Sabtu, 29 Agustus 2015

FF. Marriage Scandal




.

.

.

.

.

.

“Hiks hiks Sasuke selingkuh Nee-san.” Kata gadis berambut pirang itu dipelukan wanita yang memiliki warna rambut yang sama. “Dia dengan Sakura.”

“Apa kau yakin Naru-chan?. Mungkin . . .” Tanya wanita berambut pirang pucat itu.

“Itu benar!. Aku melihat mereka. Aku melihat mereka hiks be-berciuman saat aku mengantarkan makan siang hiks.”

“Apa!. brengsek!.” Teriak wanita berambut merah itu.

“A-aku harus bagaimana Nee-san. A-aku tidak mau kehilangan suamiku. A-aku baru menikah.” Benar, gadis itu baru menikah sebulan yang lalu. Jadi tidak mungkin ia bisa memutuskan pernikahannya sekarang. Apalagi pernikahan ini merupakan perjodohan orang tuanya dengan anak sahabatnya dari keluarga Uchiha. Pernikahan ini bukan hanya tentang dia dan suaminya tapi juga persahabatan kedua keluarga. 

Wanita berambut pirang yang dipanggil Nee-san itu beradu pandang dengan wanita lain yang berambut merah yang sedari tadi mengawasi kedua adiknya. Wanita berambut merah itu berpikir sejenak lalu menjentikkan jarinya.

“Naru, ikut kami ke Prancis.”

“Ta-tapi . . .”

“Aku akan minta ijin pada Tou-san dan Kaa-san. aku akan mengatakan pada mereka bahwa kau harus menyelesaikan tugas kuliah yang harus diselesaikan sebelum wisuda.”

“Ta-tapi utuk apa Nee-san?.”

“Benar, bukankah itu akan membuat si ayam itu bebas berselingkuh, Nee-san.” Protes Shion. Jika Naruto pergi si pantat ayam itu pasti akan lebih leluasa berselingkuh.

Karin tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. Ia menarik kaca mata berbingkai orange yang bertenger di hidung Naruto.

“Kau harus pergi ke Paris dan belajar . . .” Katanya misterius.

.

.

.

“. . . Untuk membuatmu menjadi Yamato Nadeshiko.”

.

.

.

.

.

Title    : Marriage Scandal

.

.

.

Disclaimer      : Naruto isn’t mine. The original chara is own by Masashi Kishimoto but this story is purely mine.

Genre             : Marriage life, Hurt, Angst, Drama.

Rate                : M

Warning         : Marriage Life, cheating and hatred, GS.

.

Don’t like don’t read

.

.

.

.

.

.

Cast

Namikaze Naruto.

Uchiha Sasuke.

Haruno Sakura.

Namikaze Shion.

Namikaze Karin.

Cast lain mendukung.

.

.

.

Summary: Sakit hati, iya. Saat melihat suamimu yang mulai kucintai bercumbu dengannya, perempuan yang kuanggap teman. Lalu apa yang akan kulakukan? Lihat saja nanti.

.

.

.

.

.

.

Wanita itu berjalan anggun bak model seraya menarik koper besarnya keluar dari bandara. Ia mengeluarkan smartphonenya. Ia menghela nafas. Ia teringat dengan kedua kakaknya. Sosoknya yang cantik dengan tubuh bak model papan atas itu membuat semua orang menoleh padanya apalagi tubuh indah itu terbalut mini dress rancangan desainer terkenal kelas dunia.

‘Gomen Imoutou.’ Karin menangkupkan kedua tangannya meminta maaf. ‘ Aku dan Shion masih 
mau jalan-jalan. Jadi kau pulang sendiri ne.’

Ia kembali menghela nafas. Ia memijit keningnya memikirkan betapa tidak bertanggung jawabnya kedua kakaknya yang kini tengah menikmati liburan di daratan Eropa. Mungkin ia harus meminta Tousan-nya untuk memotong uang bulanan kakaknya biar tau rasa. Ia kemudian men-dial sebuah nomor telfon yang sudah sangat di kenalnya.

“Moshi-moshi.” Jawab suara dari seberang.

“Sasuke.”

“Ya, ini siapa?.”

“Ish, suara istri sendiri masa tidak kenal.” Katanya dengan nada kesal.

“ . . . Naruto?.” Suaranya tampak ragu-ragu.

“Aku sudah sampai di Konoha. Sekarang aku ada di bandara. Jemput aku.” Katanya jelas, padat dan singkat. Perjalanan berjam-jam dari Prancis membuatnya sangat lelah. Ia tidak ingin berdebat terlebih dengan orang yang membuatnya kesal saat ini.

“Tidak bisa, aku . . .”

“Baiklah, kalau begitu aku akan meminta Itachi-nii untuk menjemputku.” Selanya. Ia berpura-pura kesal. Jika sampai Itachi tau Sasuke tidak mau menjemput Naruto maka Sasuke akan diomeli habis-habisan oleh kedua orang tuanya.

“Tunggu! Baiklah aku menjemputmu.”

“15 menit. Jika kau belum sampai di sini, aku akan menelfon Itachi-nii.”

Piip!

Wanita itu memutuskan panggilannya. Ia tersenyum sinis kemudian mendudukkan dirinya dengan santai di kursi tunggu. Ia ingin melihat sejauh mana pria itu bisa berusaha. Ia tidak akan mudah melepaskan Uchiha Sasuke begitu saja.

‘Sibuk apa? Sibuk bermesraan dengan seligkuhanmu heh. Lihat saja nanti.’ Katanya dalam hati. Wanita itu mulai membuka majalah fashion yang dibawanya.

.

.

.

-Sasuke Pov-

Namaku Uchiha Sasuke, 25 tahun. Aku adalah anak bungsu dari keluarga kaya raya Uchiha. Karena itulah, aku bisa mendapat semua wanita yang kuinginkan. Well, siapa yang tidak akan jatuh cinta pada pria tampan dan kaya sepertiku. I’m perfect ya’ know. Tapi entah kenapa orang tuaku memaksaku menikah dengan salah satu anak temannya. Dan mau tidak mau aku harus menuruti keinginan ayahku. Kata-katanya adalah mutlak dan tidak boleh di ganggu gugat.

Gadis itu bernama Namikaze Naruto. Gadis itu cukup cantik sayang gayanya agak sedikit kampungan. Lihatlah kacamata bulatnya yang menggelikan itu. Kenapa gadis seperti ini yang harus jadi istriku? Yah, tapi kurasa tidak ada salahnya menikahi gadis kampungan itu. Setidaknya aku masih bisa bersenang-senang dengan kekasihku.

Aku bertemu dengannya saat pesta pernikahanku dengan Naruto. Gadis itu adalah juniorku saat masih SMA dan aku tau dia tergila-gila padaku. Tidak kusangka gadis kecil itu bisa tumbuh menjadi gadis secantik ini. Dadanya bulat besar, wajahnya cantik dan ia pandai memoles diri. Benar-benar tipeku.

Bukan salahku jika aku tergoda bukan? Terlebih gadis itu menyerahkan dirinya sendiri tanpa perlu kurayu. Aku hanya menikmati apa yang tersedia di depanku.

-End POV-

.

.

.

“Sasuke-kun, siapa yang menelpon?.” Wanita itu mendudukkan tubuhnya di ranjang. Tubuh polosnya hanya tertutupi selembar selimut putih.

“Istriku.” Katanya datar. Ia mengancingkan kemeja mahalnya dengan cepat. Sakura tampak kaget. Hilang sudah rasa kantuknya saat mendengar nama yang sangat ia benci. Benci karena gadis itu bisa menjadi istri sah seorang Sasuke Uchiha yang sangat dipujanya.

“Naruto?.”

“Siapa lagi?.” Sasuke menatap Sakura bosan. Terkadang ia merasa jengah juga terhadap wanita itu.

“Dia kembali?.”

“Ya, dan dia memintaku segera menjemputnya atau dia akan meminta Itachi-nii.” Sasuke bergidik ngeri jika membayangkan jika sang kakak marah padanya. Bukan itu saja, ayah dan ibunya pasti juga akan menasehatinya sampai telinganya panas. Tentang bagaimana seharusnya seorang suami, tentang seorang pria dewasa dan gentleman dan masih banyak lagi. Tamat riwayatnya jika Naruto sampai mengadu pada Itachi.

.

.

.

Wanita itu, melirik jam tangannya dengan wajah kesal. Sudah hampir 20 menit tapi jemputannya belum datang. Padahal dia tau jarak kantor Sasuke tidak lebih dari 15 menit dari bandara.

‘Berani kau mengabaikanku. Awas saja kau ayam.’

.

.

.

Sasuke memasuki bandara dengan tergesa-gesa. Dia tentu tidak mau mendengar ceramah dari ayah dan ibunya juga kakaknya. Ia menuju meja resepsionis untuk menanyakan jadwal pendaratan hari itu.

“Permisi nona, pesawat dari Prancis, apa sudah mendarat?.”

“A-ah, ya. Ti-tiga puluh menit yang lalu.” Katanya gugup.

