

BRAKKKK!!!

.

.

.

“Apa yang kau lakukan disini?.” Tanyanya dengan sinis. Pagi ini saat akan berangkat ke café miliknya, ia menemukan pria raven itu di depan pintu apartemennya. Dengan membawa sebuket mawar berwarna kuning kesukaannya

“Naruto. Aku  . . .”

“Sudah kubilang pergi dari hadapanku! Aku muak melihatmu!.”

“Naruto tolong dengarkan aku. Forgive me. Please forgive me. I . . .”

“Cukup!.” Bentaknya. “Enough, I don’t wanna hear anything. Everything you say is a lie and bullshit.”

“No, please. I can explain. Please.” Pinta Sasuke memelas.

Naruto tidak peduli, ia membanting pintu di depan wajah tampan sang Uchiha. Tubuh Sasuke serasa membeku di tempat. Tergambar jelas bahwa ia terluka dan kecewa. Ia menghela nafas. Mungkin inilah hukumannya. Seandainya saja dulu ia tidak menerima permintaan bibi Kushina, mungkin sekarang dia sudah bahagia dengan Naruto. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Sebanyak apapun penyesalannya tidak akan mengubah apapun. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah berusaha memperbaiki kesalahannya. Sasuke meletakkan rangkaian mawar itu didepan pintu apartemen Naruto kemudian berjalan dengan lunglai meninggalkan apartemen Naruto.

.

.

.

Sementara itu, Tubuh Naruto merosot. Ia terduduk besandar di pintu. Isakan kecil mulai terdengar. Ia menutup mulutnya untuk meredam isakannya.

‘Bagaimana aku bisa memaafkanmu jika gara-gara kau, aku kehilangan dia.’ Katanya dalam hati.

 
-Flashback-

“Bagaimana dok? Saya sakit apa?.” Belakangan ini Naruto merasa tidak enak badan. Tubuhnya selalu terasa lemas dan kadang merasa mual saat mencium sesuatu yang menurutnya aneh.

“Selamat, nyonya. Anda sedang mengandung. Usianya sekitar 3 minggu.”

Naruto tersenyum bahagia. Bagaimana tidak? Ini adalah kabar gembira bukan? Sebentar lagi ia akan menyandang gelar nyonya Uchiha dan sekarang ia tengah mengandung buah cintanya dengan Sasuke. Ini adalah kado terindah untuknya. Ia tidak sabar untuk memberitahukannya pada Sasuke.

“No-nona Naruto?.”

“Aku ingin bertemu Sasuke.” Katanya sambil tersenyum lebar.

“Tu-tuan muda ada di halaman belakang.” Pelayan itu segera meninggalkan Naruto.

Naruto hanya memandang heran pelayan itu. kenapa dia tampak ketakutan. Naruto melangkah dengan cepat menuju halaman belakang kediaman Uchiha. Senyum tak hilang dari wajah manisnya.

Tapi . . .

“Na-naruto. . .”

Air mata mulai menetes dipipi mulusnya. Bagaimana tidak, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri calon suaminya berciuman dengan orang lain. Tidak, bukan orang lain. Gadis itu kakaknya, Karin. Naruto membalikkan tubuhnya dan berlari meninggalkan kediaman Uchiha. Tidak memperdulikan saat namanya dipanggil.

Naruto masuk ke kamarnya. Ia menghempaskan tubuhnya dan menangis sesengukan. Ia menangis sampai ketiduran. Ia terbangun pada keesokan harinya.

Jam sudah menunjuk ke angka 9. Naruto mengerjapkan mata shapirenya. Naruto merasa haus dan sedikit lapar. Hal yang wajar mengingat belum dimasuki apapun sejak kemarin sore. Sebenarnya bisa saja ia membiarkannya dan kembali mengurung diri di dalam kamarnya. Tapi ia tidak bisa, mengingat ada satu nyawa lagi yang bergantung padanya. Naruto mengusap perutnya yang masih rata dan tersenyum. Ia turun ke dapur di lantai satu.