“Shit!.” Sasuke berbalik dan mencari sosok istrinya. Seorang gadis muda dengan kacamata bulat dan rambut pirang panjang yang harus ia akui sangat indah bahkan lebih indah dari surai pink milik Sakura berdiri menghadangnya dengan tangan terlipat di dadanya. Wajahnya yang tertutup kacamata merk Gucci tampak kesal.

“Kau terlambat 10 menit Uchiha Sasuke.” Seorang perempuan berdiri di depannya dengan berkacak pinggang. Mata Sasuke membulat. Di depannya sedang berdiri seorang wanita yang sangat cantik dengan wajah kesal. Sejenak tubuh pria itu membeku. Sasuke merasa mengenal wanita itu. Wanita itu sangat cantik. Kulitnya putih bersih. Sasuke memandang wanita itu dengan takjub. Ia melihatnya dari atas ke bawah dan begitu sebaliknya berkali-kali. Sebuah gaun berwarna merah menyala melekat ketat di tubuh langsingnya di padukan dengan stilleto sederhana berwana hitam. Riasan tipis dan natural serta lipstik pink pastel menghiasi wajah cantiknya. Rambut pirang indahnya di gerai dengan sedikit di beri gelombang dan volume.

Tunggu! Rambut pirang?

“Naruto?.” Katanya dengan tidak yakin.

Wanita itu memutar matanya dengan malas. “Kau pikir siapa?.”

Sasuke terkejut. Ia masih tidak percaya wanita cantik didepan matanya itu adalah istrinya yang dulu sedikit kampungan. Look like a duck became a ghoose. Naruto menghampiri Sasuke dan menggandeng lengan suaminya. Tidak lupa ia menyerahkan koper besarnya pada sasuke.

“Aku lelah. Aku ingin cepat pulang.”

“I-iya.” Kata Sasuke gugup. Ia tidak tau harus berkata apa.

Sasuke membawakan koper besar milik Naruto dan menggeretnya ke dalam mobil.

.

.

.

Naruto mematut dirinya di depan cermin meja rias. Ia memakai pelembab, mengoleskan lip gloss di bibir merahnya dan tidak lupa menyemprotkan parfum ke tubuhnya. Eau de Toillete keluaran Channel yang mengeluarkan aroma manis nan menggoda. Lihatlah dia sekarang, bukankah dia terlihat menggoda?. Ia hanya memakai sleep wear berwarna biru tua dengan hiasan renda transparan berwarna hitam. Koleksi dari rumah mode terkenal Victoria secret yang khusus merancang lingerine dan underwear. Ia membeli beberapa potong sesuai dengan saran kakak-kakaknya saat ia ‘belajar’ di kota mode dunia itu.

‘Jika kau ingin mendapatkan suamimu kembali. Kau harus menjadi istri yang sempurna. Bukan hanya di luar rumah tapi juga di ranjang. Jika suamimu puas. Maka dia tidak akan melirik wanita lain.’

Cklek!

Pintu kamar utama terbuka. Sasuke masuk kedalam kamarnya setelah mengantar orang tuanya pulang. Walau sebenarnya kediaman mereka hanya terpaut beberapa rumah. Sasuke memasuki kamarnya. Ia sedikit terkejut saat melihat Naruto duduk di pinggir tempat tidurnya.

Naruto menoleh saat merasa Sasuke memasuki kamar mereka. Ia berdiri dan mendekati Sasuke. Ia tau beberapa kali laki-laki itu menenguk ludahnya. Ia medekatkan tubuhnya ke tubuh Sasuke hingga pria itu dapat mencium wangi tubuhnya. Ia mendongak dan mencium bibir Sasuke yang di balas dengan lumatan kasar dari sang suami. Setelah berapa lama merekapun melepaskan ciuman itu. Sasuke merasa bergairah karena ciuman tadi begitupun Naruto.

Naruto sedikit menjauhkan dirinya dari Sasuke dan melepaskan ikatan simpul jubah tidurnya. Naruto terlihat sangat seksi dan menggoda dengan hanya dibalut sebuah sleep wear tipis berbahan sutra biru yang sangat pendek. Bahkan gaun itu tidak bisa menutup separuh pahanya.

You know, this is our first night. Mari kita buat berkesan.” Katanya dengan penuh senyuman. Senyuman yang sangat menggoda di mata Sasuke.

Malam ini akan menjadi malam yang sangat panjang untuk mereka. Biarlah, toh mereka memang sudah sah menjadi suami istri.

.

.

.

Sakura merapikan make up-nya. Memakai sedikit bedak dan mengoleskan lipstik sewarna rambutnya di bibir. Setelah dirasa rapi, ia membuka pintu mobilnya dan keluar. Hari ini ia sengaja datang ke kantor Sasuke dan berencana mengajaknya makan siang. Ia memasuki gedung perkantoran itu dengan anggun dan penuh percaya diri. Beberapa orang yang melihatnya menyapanya dengan sopan. Ia memang sudah tidak asing dengan kantor ini berhubung hampir setiap hari ia memasuki perkantoran mewah Uchiha.

“Apakah Sasuke ada di tempat, Hanabi-san.” Tanyanya pada sekretaris Sasuke. Hyuuga Hanabi, seorang wanita cantik berambut coklat. Meski cantik, ia tidak akan cemburu pada wanita ini karena wanita ini jelas-jelas tidak tertarik dengan Sasuke, kekasihnya dan lebih tertarik pada Suigetsu, salah satu personal assistance Sasuke.

“Ah, ya tapi . . .”

“Kalau begitu aku masuk ya.” Sela Sakura sebelum Hanabi selesai bicara.

Sakura berjalan ke arah pintu dan membuka pintu besar tersebut.

“Sasu . . .” Senyum cerahnya luntur saat melihat pemandangan yang ada di depannya. “. . . ke?.”

.

.

.

Jam dinding menunjukkan angka 11.30. Naruto menata makanan yang akan di bawanya ke kantor Sasuke. Ia sengaja meminta Mikoto Kaa-san untuk mengajarinya memasak masakan kesukaan Sasuke sejak tadi pagi. Naruto buru-buru ke rumah pasangan Uchiha senior setelah Sasuke pergi ke kantor.

‘Nona Sakura selalu datang jam 12.15 dan mengajak Tuan Sasuke untuk makan siang. Tidak jarang mereka kembali 3-4 jam kemudian.’

Setelah semua siap, Naruto menyuruh sopir pribadinya untuk segera ke kantor Sasuke. Rumah mereka dan kantor Sasuke hanya menempuh waktu 20 menit dengan kecepatan sedang. Sang sopir dengan hati-hati memarkirkan mobil mewah itu di basement. Sebelum keluar dari mobil, Naruto kembali menata dirinya. Ia tidak mau terlihat mengecewakan. Ia harus menunjukkan bahwa dialah nyonya Uchiha yang lembut dan elegan. Sang sopir membukakan pintu untuk nyonya mudanya.

“Kita sudah sampai nyonya.” Katanya dengan sedikit menunduk.

“Terima kasih. Kau bisa makan siang di kantin. Jika akan pulang aku akan menghubungimu.” Ucap Naruto lembut yang dijawab dengan hormat oleh sopirnya.

Sopir itupun menunduk hormat. Naruto menggunakan lift untuk sampai ke kantor Sasuke, suaminya. Saat melewati aula kantor, semua orang memandanginya dengan tatapan takjub dan penasaran siapa gerangan wanita cantik itu. Naruto tiba di depan ruangan Sasuke. Di depan ruangan itu ada sebuah meja yang di isi oleh seorang sekretaris.

“Maaf, apa Sasuke sedang sibuk?.” Tanyanya sopan. Kesan pertama selalu berkesan, kau tau. Karena itu ia memberi kesan sebagai seorang wanita dan istri yang baik.

“Maaf anda siapa?.” Kata Hanabi memperhatikan penampilan wanita itu dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ia merasa tidak pernah melihat wanita yang kini berdiri di depannya.

“Aku Uchiha Naruto, Istri dari Uchiha Sasuke.” Jawabnya dengan tenang. Sontak Hanabi kaget dengan pernyataan itu. Jujur, ia tahu kalau bosnya sudah menikah tapi ia belum pernah melihat istri bosnya secara dekat. Wajar kalau dia tidak bisa mengenali Naruto.

“A-ah ya, Silahkan masuk.” Kata Hanabi mempersilahkan. “Maafkan saya nyonya, saya tidak tau kalau anda adalah istri Direktur.”

Naruto tersenyum. “Tidak apa, wajar karena kita belum pernah bertemu secara langsung seperti ini.” Ia segera melangkah ke ruangan Sasuke.

Sasuke tampak sibuk dengan kertas-kertas di mejanya sampai-sampai ia tidak menyadari Naruto yang masuk ke ruangannya. Wanita itu menuju sofa dan meletakkan bento buatannya di meja. Sasuke menyadari ada orang lain saat mendengar bunyi yang sedikit keras. Ia mengalihkan pandangannya ke meja sofa yang ada di kantornya. Terlihat Naruto sedang meletakkan kotak bento dan menatanya di atas meja. Ia melihat jam tangannya. Ternyata sudah menunjuk angka 12.

“Sasuke.” Panggil Naruto. “Ayo makan dulu. Ini sudah waktunya makan siang.” Wanita itu menghampiri Sasuke sambil tersenyum dan menarik tangan pria itu.

“Aku masih banyak pekerjaan, Naruto.”

“Kau harus makan dulu. Aku tidak mau kau sakit. Lihat, aku sudah membawa makanan kesukaanmu.”

Sasuke melihat menu yang dibawa Naruto. Semua terlihat menggiurkan dan semua makanan ini adalah makanan kesukaannya.

“Darimana kau . . .”

“Aaaa. . .” Naruto menyodorkan makanan ke mulut Sasuke dan mengisyaratkan pria itu untuk membuka mulutnya. Refleks pria itupun membuka mulutnya dan menerima suapan Naruto.

“Bagaimana? Enak tidak?.”

“Hmm, enak.” Kata Sasuke sambil menguyah makanannya. Naruto tersenyum senang. Makanan yang di makannya benar-benar enak seperti yang sering di buatkan Mikoto untuknya. Entah kenapa saat Sasuke melihat senyum Naruto dadanya menghangat. Iapun ikut tersenyum. “Kau juga harus makan. Kau juga belum makan kan?.”

Mereka saling menyuapi dan berbincang. Tampak kehangatan diantara mereka. Agaknya Sasuke mulai menyukai suasana ini.

Brak!

“Sasu-“ Teriakan itu mengganggu acara makan mereka. “-ke?.”

Mereka mengalihkan pandangannya pada pintu ruangan Sasuke. Wanita itu berdiri mematung di sana dengan wajah terkejut. Naruto dan Sasuke menghentikan acara saling menyuapi mereka. Naruto memasang wajah terkejut saat melihat kedatangan Sakura.

“Loh? Sakura?.”

“Na-naruto?.” Sakura tampak ketakutan. Oh, sial!. Dia lupa kalau Naruto sudah pulang kemarin.

“Eh? Sedang apa kau di sini?.” Tanya Naruto. Naruto meletakkan sumpit yang dibawanya di atas meja.

“A-aku . . .”

“Ah! Aku tau, pasti Sasuke yang memberitahumu kan?.” Katanya menyela kata-kata Sakura.

“I-iya, Sasuke-kun ma-maksudku Sasuke-san yang memberi tahukan padaku. A-aku sengaja memberi kejutan.” Jawabnya gugup.

“Oh ya, kamu sudah makan siang?. Mau makan bersama kami?.” Tawarnya dengan tersenyum manis.

“Ti-tidak usah. Aku ada urusan lain.” Kata Sakura menolak.

“Ya sudah. Kapan-kapan mainlah ke rumah kami. Aku dan Sasuke akan dengan senang hati menjamumu.” Katanya sambil mengapit lengan Sasuke dengan mesra. Membuat Sakura merasa cemburu.

.

.

.

Sakura keluar dari ruangan Sasuke dengan marah. Rasa cemburu membakarnya. Seharusnya ia yang ada di samping Sasuke bukan Naruto. Ia yang lebih pantas dan berhak. Karena dia dan Sasuke saling mencintai. Ia memasuki mobilnya. Sakura terdiam sambil mencengkram kuat kemudi mobil mmewahnya kemudian mengambil ponsel pintar dari hand bag miliknya kemudian mengetik pesan pada Sasuke.

‘Temui aku malam ini di apartemen. Aku butuh penjelasan.’

Setelah menekan tombol send. Ia melempar ponselnya ke kursi di sebelah pengemudi lalu melajukan mobilnya keluar dari basement perusahaan Sasuke.

.

.

.

Naruto menata kembali bento yang dibawanya saat ponsel Sasuke bergetar. Ia melirik ke arah kamar mandi. Ia lalu mengambil ponsel yang tergeletak di meja itu dan melihat notifikasi pesan masuk yang berbunyi.

‘Temui aku malam ini di apartemen. Aku butuh penjelasan.’

Naruto tersenyum sinis. Ia lalu meletakkan ponsel itu kembali ke atas meja. Tidak mau membuat Sasuke curiga padanya. Tidak lama kemudian Sasuke keluar dari kamar mandi dan duduk di sebelah Naruto.

“Kau sudah akan pulang. Hmm?.”

“Hmm.” Naruto mengangguk tanpa melihat ke arah Sasuke. “Oh ya, nanti malam Kaa-san meminta kita untuk makan malam bersama. Katanya untuk merayakan kepulanganku.”

“Hnn, baiklah.”

Naruto duduk di pangkuan Sasuke. Dan menangkup wajah tampan itu. Ia menatap lurus ke mata kelam itu. Sebuah ide tercetus di kepalanya.

“Kurasa, jam makan siang masih bersisa. Wanna play?.” Tanyanya dengan nada menggoda.

Sasuke mengembangkan senyumnya. “Why not?.”

.

.

.

Naruto dan Sasuke datang ke rumah Uchiha. Naruto mengapit lengan Sasuke dengan mesra. Mereka tampak seperti pasangan yang saling mencintai bukan?. Begitu sampai di rumah mertuanya, mereka langsung di sambut oleh beberapa pelayan. Rumah utama keluarga Uchiha dihuni oleh pasangan Uchiha senior, Fugaku dan Mikoto. Sementara anak-anaknya, Itachi dan Sasuke sudah menikah dan memutuskan keluar dari rumah itu. Rumah itu adalah rumah kuno peninggalan kepala keluarga terdahulu yang masih kental dengan nuansa tradisional. Tentunya rumah itu sudah beberapa kali direnovasi agar nyaman untuk di tinggali.

“Kalian sudah datang?.” Mikoto tampak menghampiri Naruto dan Sasuke. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik di usia senjanya memakai kimono berwarna ungu tua dan bermotif bunga lili yang membuat kecantikannya bertambah.

“Ya kaa-san.”

“Kau cantik sekali Naru-chan.” Puji Mikoto sambil memeluk Naruto. Naruto tersenyum malu-malu. “Ayo, semua orang sudah menunggu.”

Mikoto membawa anak dan menantunya ke ruang makan. Di sana sudah menunggu Fugaku, Itachi beserta istri dan anaknya serta keluarga Namikaze.

Eh?!.

Nee-san!.” Pekik Naruto kaget saat melihat kedua kakaknya di salah satu kursi meja makan. Kedua kakaknya hanya tersenyum tanpa dosa. Rasanya Naruto benar-benar ingin mencekik kedua kakaknya itu. Mereka berdua sungguh menyebalkan.

“Oh, hai adikku sayang.” Sapa Karin terlebih dahulu.

“Merindukan kami tidak?.” Timpal Shion.

“Kenapa kalian ada di sini?. Seharusnya kan- em Milan. Lalu Roma.” Tanyanya kesal.

“Ah, kami memutuskan pulang dan Mikoto baa-san mengundang kami makan malam sebagai pengganti ayah dan ibu yang tidak bisa hadir.” Kata Karin tanpa dosa.

Naruto mengerucutkan bibirnya karena kesal. Sedang Karin dan Shion hanya tertawa kecil melihat kelakuan adik kecilnya itu. Sasuke memperhatikan istrinya. Tanpa sadar sebuah senyuman kecil tercipta di wajah dinginnya.

Deg deg deg

Sasuke memegang dadanya. Entah kenapa dadanya berdebar sejak melihat senyuman istrinya tadi. Ia mengerutkan keningnya penuh tanda tanya. Ia begitu tenggelam dalam pikirannya sampai tidak menyadari bahwa ayahnya, Fugaku memperhatikannya sejak tadi. Pria paruh baya itu tersenyum samar.

.

.

.

Sakura berjalan mondar mandir di dalam apartemen mewah itu sambil membawa sebuah ponsel pintar. Jam dinding sudah menunjukkan waktu tengah malam tapi Sasuke belum datang juga.

Ia cemas dan khawatir.

Ia takut.

Setelah berfikir, akhirnya ia mencoba menghubungi Sasuke. Berulang kali namun tidak ada jawaban. Sampai panggilannya diterima ponsel Sasuke.

.

.

.

Sasuke dan Naruto dipaksa Mikoto dan Fugaku untuk menginap. Kedua orang tua Sasuke itu mengatakan masih merindukan Naruto.

“Nggh –suke. . .” Desah wanita itu. Pria itu makin bersemangat menggerakkan tubuhnya membuat wanita yang ada di bawahnya mendesah lebih keras. Pria itu- Sasuke- tidak pernah menyangka wanita yang pernah diacuhkannya menjadi candu tersendiri untuknya. Tidak pernah ia merasa sepuas ini saat bersama kekasihnya yang lain. Tidak sekalipun Sakura.

Pip Pip Pip

“Ngh su-suke. . . pon-ngh-sel . . . ahhh.”

“Biar- huh biar saja.”