Naruto membuka lemari es lalu menuangkan air itu kedalam gelas. Ia meneguknya.

“Naru-chan.”

“What do you want?.” Katanya ketus.

Gadis berkacamata itu hanya menunduk. Gadis yang selalu merebut semua miliknya.

“Gomen.”

Naruto memandang gadis merah itu dengan sinis.

“Don’t ever say sorry when you are not really felt sorry.”

Gadis itu makin menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. Naruto meninggalkan Karin sendiri di dapur itu sendirian. Ia kembali ke kamarnya dan berbaring dikasur empuk miliknya.

Hari pernikahan tiba. Semua orang di rumah keluarga Namikaze terlihat sibuk sejak pagi. Gadis itu tampak cantik dengan gaun pengantin berwarna putih gading yang melekat pas di tubuh rampingnya. Rona merah menghiasi pipinya. Ia tampak bahagia. Semua orang tampak bahagia dengan pernikahan ini kecuali satu orang.

Tok tok tok

“Naru, ayo keluar nak.” Minato kembali mengetuk pintu kamar putri bungsunya. Ia khawatir dengan Naruto.

“Minato.”

“Kushina, Naruto belum keluar juga.”

“Ayo, kita pergi. Kita tidak boleh terlambat.”

Minato hendak menolak tapi Kushina memberi isyarat agar Minato ikut dengannya. Akhirnya dengan terpaksa Minatopun pergi bersama Kushina.

Di dalam kamar, Naruto menangis dalam diam. Bagaimana bisa mereka melakukan ini padanya? Selalu Karin, Karin, dan Karin. Kenapa selalu dia? Sejak kecil dia tidak pernah merasakan kasih sayang orang tuanya. Dan sekarang, bahkan calon suaminya direbut.

Ia tidak kuat lagi. Semua ini harus berakhir disini. Kalau memang ia tidak bisa bahagia dengan Sasuke. Biarlah ia bahagia dengan calon anaknya. Hanya berdua.

Naruto menghapus airmatanya. Ia mengambil tas besar dilemarinya kemudian memasukkan pakaian miliknya. Setelah menutup resleting tas besar itu. Ia kemudian berjalan menuju pintu kamarnya untuk segera pergi sebelum orang-orang kembali. Saat tangan kirinya memutar kenop pintu, ia melihat benda berkilauan di jari manisnya. Naruto tertengun sebentar.


‘Would you be my wife?.’

Naruto teringat kata-kata Sasuke saat melamarnya. Seketika itu pula pandangan matanya berubah menjadi kosong.

“Your word is all lie and bullshit.”

Ia melepas cincin platina bertahtakan sapphire itu kemudian melemparkannya ke tempat sampah.
Ia langsung keluar meninggalkan rumah itu dengan taksi. Ia meminta sopir taksi itu unntuk pergi ke tempat pernikahan Sasuke dan Karin. Naruto mengamatinya dari kejauhan. Rupanya pernikahan itu sudah selesai. Aura kebahagiaan benar-benar terasa di tempat itu.

Ia tersenyum kecut. Dengan lembut ia mengusap perutnya.

‘Sekarang hanya tinggal kau dan aku. Ibu berjanji akan membesarkanmu dengan baik. Mari kita hidup bahagia berdua saja. Hanya berdua.’ Katanya dalam hati.

“Anda baik-baik saja nona.” Tanya sopir paruh baya itu saat melihat penumpangnya terlihat pucat dan menangis.

“Jalan pak.”

.

.

.

BRAKKK!!!!

.

.

.

Naruto berusaha mempertahankan kesadarannya. Ia merasakan sakit di kepala dan perutnya.

“Nona anda anda tidak apa-apa?. Hey nona . . . nona.”

Ia sempat melihat darah yang di selangkangannya sebelum akhirnya kegelapan menguasainya.

.

.

.

Naruto mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia berada disebuah ruangan putih. Apa dia sudah mati?.

“Syukurlah anda sudah sadar nona, saya akan memanggil dokter.” Kata perawat itu.

.

.

.

Tes

Tes

Tes

Air mata kembali menetes di pipinya. Padahal ia sudah berjanji tidak akan menangis lagi. Padahal ia sudah berharap bisa bahagia dengan anaknya kelak tapi ternyata takdir berkata lain. Ia menatap kosong jendela kamar rawatnya. Ia sangat syok saat mengetahui ia kehilangan calon anaknya.

Ia putus asa

Ia tidak punya keinginan untuk hidup lagi

Ia sudah tidak mampu untuk hidup lagi.

“Maafkan aku. Ini salahku. Seandainya saja aku lebih berhati-hati saat menyetir . . .”

Naruto mengalihkan pandangannya kepada seorang lelaki yang kini tengah bersujud di sebelah ranjangnya. Sesaat kemudian ia kembali memandang jendela kamarnya dengan pandangan kosong.

.

.

.

Satu bulan berlalu sejak saat itu.

“Dia mengalami depresi berat akibat kehilangan anaknya. Sampai sekarang dia masih tidak mau bicara.” Ucap dokter itu. Yamato, nama dokter yang juga teman sejawatnya. “Kau harus bertanggung jawab pada gadis itu Shikamaru.”

“Aku tau.”

Dokter itupun melangkah pergi meninggalkan Shikamaru yang berdiri di depan kamar rawat Naruto. Ia kemudian memasuki kamar itu seperti yang ia lakukan sebulan ini.

“Apa kau mau memaafkanku?.”

“ . . .”

“Aku akan melakukan apapun yang kau minta. Bahkan jika kau ingin aku matipun. . .” Shikamaru berhenti bicara. “. . . Aku sudah tak punya siapa-siapa di dunia ini. Orang tuaku sudah meninggal saat aku masih remaja. Aku yakin tidak akan ada yang menangis jika aku mati.”

“. . .”

“. . .”

“Apa pun?.” Naruto memandang Shikamaru. Kini pandangan mereka bertemu.

“Ya.” Jawabnya tanpa  ragu.

“ . . . Kalau begitu . . . bisakah kau memberikanku . . .”

-Flashback end-



“Hiks hiks Shika. He’s back. I need you. I need you please.” Naruto menenggelamkan kepalanya diantara dua pahanya. Ia teringat pada Shikamaru, mendiang suami yang telah memberinya anak yang lucu.

2 bulan setelah Naruto keluar dari rumah sakit Shikamaru langsung menikahinya. Pernikahan itu di gelar secara sederhana dan hanya dihadiri oleh kenalan dekat Shikamaru. Naruto? Gadis itu bahkan tidak mengatakan dimana keluarganya. Agaknya dia benar-benar memutuskan kontak dengan mereka. Naruto menginginkan seorang bayi dan karena Shikamaru tidak ingin menghamili gadis itu diluar ikatan pernikahan makanya ia menikahinya. Setelah pernikahan, Shikamaru langsung membawa Naruto ke Amerika. Mereka memulai hidup baru mereka disana. Tidak lama kemudian, Naruto dinyatakan hamil. Kebahagian mereka bertambah. Hidup bersama dan terbiasa satu sama lain, akhirnya benih cinta itu tumbuh. Saat kandungan Naruto berumur 7 bulan bulan, ia terjatuh hingga harus melahirkan secara premature. Seorang bayi laki-laki dengan wajah mirip sang ayah dan mata sang ibu lahir dengan selamat. Bayi itu di beri nama Nara Shikaku. Kebahagiaan mereka lengkap sudah.

Sayang kebahagiaan itu hanya sementara. Shikamaru terlebih dahulu dipanggil Yang Kuasa. Tuhan ternyata terlalu menyayangi pria pemalas itu.

.

.

.

“Dia membenciku Kaa-san.” Sasuke tampak frustasi.