Beberapa kali nada dering itu menyala sehingga mengganggu Naruto. Tangan kirinya meraba meja kecil di sisi ranjang. Ia menggapai ponsel milik Sasuke dan menjawab panggilan itu tanpa melihat ID si pemanggil.

“Halo . . . ah . . . Sasuke pelan-pelan, nhhh. Ha-halo . . .” Panggilan itupun mati. Sasuke makin gencar menggerakkan tubuhnya hingga mereka berdua menggapai firdausnya. Tubuh Sasuke jatuh menimpa tubuh Naruto.

“Siapa hum?.” Bisiknya di telinga Naruto.

“. . . Mati.” Jawab Naruto. Meski ia bisa menduga siapa yang menelfon tadi. “Wanna play again?. One more round?.” Kata Naruto dengan nada menggoda.

“Ok.”

Malam benar-benar panjang untuk mereka. Sementara itu di sebuah apartemen mewah, seorang wanita tengah mengamuk dan berteriak seperti orang gila.

Prank! Brugg!

Wanita itu membanting sebuah vas bunga hingga hancur berkeping-keping. Ia membanting semua benda yang ada di jangkauannya. Masih teringat sesaat yang lalu saat ia menghubungi Sasuke. Ia mendengar suara wanita itu. Suara yang sangat di kenalnya. Suara Naruto. Gadis itu sedang mendesahkan nama Sasuke-nya.

Apa Sasuke menyentuh gadis itu?

Apa-

Tidak! Sasuke miliknya hanya miliknya

.

.

.

“Arghhh!!.”

.

.

.

Naruto terbangun lebih dulu. Ia memandang wajah Sasuke yang masih tertidur. Ah, suaminya memang tampan. Pantas saja banyak wanita yang jatuh hati padanya dan berusaha menggodanya.

‘Jadilah wanita idaman semua orang. Tunjukkan padanya bahwa kau wanita yang berharga sehingga dia tidak akan mau melepaskanmu. Setelah dia jatuh, ikatlah dia sekuat tenagamu. Buat dia tidak bisa berkutik dihadapanmu.’

Naruto mengingat perkataan kakaknya, Karin, saat mereka masih di Prancis.

‘Ada kalanya kau harus bersikap lemah. Tidak benar-benar lemah tapi berpura-puralah lemah. Pria senang jika menjadi superior. Ambisius dan possesif, itulah sifat dasar pria Uchiha. Gunakan itu untuk mengikatnya kuat-kuat.’

Naruto membelai wajah tertidur suaminya sambil tersenyum. Wajah itu benar-benar tampan dan tanpa cela.

‘Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu memilihku Sasuke?.’ Katanya dalam hati.

Naruto lalu membalut tubuh telanjangnya dengan selimut lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah mandi dan berganti pakaian ia segera membangunkan Sasuke. Tapi melihat wajah kelelahan Sasuke, dia mengurungkan niatnya.

“Sudahlah, biar dia tidur saja. Pasti dia sedang capek. Lagipula ini hari minggu.”

Ia mengecup bibir Sasuke lalu berjalan keluar kamar tanpa tau Sasuke sudah terbangun dan merasakan ciuman kecil itu. Ia  duduk di tempat tidurnya. Tangannya dengan halusnya menyentuh bibir yang tadi di kecup Naruto.

Deg Deg Deg

Jantungnya berdebar kencang. Tanpa sadar ia tersenyum. Sesuatu yang sangat mahal untuk seorang Uchiha sepertinya.

Am I in love?.” Tanyanya pada diri sendiri. Ia merasakan sensasi yang berbeda saat bersama Naruto. Sensasi yang membuatnya senang dan tenang di wantu bersamaan. Sensasi yang membuat emosinya meledak-ledak dan membuatnya merasakan amarah saat Naruto berdekatan dengan orang lain.

Naruto berjalan menunju dapur. Ia berniat membantu Mikoto untuk membuat sarapan sayangnya Mikoto sudah selesai menyiapkan sarapan untuk mereka.

Kaa-san, ada yang bisa ku bantu?.” Tanya Naruto. Naruto menarik salah satu kursi meja makan kemudian mendudukinya.

“Ah, Naru-chan. Tidak usah sayang. Lagipula koki kita sudah menyiapkan semuanya. Ayo duduklah. Kamu mau sarapan kan?. Ah ya, Sasuke mana?.” Tanya Mikoto sembari meletakkan cangkir teh di depan Naruto.

“Mmm, Sasuke sedang tidur.” Wanita muda itu menyesap tehnya dengan tenang.

“Aish, anak itu.”

Tou-san mana?.”

“Fuga-kun pagi-pagi sekali sudah berangkat. Katanya dia sudah berjanji akan memancing dengan ayahmu. Sekalian mengantar Karin dan Shion pulang katanya.”

Naruto mengangguk.

“Oh ya, kapan kalian akan memberi Kaa-san cucu hmm?. Kushina-chan juga sudah tidak sabar menggendong cucu dari kalian. Hmm, karena Itachi-kun sudah memberi Kaa-san cucu lelaki, Kaa-san ingin cucu perempuan.”

Blush!

Wajah Naruto langsung memerah karena malu.

“Tunggulah sebentar lagi Kaa-san. Lagipula Naru juga baru kembali satu bulan kan?.”

Mereka kaget. Sasuke sudah berdiri di pintu ruang dengan gagahnya. Pria itu sudah membersihkan diri dan berniat untuk sarapan. Ia menarik kursi di sebelah sang istri dan mendudukinya.

“Sasuke.”

“Kenapa tidak membangunkanku?.” Sasuke menghampiri kedua wanita cantik beda usia itu.

“Bukannya kamu lelah?.” Kata Naruto sambil mengedipkan matanya menggoda Sasuke. Sasuke tertawa kecil. Mikoto agak terkejut. Suatu hal langka karena anaknya bisa tertawa seperti itu. Mikoto tersenyum.

“Nee, Sasuke-kun. Kaa-san ingin cucu perempuan ne.”

Sasuke menghela nafas. “Laki-laki atau perempuan, bukankah tidak masalah Kaa-san.”

Datte, di keluarga ini hanya ada anak lelaki. Kakakmu juga hanya punya putra. Kaa-san juga ingin punya cucu perempuan sama seperti teman-teman Kaa-san. Kaa-san juga ingin membeli gaun yang manis dan memakaikannya pada cucu perempuan Kaa-san.” Adunya pada Sasuke.

Pip pip pip

Ponsel yang ada di kantong Sasuke bergetar. Saat melihat ID si penelfon, Sasuke langsung menutupnya. Tidak lama kemudian ponsel itu berbunyi kembali.

“Siapa?.” Tanya Naruto.

“Bukan siapa-siapa.”

“Angkatlah, siapa tau itu penting.” Saran Naruto. ‘Kau pikir aku tidak tau siapa yang menelponmu heh?.’ Katanya dalam hati. Telfon itu benar-benar merusak mood-nya pagi ini

“Baiklah, aku permisi dulu.” Sasuke keluar dari ruang makan itu untuk menerima telpon tidak lama kemudian dia menghampiri mereka.

“Aku harus pergi. Ada urusan penting.”

“Sarapannya?.”

“Aku sarapan diluar saja Kaa-san.” Katanya buru-buru pergi.

.

.

.

Sakura tidak bisa tidur semalaman. Ia tampak berantakan dengan mata sembam. Ia kembali mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Sasuke. Ia tidak peduli jika Naruto mungkin berada di samping Sasukenya. Ia tidak peduli. Ia hanya ingin Sasuke-nya. Wanita itu meringkuk di sudut kamar yang terlihat berantakan. Ia benar-benar terlihat menyedihkan  dengan wajah penuh gurat lelah.

“Sakura!.”

Sakura mendongak saat ia mendengar namanya di panggil.

“Sasuke-kun hiks!.” Sakura langsung berlari dan menghampiri Sasuke yang kini berdiri di ruang tamu.

“Ada apa?.”

“Hiks. . . kau tidak akan meninggalkanku kan? Kau mencintaiku kan?.”

“Apa yang kau katakan?.” Sasuke mengangkat sebelah alisnya.

“Aku mencintaimu . . . aku mencintaimu.”

.

.

.

Wanita pirang itu memasuki salah satu restoran elit di kota ini. Ia segera menuju private room yang telah dipesan oleh kedua kakak perempuannya.

“Bagaimana?.” Tanya Shion langsung.

Naruto menghela nafas. Ia tampak sedikit tidak bersemangat. “Nee-san. Aku tidak yakin akan mampu melakukannya.”

“Kau harus yakin Naru.”

“Tapi aku tak ingin menyakiti siapapun. Aku . . .”

“Kau tidak menyakiti siapapun Imotou.” Kata Karin meyakinkan. Benar, tidak ada yang salah saat kita ingin mempertahankan milik kita bukan?. Kenyataannya kini ia secara sah menyandang nama Uchiha. “Kau hanya mempertahankan milikmu. Bertahanlah sebentar lagi. Nee-san yakin kaulah yang akan menang.”

Naruto terdiam mendengar nasehat kakak-kakaknya. “Kau benar, Nee-san. Aku hanya mengambil milikku.”

Sasuke adalah suaminya dan sudah seharusnya ialah yang paling berhak atas Uchiha Sasuke. Ikrar suci pernikahan yang mereka ucapkan di altar adalah pengikat mereka selamanya.

.

.

.

“Kau meminum pil itukan.”

“A-aku-.”

“Aku tidak menginginkan anak sekarang.”

Sakura meremat selimut yang di pakainya. Wanita itu sebenarnya sadar betapa menyedihkannya ia karena memuja pria itu. Pria yang jelas-jelas sudah memiliki orang lain. Tapi ia buta. Buta karena cinta. Entah sampai kapan ia akan seperti ini.

.

.

.

Sasuke menikmati hubungannya dengan sang istri, Naruto. Di matanya sekarang, wanita itu sangat sempurna tapi entah kenapa ia merasa berat meninggalkan Sakura. Ia sudah terbiasa dengan wanita itu. Ia masih menjalani hubungan terlarang itu dengan Sakura tanpa sepengetahuan Naruto- setidaknya itu yang ia kira. Naruto mengetahui segalanya tapi ia memilih diam untuk sementara waktu.

Entah kenapa sejak bangun tidur Naruto merasa kesal pada suaminya. Wajah cantik itu tertekuk dengan mulut mencebil. Sasuke mengerutkan dahinya.

“Ada apa?.”

Naruto hanya memalingkan wajahnya dengan kesal. Sasuke makin heran. Tidak biasanya Naruto bersikap seperti ini. Ada yang aneh, pikirnya. Sasuke memang merasa beberapa hari ini sikap Naruto sangat aneh. Selalu berubah-ubah dan moody.

Pipipip.

Sasuke melihat pesan di ponselnya.

“Aku harus segera pergi. Ada meeting dengan klien.” Kata Sasuke menjelaskan. Sasuke mencium Naruto seperti biasa.

“Hn.” Naruto terlihat cuek dan meneruskan makannya tanpa menggubris Sasuke.

.

.

.

Sakura duduk di tepi bathtub. Tangan kanannya memegang sebuah gelas kaca dan tangan kirinya memegang sebuah benda persegi kecil berwarna putih dan memiliki 2 garis berwarna merah. Tangannya bergetar. Ia tidak menyangka ini akan terjadi. Ia senang karena ini artinya Sasuke akan jadi miliknya. Karena ia sedang mengandung keturunan Uchiha. Ia segera menghubungi Sasuke dan mengajak pria itu bertemu.

“Sasuke. Mari kita bertemu.”

“Ada apa?. Ada yang penting?.”

“Iya, aku ingin memberitahumu sesuatu.”

“Apa?. Sekarang?. Tidak bisa lewat telpon saja?.”

“Tidak bisa.”

“Baiklah temui aku di ruang VIP restoran biasanya.”

“Baiklah.” Sakura mematikan telfon itu lalu bersiap pergi. Ia harus terlihat cantik di depan Sasuke. Setelah siap ia segera pergi ke restoran elite yang di maksud. Sesampainya di sana, Sakura disambut oleh seorang pelayan yang mengantarnya ke sebuah ruangan VIP. Restoran elite itu memang menyediakan ruangan khusus yang biasa di gunakan untuk acara keluarga, meeting dan hal-hal bersifat pribadi lainnya. Ruangan itu di batasi dinding cermin di mana orang yang ada di dalam ruangan itu bisa melihat keluar dan orang luat tidak bisa mengintip ke dalam. Sembari menunggu, Sakura mulai membayangkan reaksi Sasuke. Mulai membayangkan kehidupannya dengan Sasuke dan anaknya kelak. Mereka pasti akan menjadi keluarga yang harmonis dan sempurna. Tidak berapa lama kemudian Sasuke datang. Senyum merekah di bibir wanita pink itu.

“Ada apa kau mencariku?.”

“Apa kau sudah makan?. Bagaimana kalau pesan makanan dulu?.”

“Tidak usah basa-basi. Kau tau aku sangat sibuk hari ini.” Kata Sasuke dingin. Entahlah, ia merasa Sakura berubah makin merepotkan. Ia harus segera menjauhi perempuan pink itu.

Sakura menunduk. “A-Aku hamil.” Lirihnya tapi Sasuke cukup bisa mendengarnya.

“Apa?.” Ia menaikkan sebelah alisnya.

“Aku hamil.” Ia memandang pria itu takut. Entah kenapa kini ia merasa takut padahal biasanya ia tidak pernah merasa takut padanya. Pandangan pria itu begitu dingin dan menusuk. “Sas-.”

“Lalu?. Apa maumu?.” Tanyanya dingin.

“A-aku.”

“Perlu kau ingat, sejak awal hubungan ini hanya hubungan mutualisme. Kau menemaniku tidur dan aku memberimu kepuasan. Tidak kurang tidak lebih. Lagipula kau seharusnya tau kalau aku sudah menikah.”

“Tapi Sasuke, ini anakmu.”

“Gugurkan!. Anak itu hanya akan mencoreng nama baikku.”

Sasuke beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan Sakura yang masih termenung.

“Tidak! Jangan tinggalkan aku.” Sakura memeluk Sasuke dari belakang.

“Terserah.” Sasuke melepaskan pelukan Sakura dan menghempaskan tangannnya. Tidak memperdulikan saat wanita itu terduduk si lantai sambil menangis. “ Jangan berharap lebih dariku. Bukankah dari awal sudah kukatakan padamu?.” Sasuke keluar dari ruangan itu dengan membanting pintunya.

‘Tidak, seharusnya tidak begini. Seharusnya kami bertiga bahagia bersama sebagai keluarga. Aku, Sasuke-kun dan bayi kami.’

Sakura masih menangis. Ia mencengkram dress baby pink yang di kenakannya.

.

.

.

Sasuke mengendarai sportcar mewah miliknya. Sasuke memikirkan apa yang akan dilakukannya jika Sakura sampai berbuat nekat. He need to get rid that woman. Yeah, he has to. Ia berencana kembali ke kantor saat ponselnya berbunyi. Ia segera memakai headsetnya.

“Halo.”

“Tuan, saya bibi Chiyo.”

“Bibi Chiyo?.” Wanita paruh baya itu adalah pelayan di rumahnya dan Naruto. “ Ya, ada apa bibi?.”

“Nyonya, tuan. Nyonya pingsan.” Suara wanita tua itu terdengar sangat cemas.

“Apa?! Baiklah, aku akan segera pulang.”

Setelah mematikan telfon. Sasuke langsung berputar arah menuju rumahnya. Perlu waktu 15 menit untuk sampai di rumahnya. Ia terlihat tergesa-gesa memasuki kediamannya. Wajah stoic-nya menampilkan kecemasan.

“Dimana Naruto.”

“Nyonya ada di kamar. Sedang istirahat.”

Sasuke langsung berlari menuju kamarnya. Ia melihat Naruto sedang berbaring di tempat tidur mereka. Begitu menyadari kedatangan Sasuke. Wanita itu tersenyum.

“Kau tidak apa-apa? Apa yang terjadi? Mana yang sakit?.”

“Um.” Naruto menggeleng. “Bacalah.” Ia menyerahkan sebuah amplop putih pada Sasuke. Sasuke menerimanya lalu membacanya. Ia tampak terkejut.

“Benarkah ini?.” Tanyanya memastikan Naruto mengangguk. Sasuke terlihat senang. Ia segera memeluk istrinya dengan erat. Sekarang ia mengerti kenapa sikap Naruto sedikit aneh dan selalu berubah-ubah. Ternyata istrinya tengah mengandung calon penerus keluarga Uchiha. Berulang kali Uchiha bungsu itu mengucapkan terima kasih dan ungkapan cinta untuk Naruto.
Hei apa kau lupa ada seorang wanita lagi yang sedang mengandung anakmu.

.

.

.

Pasangan SasuNaru mendatangi kediaman Uchiha senior untuk memberitahukan kabar baik. Sasuke berjalan di samping istrinya dan memeluk pinggang Naruto. Ia terlihat begitu melindungi Naruto. Naruto hanya tersenyum. Ternyata benar kata-kata kakaknya kalau pria Uchiha itu sangat protektif. Lihat saja kelakuan Sasuke yang begitu protektif memeluknya karena tidak ingin ia terpeleset atau jatuh dan membahayakan calon bayi mereka.

“Ada apa kalian kemari?. Tanya Mikoto sambil menghidangkan makanan kecil dan teh pada anak dan menantunya juga pada suaminya.

Naruto dan Sasuke saling bertukar pandang lalu tersenyum.

“Sebenarnya kami kemari karena ini.” Kata Sasuke sambil meletakkan tangannya di perut sang istri. Mikoto langsung mengerti isyarat yang diberikan Sasuke. Akhirnya ia mendapatkan hal yang ditunggu-tunggunya dari anak dan menantu kesayangannya.

Mikoto terlonjak senang. “Benarkah itu?.”

Naruto mengangguk malu-malu. Wanita itu mengusap perutnya dengan lembut.