Satu jam lalu orang tua Sasuke  dan Naruto sampai di kota ini. Sasuke menjemput orang tua dan mertuanya bandara. Dan karena apartemen Sasuke memiliki banyak kamar, maka kedua keluarga itu sepakat untuk tinggal di apartemen miliknya. Baik Fugaku, Minato maupun Kushina kini sedang beristirahat di kamar masing-masing. Perjalanan selama 7 jam cukup menyita energi mereka yang sudah tidak muda lagi. Hanya Mikoto yang menemani Sasuke bicara. Ia merasa Sasuke perlu teman untuk bicara. Anggaplah insting seoarang ibu.

“Bersabarlah Sasuke. Kaa-san yakin suatu saat Naruto akan memaafkanmu.”

Sasuke menggeleng.

“Atau mungkin tidak, tidak akan pernah. Aku membuatnya kecewa Kaa-san. Aku membuatnya pergi bersama anak kami.”

Mikoto hanya bisa memandang anaknya dengan kasian. Tidak ada yang bersalah. Hanya saja keadaanlah yang membuatnya begini.


-Flashback-

Gadis berambut merah tampak bahagia karena menikah dengan orang yang di cintainya. Ironis memang, dia merebut calon suami adiknya sendiri. Tapi apalah daya, cinta dan keegoisan menguasainya. Ia melirik suaminya, Uchiha Sasuke, yang duduk di sampingnya. Pria itu tampak datar tanpa ekspresi. Sangat berbanding terbalik dengan saat ia melihatnya dengan Naruto.

“Sasuke-kun.”

“Hn.”

“Malam ini . . .” Gadis itu menunduk. Wajahnya tampak merah padam karena malu. Sasuke berusaha mengacuhkannya. Pikirannya menerawang. Seharusnya yang duduk disampingnya adalah Naruto.

Setelah upacara pernikahan dan resepsi itu, keluarga Namikaze dan Uchiha kembali ke kediaman Namikaze karena hari sudah terlalu malam dan kediaman Uchiha berada agak jauh dari gedung resepsi.

.

.

.

“Sasuke-kun, mau kemana?.”

Sasuke terdiam.

“Aku mau menemui Naruto.”

Deg!

Karin menunduk. Matanya berkaca-kaca. Tangannya meremas gaun tidur yang sudah dipakainya. Gaun tidur berenda yang sangat mini. Bagaimanapun ini adalah malam pengantinnya bukan?.

“A-apa tidak bisa besok saja.”

Sasuke terdiam dan kemudian melanjutkan memutar kenop pintu. Meninggalkan Karin yang kini terisak di lantai kamarnya.

.

.

.

Tok tok  tok

“Naruto. Tolong buka pintunya. Aku ingin bicara. Aku ingin menjelaskan semuanya.”

Hening

Hening

Akhirnya Sasuke memutuskan untuk masuk ke kamar itu. sasuke memasukikamar Naruto yang masih gelap. Ia meraba didnding untuk menemukan saklar lampu. Setelah lampu kamar itu bersinar terang. Iapun menyusuri kamar itu.

“Naruto.” Sasuke mencarinya di kamar mandi tapi hasilnya nihil. Sasuke mulai tampak panik. Ia kemudian menuju lemari besar itu dan ternyata duagaannya benar. Lemari itu kosong.

“Tidak, ini tidak mungkin Naruto tidak mungkin meninggalkanku.” Sasuke menjambaki rambutnya. Tidak peduli akan banyaknya rambut indah itu rontok. “Naruto, Naruto, aku tau kau ada di sini. Keluar Naru! Kumohon, jangan siksa aku seperti ini!.” Sasuke berteriak seperti orang gila. Ia mengitari kamar itu berulang kali, berharap gadis pirang itu menunjukkan diri. Sesuatu yang sangat mustahil.

Mata ravennya menangkap bayangan sebuah benda berkilau di tempat sampah disamping meja nakas.

Cincin sapphire.

Ya, cincin yang dulu digunakannya untuk melamar Naruto. Cincin itu kini berada di tempat sampah.

“Na-naru . . . Naruto!.” Teriaknya seperti orang gila.

-Flashback End-


“Dia membenciku. Dia tidak mau memaafkanku.”

“Bersabarlah. Semua pasti akan baik-baik saja.” Mikoto mengusap punggung Sasuke.

Mereka tidak menyadari bahwa Kushina mendengar pembicaraan ibu dan anak itu. Ia merasa sangat bersalah. Ini adalah kesalahannya. Ini semua kesalahannya. Seandainya dulu ia bisa bersikap adil. Seandainya dulu ia tidak memohon pada Sasuke bahkan mengancam akan bunuh diri jika pemuda itu tidak mau menikahi Karin. Padahal dia tau Sasuke hanya mencintai Naruto. Tapi kasih sayangnya pada putri sulungnya membutakan hatinya.

‘Maafkan aku, ini semua salahku.’ Katanya dalam hati.

.

.

.

“Sedang memikirkan apa?.”

“Hmm, sedang memikirkan pertemuanku besok dengannya.”

“Kau yakin?.”

“Hmm. Ya.” Kata pria merah itu. “Aku ingin meminta maaf padanya dan . . . berterima kasih.” Katanya sambil memegang dada kirinya.

Sang adik, Gaara, hanya diam memperhatikan tatapan sendu kakaknya. Mungkin inilah satu-satunya cara agar kakaknya bisa terbebas dari rasa bersalah.

“Kau tau, aku bertemu dengannya saat di rumah sakit. Dia adalah pria yang baik.” Ucap pria merah itu sembari menikmati pemandangan malam Konoha. “Dia sering menceritakan anak dan istrinya. Betapa istrinya sangat cantik dan putranya sangat tampan. Sungguh menyebalkan. Tapi . . . entah kenapa aku mau-mau saja mendengar ocehan nanas itu.”

Pria itu mengingat Shikamaru, dokter yang dulu pernah merawatnya juga dokter yang telah memberinya kehidupan.

“Aku akan menemuinya besok.”

.

.

.

Pria berambut merah itu memasuki sebuah coffe shop yang beberapa hari ini telah dilihatnya.

“Selamat datang. Silahkan menunya.” Gadis bername tag Sakura itu memberikan buku menu padanya.
Pria itu membaca menu yang disodorkan padanya.

“Coffe Latte.” Katanya sambil meletakkan menu di atas meja. “Bisakah aku bertemu dengan Nara Naruto?.”

“Nara?.”

“Maksudku pemilik coffe shop ini.”

“Ah, maksud anda Namikaze-san? Dia ada di ruangannya. Sebentar saya akan memberitahunya.”

“Terima kasih.”

Gadis itu segera melesat masuk. Tidak lama kemudian dia keluar.

“Silahkan, Namikaze-san sudah menunggu anda.”

Pria itu beranjak dari tempat duduknya dan segera mengikuti gadis berambut pink itu.

Tot tok tok

“Naruto-san. Ada yang ingin bertemu.”

“Masuk saja Sakura-san.”

Sakura memberi isyarat agar pria itu masuk ke dalam ruangan Naruto.

“Anda?.” Naruto tidak pernah merasa mengenal pria yang ada di depannya itu.

“Saya Sasori, sabaku Sasori.”

Naruto membulatkan matanya.

.

.

.

-TBC-

.

.

.

Udah ketahuan blum siapa pria misterius itu?

Udah kan? Hehehehe

Kalo FF ini emang sengaja kubikin pendek & To the point  (udah ditodong ma dark mellow supaya ini 
pendek2 aja.) 

Well, See ya next time.

.

.

.

4 komentar:

  1. Haaaii... Karena infomu di FF aku Akhirnya lari ke blog-mu deh.... Endingnya bakal SasuNaru ga' sih?? Tapi kayaknya kalau ganti pairing boleh juga tuh... Jarang2 Kan Ada pairing SasoNaru... Hehehehe... Ditunggu next chapter...

    Jaa ne..

    Kirei-Neko

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sasonaru? nggaklah. si Sasori gak cinta kok ma Naru. Tapi gak tau juga kalo Naru nrima lamarannya hahahaha

      Hapus
  2. wah bagus
    moga moga ama sasuke yaw
    karin gmana kabar'y ???

    BalasHapus