“Fuga-kun, kita akan segera memiliki cucu. Aku harus mengabarkan ini pada Kushina-chan.”

“Hn.”

Seorang pelayan datang dan memberitahukan kedatangan keluarga Haruno kepada Fugaku dan Mikoto yang tengah berbahagia itu.

“Tuan, nyonya. Keluarga Haruno datang berkunjung.” Tanya Mikoto heran. Pasalnya keluarga Uchiha dan keluarga Haruno tidak begitu dekat. Mereka hanya pernah bertemu beberapa kali. Itupun karena kerjasama bisnis yang mereka jalankan. Jadi wajar jika Mikoto merasa heran.

“Haruno?. Untuk apa mereka kemari?.”

Naruto menyandarkan kepalanya di bahu Sasuke dan memeluk lengan pria itu. Ia bisa menebak apa yang diinginkan Sakura saat ini. Wanita itu pasti berniat membeberkan hubungannya dengan Sasuke dan berharap bisa di terima di keluarga ini. Naruto mendadak merasa pusing dan mual. Naruto berharap kakaknya berada di sini.

“Kau tidak apa-apa?.” Tanya Sasuke karena khawatir melihat wajah istrinya yang pucat. Sasuke merasakan pergerakan Naruto yang mengangguk di pundaknya.

Pelayan membawa rombongan keluarga Haruno ke ruang keluarga Uchiha. Sakura melihat Naruto bermanja pada bahu Sasuke dan Sasuke yang membelai lembut rambut wanita pirang itu. Sakura mengepalkan tangannya. Seharusnya itu tempatnya. Miliknya. Sakura menyeringai. Sebentar lagi, sebentar lagi ia akan menggantikan posisi Naruto. Dengan adanya anak yang ada di perutnya, ia pasti bisa memaksa Sasuke untuk menikahinya dan menjadikannya nyonya Uchiha.

“Kami kemari untuk meminta pertanggung jawaban atas putri kami, Sakura.” Kata Kizashi Haruno, ayah Sakura.

“Pertanggung jawaban?.”

“Putri kami, Sakura, hamil dan ini anak dari putramu.” Kata Kizashi tanpa basa basi.

“Apa?!.” Mikoto tampak terkejut. Wanita paruh baya itu menatap anaknya dengan tajam dan meminta penjelasan.

“Sakura kami hamil dan itu karena anak kalian.” Tambah Mebuki. Sedang Sakura hanya memasang wajah sendu di samping ibunya.

“Benarkah itu?.” Mata Naruto berkaca-kaca. Ia menegakkan tubuhnya dan memandang Sasuke dengan mata sendu. “Kau berselingkuh dengan Sakura?.”

“Itu tidak benar Naruto. Aku-.”

“Kau berselingkuh?. Dia hamil. Lalu bagaimana dengan anak kita? Hiks.”

“Tidak, Naruto. Itu tidak benar. Aku tid-.”

“Sasuke!.” Pekik Sakura. Ia kembali memasang wajah memelas dan penuh tangis. “Kenapa kau tidak mau mengakui anakmu. Aku hamil Sasuke. Hamil anak kita.”

“Bagaimana kau yakin anak yang kau kandung itu anak Sasuke?.” Suara itu mengagetkan mereka. Seorang gadis berambut merah dengan kacamata berbingkai merah dan seorang gadis berambut pirang pucat berjalan dengan santai memasuki ruang keluarga itu.

“Tentu saja ini anak Sasuke-kun. Aku hanya melakukannya dengan Sasuke-kun!.”

“Benarkah?.” Karin menaikkan sebelah alisnya.

“Apa maksudmu?. Kau tau siapa aku?. Tentu saja aku bisa di percaya. Aku wanita baik-baik dari keluarga terpandang.”

Karin dan Shion terkikik kecil.

“Wanita baik-baik?. Kau yakin?.” Tanya Shion dengan nada mengejek.

“Wanita baik-baik tidak akan menggoda suami temannya. Wanita baik-baik tidak akan tidur dengan suami temannya. Ah ya, wanita baik-baik tidak akan hamil tanpa menikah. Lalu dari sisi mana kau mengatakan dirimu wanita baik-baik?.”

Sakura mengepalkan tangannya.

“Kau!.” Mata wanita merah muda itu berkilat marah.

“Oh ya, kau tau Nee-san. Kudengar Haruno Corp sedang mengalami masalah keuangan.” Celetuk Shion. Mikoto langsung mengerti arah pembicaraan Shion. Wanita anggun itu tampak marah.

“Jadi kalian ingin menggunakan anak itu untuk memeras keluarga Uchiha?.” Kata Mikoto penuh dengan emosi. “Dengar tuan, kau bukan orang pertama yang mencoba mengambil keuntungan dari keluargaku. Asal kau tau, aku tidak akan membiarkannya. Betul kata gadis-gadis muda ini. Anak yang dikandung puterimu belum tentu hasil perbuatan puteraku. Bisa saja dia melakukannya dengan orang lain dan menimpakan kesalahan pada puteraku.” Kata Mikoto dengan penuh penekanan.

Kaa-san.” Naruto mendekati Mikoto dan mengusap lengan perempuan paruh baya itu guna meredakan amarahnya. “Kaa-san, sudahlah.”

“Menantuku saat ini sedang mengandung cucu kami. Dan asal kalian tau, aku dan Fugaku tidak akan pernah mengakui anak yang dikandung puterimu sebagai keturunan Uchiha. TIDAK AKAN PERNAH!.

Kizashi Haruno mengepalkan tangannya mendengar penghinaan itu tapi apalah daya, jelas ini adalah kesalahannya karena tidak bisa mendidik putrinya dengan baik. Ia segera bangkit dari tempat duduknya.

“Kita pulang!.” Putusnya.

“AYAH!.” Pekik Sakura tidak terima. Ia tidak mau semua rencananya gagal. Ia harus menjadi istri Sasuke.

“Mebuki! Bawa Sakura pulang!.” Katanya sambil berjalan meninggalkan ruangan itu tanpa memperdulikan protesan dari putri tunggalnya.

“Tidak! Sasuke! Sasuke!.” Sakura meronta saat ibunya menyeretnya untuk pergi dari rumah itu. Bukan ini. Seharusnya bukan ini. Seharusnya Sasuke menjadi miliknya.

Ruangan itu jadi sepi setelah keluarga Haruno pergi. Mikoto langsung berjalan mendekati putranya.

PLAK!

“Apa yang kau pikirkan ha? Bisa-bisanya kau menyakiti Naruto?.”

Kaa-san aku. . .” Belum ia bicara tubuh Naruto sudah oleng di pelukannya. Untung Sasuke sigap menangkap tubuh istrinya. Wajah Naruto terlihat sangat pucat dengan air mata membasahi pipinya.

“Astaga! Naruto!.”

“Panggil dokter!.”

Mereka panik karena tiba-tiba Naruto pingsan apalagi wanita itu kini tengah hamil muda. Mereka 
tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada calon keluarga baru mereka.

.

.

.

“Naruto.” Lirih Sasuke. Pria tampan itu mendekati ranjang tempat istrinya berbaring. Naruto memalingkan wajahnya enggan menatap wajah tampan sang suami. Membuat Sasuke merasakan sakit di ulu hatinya. Apa dayanya, kali ini dialah yang salah. Ia hanya bisa menerima semua akibat perbuatannya.

“Naruto.” Panggilnya sekali lagi. Berharap sang istri menoleh padanya.

“Pergi!.” Naruto menoleh dengan wajah penuh air mata. Ia tampak sangat rapuh dan terluka.

“Aku mohon.” Lirihnya. Ia merendahkan dirinya untuk memohon. Ia sudah tidak peduli lagi dengan harga dirinya. Jika itu bisa membuatnya tidak kehilangan istrinya maka ia akan berlutut dengan senang hati.

Naruto berusaha duduk. Sasuke berniat membantu tapi tangannya di tampik. Dengan kasar Naruto menghapus air mata yang mengalir di pipinya.

“Kita bercerai!.”

Deg!

“Ti-tidak. Naruto.”

“Aku bilang kita cerai!.” Pekiknya marah.

Sasuke langsung memeluk Naruto meski wanita itu meronta di pelukannya. Sasuke memeluknya dengan erat sampai ia merasakan perlawanan wanita itu melemah.

“Kumohon jangan ucapkan itu lagi.”

“Kita . . . Hiks . . . Kita . . . Cerai.” Naruto tampak tidak melawan lagi. Tangisannya makin keras. Sasuke mengeratkan pelukannya ke tubuh Naruto. “Kau jahat hiks . . . Aku . . . Ceraikan aku . . . . Hiks . . . kau . . . jahat . . .hiks . . .hiks . . . kau selingkuh.”

“Maafkan aku.” Sasuke melepaskan pelukannya. Kini menatap mata Naruto. “Aku-Aku bersumpah. Aku tidak akan berselingkuh. Hanya kau satu-satunya wanitaku mulai sekarang.”

“Kau bohong. Hiks.”

“Aku bersumpah.” Kata Sasuke dengan penuh kepastian. Naruto terdiam sejenak. Mencoba mencari kebenaran di mata sang suami.

“Be-benarkah?.”

“Uchiha tidak akan menarik sumpahnya.”

“La-lalu Sakura?.”

“Dia bukan siapa-siapa. Percayalah. Aku hanya mencintaimu. Maukah kau memaafkanku?.” Tanya Sasuke. Naruto ragu tapi kemudian ia mengangguk. Sasuke menarik sang istri ke dalam pelukannya. Syukurlah ia bertindak sebelum benar-benar kehilangan istrinya dan calon anaknya. Sasuke tidak menyadari bahwa kini Naruto tersenyum penuh kemenangan di balik punggungnya.

Setelah keadaan sedikit tenang, Karin dan Shion menemani Naruto di kamarnya. Kamar di rumah utama Uchiha maksudnya. Mikoto tidak mengijinkannya pulang karena takut terjadi sesuatu dengan dirinya dan calon bayinya. Wanita paruh baya itu masih memendam kemarahan dan rasa kecewa pada Sasuke meski Sasuke sudah berulang kali meminta maaf dan bersumpah tidak akan mengulanginya lagi.

Nee-san. Kenapa tiba-tiba Nee-san ada di rumah ini?.” Tanya Naruto yang kini bersandar di tempat tidurnya.

“Sebenarnya-.”

“Shion!.” Sela Karin. Shion menoleh ke arah Karin. Karin terlihat menggeleng dan memberinya kode. Ia tidak mau seorangpun di rumah ini mendengar pembicaraan mereka. Shion-pun mengangguk lalu mendekati Naruto. Ia membisikkan sesuatu di telinga kiri adiknya.

“Sebenarnya kami mengikuti Sakura ke sini. Kemarin kami tidak sengaja melihat Sasuke menemui gadis itu. Setelah Sasuke pergi, kami melihatnya menangis. Insting mengatakan akan terjadi hal yang besar di sini dan ternyata benar yang kami tebak.”

“Tapi aku kasian pada Sakura.” Lirih Naruto. Bagaimanapun ia juga calon ibu. Pasti sangat berat baginya untuk hamil di luar pernikahan.

“Apa dia kasian padamu saat ia berselingkuh dengan Sasuke?. Tidak, bukan?. Ini adalah karmanya jadi kau tidak perlu kasian padanya.”

“Tapi-.”

Nee-san benar Naru. Pikirkan bayi yang ada di perutmu. Apa kau tega ia tidak mendapat kasih sayang ayahnya?. Atau kasih sayang ayahnya terbagi karena ayahnya memiliki wanita lain.” Tambah Shion.

“Kau anak yang baik Naru. Tapi bersikaplah sedikit egois. Demi anakmu. Demi keponakanku.”

“Aku mengerti, Nee-san.”

Benar kata Karin, kali ini saja biarkan ia bersikap egois. Biarkan ia mendapatkan kebahagiaannya sendiri. Untuknya, juga anaknya.

.

.

.

Kandungan Naruto sudah memasuki bulan ke tujuh. Baik orang tuanya maupun mertuanya sangat antusias menyambut cucu laki-laki pertamanya. Dan hari ini ibu dan mertuanya mengajak Naruto untuk membeli perlengkapan bayi berhubung mereka sudah mengetahui jenis kelaminnya. Naruto diantar oleh sopir pribadinya ke salah satu butik elit yang ditunjuk oleh ibunya.

Begitu sampai di depan butik. Sang sopir langsung membukakan pintu mobil mewah itu untuk nyonya mudanya. Naruto turun dari mobil itu. Wanita itu terlihat cantik dengan balutan mantel bulu mink mahal berwarna coklat tua, hadiah dari sang mertua karena tidak ingin menantunya kedinginan. Hari ini ia hanya memakai gaun kehamilan warna biru muda di balik mantel tebal itu dan sepatu flat sederhana. Tak lupa ia memakai syal rajut warna kuning gading kesayangannya. Naruto merapatkan mantelnya ketika hawa dingin mulai meyergapnya. Beberapa waktu ini memang suhu udara Konoha terbilang sangat dingin padahal baru memasuki pertengahan musim gugur. Naruto memasuki butik itu. Ia di sambut beberapa pelayan yang mengenalinya sebagai nyonya Uchiha muda.

.

.

.

Sementara itu, di seberang jalan terdapat sebuah mobil hitam yang terparkir. Di dalamnya ada seorang wanita berambut pink yang memandang penuh kebencian pada wanita pirang itu. Ia mengusap perutnya yang kini membesar. Masih teringat akan kejadian beberapa bulan lalu di rumah Uchiha. Penghinaan yang didapatnya masih teringat jelas. Karena tidak ingin mendapat malu, kedua orang tua Sakura memilih menyembunyikan atau lebih tepatnya mengasingkan putrinya itu ke rumah di pinggir kota. Sakura meremas setir mobilnya.

Jika Naruto tidak ada maka dia bisa menjadi nyonya Uchiha

Jika Naruto tidak ada maka dia akan menjadi istri Sasuke

Ya, dia harus menyingkirkan Naruto. Dengan begitu dia bisa hidup bahagia dengan Sasuke dan anaknya.

Sakura tertawa seperti orang gila. Ia melihat gadis pirang itu keluar dari butik setelah 30 menit ia menunggu. Gadis itu masuk mobilnya. Sakura mencengkram setir mobilnya. Inilah kesempatannya untuk menyingkirkan Naruto dan menggantikannya menjadi nyonya Uchiha. Ia menekan pedal gasnya dan menabrak mobil itu dari belakang hingga mobil mewah itu terbalik dan berhenti karena menabrak pohon. Sayangnya Sakura lupa memperhitungkan keselamatannya sendiri.

CKIIIIIT!

BRAKKK!!

.

.

.

Lorong rumah sakit yang semula sepi kiri ramai dengan langkah kaki. Mereka berhenti di depan ruang operasi yang lampunya masih menyala merah. Minato, Kushina, Karin juga Fugaku dan Itachi tampak berlari ke arah mereka. Wajahnya terlihat cemas. Beberapa saat lalu Mikoto menghubungi mereka dan mengabarkan mobil Naruto mengalami kecelakaan.

“Mikoto Baa-san. Bagaimana keadaannya?.” Tanya Karin.

“Dokter sedang menanganinya.” Kata Mikoto menenangkan menantunya yang sedang menangis sesengukan.

“Dia tidak akan apa-apa kan? Dia baik-baik saja kan?.” Tanya Kushina dengan suara bergetar. Ia sangat cemas setelah mendengar putrinya mengalami kecelakaan. Minato pun maju dan memeluk sang istri untuk menenangkannya.

“Permisi.” Seorang pria berambut nanas menghampiri mereka. Ia menunjukkan ID kepolisiannya. “Saya Nara Shikamaru dari polisi distrik Konoha. Apakah saya bisa bicara sebentar mengenai kecelakaan ini?.”

“Ya, ada apa?. Apa ada yang salah?.”

“Pihak kami sudah memeriksa beberapa saksi dan hasilnya kecelakaan ini di sengaja. Tersangka kini juga tengah dirawat di sini karena mobilnya menabrak pembatas jalan.”

“Siapa? Siapa yang melukai adikku?.” Tanya Karin dengan penuh emosi.

“Tersangka bernama Haruno Sakura. Menurut saksi mata mobil yang dikendarai Haruno-san menabrak bemper belakang mobil belakang adik anda dengan kecepatan tinggi hingga terbalik dan menabrak pohon. Haruno-san sepertinya tidak bisa mengendalikan mobilnya hingga mobil itu tertabrak mobil lain dan menabrak pembatas jalan. Bersyukurlah karena adik dan sopir anda mengenakan sabuk pengaman saat itu. Jadi mereka tidak terlempar keluar mobil.”

Yah, meski mengalami patah tulang dan cedera cukup serius, belum ada korban jiwa dalam kecelakaan ini. Mobil Naruto memang memiliki balon pengaman yang akan mengembang jikalau terjadi kecelakaan seperti saat ini. Gunanya untuk meminimalisir benturan saat kecelakaan. Sopir Naruto juga di rawat di rumah sakit itu karena patah tulang dengan beberapa luka lebam dan jahitan di tubuhnya.

“Perempuan itu.” Karin mengepalkan tangannya karena marah. Sebagai kakak tertua, Karin tentu sangat protektif terhadap kedua adik perempuannya.

“Hiks, nee-san. Nee-san. Akh!.” Pekikan itu mengagetkan mereka. Naruto terlihat kesakitan sambil memegangi perutnya.

“Astaga Naruto!.” Mikoto terlihat kaget saat melihat darah menetes di kaki menantunya. Sasuke bergerak cepat dengan menggendong istrinya dan mencari pertolongan.

.

.

.

“Bagaimana dokter? Apa Naruto tidak apa-apa?. Kandungannya tidak bermasalah kan?.”

“Nyonya Uchiha mengalami tekanan batin yang hebat. Dan itu sangat mempengaruhi kondisi janinnya. Tolong usahakan agar dia tenang dan jauhkan semua hal yang dapat mengganggu batinnya. Saya akan memberikan resep vitamin dan penguat kandungan.” Dokter itupun meninggalkan ruang rawat Naruto yang diisi Kushina, Mikoto, Sasuke dan tentu saja Naruto.

“Sasuke, tolong jaga Naruto. Aku dan Mikoto akan melihat keadaan Shion dulu.”

“Baik Kaa-san.”

Ruangan itu menjadi sepi setelah kedua wanita paruh baya itu keluar. Sasuke menggenggam tangan istrinya. Ia menciumi tangan mulus itu. Dalam hati ia bersyukur tidak kehilangan istri dan anaknya. Jika karma itu ada, maka biarlah ia yang menanggungnya jangan Naruto dan calon puteranya yang tidak bersalah.

“Ngh.”

“Naruto, kau sadar.”

“Sasuke, anakku . . .” Lirihnya.

“Tenanglah. Dia tidak apa-apa.” Katanya sambil mengelus perut buncit Naruto. Naruto merasa sedikit tenang.

“Shion-nee, bagaimana keadaannya?.”

“Tenanglah, semua pasti baik-baik saja. Shion-nee gadis yang kuat. Dokter terbaik juga sudah menanganinya. Jadi pasti dia baik-baik saja.”

“Ini salahku. Seharusnya aku tidak menyuruh nee-san naik mobilku. Seharusnya aku yang di sana bukan nee-san. Hiks.” Naruto teringat kejadian di butik beberapa jam yang lalu. Saat ia sampai di butik, ternyata Shion juga sedang menemani Mikoto berbelanja untuk calon anaknya.

.

.

.

“Aduh bagaimana ini.” Shion terlihat panik saat melihat jam tangannya. Ia baru teringat kalau dia memiliki janji yang sangat penting dengan seseorang.

“Ada apa Shion-nee?.”

“Aku ada janji lain. Maaf tidak bisa menemanimu belanja.” Ucap Shion. Naruto tersenyum.

“Tidak apa kok. Lagipula ada Mikoto Kaa-san di sini.”

“Benar, pergilah. Aku akan menjaga Naruto disini.” Mikoto tersenyum pada Shion.

“Baiklah kalau begitu.” Kata Shion sambil beranjak.

“Ah, Nee-san. Tunggu sebentar.” Naruto berdiri di depan Shion. Ia melepas mantel hangatnya dan menyampirkannya ditubuh sang kakak. Tidak lupa ia juga memasangkan syal yang dipakainya ke leher Shion.

“Udaranya sangat dingin. Nee-san bisa sakit kalau tidak pakai pakaian hangat.”

“Apa tidak apa-apa?.” Tanya Shion balik. “Kamu juga butuh mantel hangat Naruto.” Ia tidak mau adik dan calon keponakannya kedinginan.

“Aku dan Kaa-san bisa membeli lagi disini. Ah ya, pakai mobilku saja. Aku akan pulang bersama Kaa-san. Bolehkan Kaa-san.” Naruto berbalik menatap Mikoto.

“Tentu Saja.”

“Baiklah kalau begitu.”

.

.

.

“Sst. Tidak Naruto. Ini bukan salahmu. Tidak ada yang menyalahkanmu. Ingat, kau harus tenang. Dokter mengatakan kau tidak boleh sedih. Mengerti?. Aku tidak ingin terjadi apa-apa padamu.” Kata Sasuke sambil memeluk Naruto.

.

.

.

Karin kini berdiri di sebuah ruang rawat inap. Teriakan demi teriakan terdengar dari ruangan itu. Seorang wanita muda berambut merah muda sedang mengamuk. Beberapa suster memegangi tubuhnya supaya tidak lepas kendali. Seorang dokter bersiap menyuntikkan sesuatu di lengan yang di pegang oleh seorang suster. Karin mengenali wanita muda yang tampak menyedihkan itu. Wanita itu Haruno Sakura

“Tidak!! Anakku. . . . anakku! Berikan anakku! Sasuke-kun akan marah padaku! Tidakkk!! . . .anak . . . ku. . .” Suaranya kian melemah setelah obat yang disuntikkan dokter mulai bereaksi. Wanita itu telah tenang dalam tidurnya. Karin mencegat dokter yang keluar dari ruangan Sakura.

“Dokter, bagaimana keadaannya?.”

“Anda?.”

“Saya kenalannya.” Karin tidak berbohong. Tentu saja ia kenal dengan Sakura karena wanita itu teman adiknya, mantan teman.

“Ah, anda kenalannya?.” Tanya dokter itu mengulangi. Karin pun mengangguk. “Nona ini mengalami depresi berat setelah tau janinnya tidak bisa di selamatkan.”

“Bayinya . . . meninggal?.”

“Kandungannya memang sudah bermasalah. Bayinya tidak berkembang secara sempurna. Kurasa karena nyonya itu tidak memperhatikan gizi selama masa kehamilannya atau mungkin dia memiliki banyak beban pikiran. Benturan keras di tambah usia bayi yang belum cukup membuat bayi itu tidak terselamatkan.”

Karin masih terdiam di depan kamar rawat Sakura. Ia melihat wanita itu dari balik kaca pintu. Ia masih memiliki rasa kasian pada wanita itu.

“Mungkin ini adalah karmamu Haruno Sakura. Aku tau kau sebenarnya ingin mencelakai Naruto tapi malah Shion yang terluka. Bagiku, Shion dan Naruto adalah adikku yang berharga. Aku tidak akan pernah memaafkanmu yang telah melukai kedua adik berhargaku.”

Karin pun meninggalkan kamar Sakura.

.

.

.

“Karin, kau darimana saja?.”

“Aku. . . “

“Shion sedang di operasi sekarang. Ibu  takut.”

“Ibu, aku . . .” pandangannya teralih saat melihat pria itu berjalan mendekati mereka. Ia melihat Fugaku, Mokoto juga Sasuke. “Kau!!.” Karin segera menghampiri Sasuke dan menyeretnya menjauh tanpa memperdulikan protesan dari yang bersangkutan. “Ikut aku!.”

“Karin, hei!.”

Karin sama sekali tidak menggubris panggilan ibunya. Ia menyeret Sasuke. Semua orang di lorong rumah sakit memandangi mereka dengan heran.

“Karin, kita mau kemana? Hei!”

Mereka berhenti di sebuah kamar rawat. Lengkingan suara teriakan mulai terdengar dari kamar itu. Para suster dan dokter mulai berdatangan.

“Karin, ini di mana?.”

.

.

Sasuke mendengar suara yang dikenalinya.

.

.

Sakura?.

.

.

.

“Kau lupa huh?. Kau tidak mengingat suara itu?.”

“Ini. . . “

“Ini adalah kamar rawat simpananmu.”

Deg!

“Karin, aku-.”

“Kau!. Semua masalah ini berasal darimu. Jika sesuatu terjadi pada adik-adikku. Maka kaulah orang pertama yang kucari.” Karin meninggalkan Sasuke di depan kamar rawat Sakura.

.

.

.

Keluarga Uchiha dan Namikaze masih menunggu dengan cemas di depan ruang operasi. Sudah hampir 3 jam dan operasi itu belum selesai juga.

Tring!

Lampu hijau itupun mati. Seorang dokter yang masih mengenakan baju operasi berwarna hijau keluar menyapa mereka.

“Bagaimana, dok? Apa putri kami baik-baik saja?.” Tanya Minato dengan cemas.

“Tenanglah, nona itu baik-baik saja. Masa kritisnya sudah lewat. Meski beberapa tulang rusuknya patah tapi kita harus bersyukur karna tidak ada organ dalamnya yang terluka. Putri anda akan dipindahkan ke ruang rawat. Dalam waktu 24 jam obat biusnya akan hilang.”

Beberapa suster mendorong tempat tidur itu keluar dari ruang operasi. Shion tampak berbaring tidak sadarkan diri dengan beberapa lebam dan balutan perban ditubuhnya. Mereka mengikuti di belakangnya dengan cemas. Kushina tampak menangis melihat keadaan putri keduanya.

.

.

.

Sasuke memasuki kamar rawat Naruto. Ia tersenyum saat mendapati istrinya sedang tertidur. Ia mendekati ranjang Naruto dan duduk di salah satu kursi dekat ranjang tersebut. Sasuke mengelus perut besar itu dengan sayang.

“Naruto, kau tau. Sakura depresi berat dan di rawat di rumah sakit jiwa. Ini mungkin hukuman untuk kesalahannya padamu.” Sasuke mengecup punggung tangan Naruto. “Aku pun mungkin tidak akan lepas dari hukuman. Tapi sampai saat hukuman itu tiba, ijinkan aku berada di sampingmu dan menjagamu. Aku mencintaimu Naruto. Sungguh.”

.

.

.

Naruto membuka mulai kedua mata shappirenya. Ia melihat Sasuke yang tengah tertidur di sampingnya.

.

.

.

‘Kali ini biarkan aku menjadi egois karena tidak mau melepaskanmu.’

.

.

.

-The end-

.

.

.