Minggu, 01 Desember 2013

FF: Sekuel Memories Lies: All for you Chapter 2. Begin




Disclaimer      : Naruto isn’t mine.

Genre             : Terserah lah.

Rate                : T-M

Warning         : Broken pair, Frontal, cheating and hatred. OOC (ok, saya menyerahkan sepenuhnya pada reader, saya tidak mematok bagaiman sifat charanya).

 Don’t like don’t read

Pair                 : Gaarafemnaru, Sasufemnaru, Sasuhina (ditulis biar kaga ada yang komplen :P.

.

.

.

.

.

Cast

Uchiha Sasuke (39 thn)

Sabaku (Uzumaki) Naruto (38 thn)

Uchiha (Hyuuga) Hinata (38 thn)

Sabaku Gaara (39 thn)

Sabaku (Uchiha) Shunsuke (17 thn)

Sabaku Arashi (15 thn)

Uchiha (Hyuuga) Hanabi (17 tahun)

Uchiha Suki dan Uchiha Reita (twins, 17 tahun)

Cast lain menyesuaikan.

.

.

Oh yeah one more thing, This is not SasuNaru Lovey dovey fic (even thought I can guarantee they will be together again or not) so if you Don’t like it, just Get out and push the exit button. I think if you are smart you can read the chara name and not blame me about misunderstanding of yours

.

.

.

Hari pertama.

Pasti menyenangkan. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengenali siapa musuhmu. Menyelidiki setiap kelemahan dan kekuatannya. Dengan begitu kau akan bisa mengalahkannya dengan mudah.

.

.

.

.

.

“Hiks hiks kenapa mereka melakukan ini padaku? Apa salahku pada mereka?.” Seorang gadis berambut pirang tengah menangis tersedu-sedu dalam pelukan seorang pemuda berambut merah menyala. “Meraka jahat, mereka jahat, aku membencinya. Tega sekali mereka.” Ia terus mengulang kata-kata itu. Meluapkan rasa sakit hatinya pada dua orang yang dipercayai dan disayanginya.

“Sst, lupakan mereka. Mereka tidak pantas kau ingat.” Kata pemuda merah itu sembari mengeratkan pelukannya pada tubuh ringkih sang gadis pirang yang kini terlihat gemetaran. Betapa sakit hati pemuda itu saat melihat gadis yang dicintainya menangis seperti ini.

“Aku membenci mereka. Aku tidak akan memaafkan mereka.” Ucapnya berulang-ulang.

Gaara mengendurkan pelukannya. “Naruto.” Pemuda itu menangkup pipi gadis itu. ia memaksa gadis itu untuk menengakkan kepalanya dan menatap lurus ke matanya ”Lupakan mereka dan mulailah hidup baru.”

Gadis itu menatap wajah Gaara. “Tegakkan kepalamu dan buat mereka menyesal karena telah menyakitimu. Mengerti?.”

“Tapi anak ini. . .” Naruto kembali menunduk. Kini ia tengah menatap perutnya yang masih datar. Ia tidak mungkin bisa lepas dari masa lalunya jika anak ini masih ada. Tapi dia tidak mau menggugurkan kandungannya. Biar bagaimanpun anak ini tidak bersalah. Ialah yang bersalah karena terkena bujuk rayu laki-laki brengsek itu hingga dengan sukarela menyerahkan tubuhnya.

“Aku, aku yang akan menjadi ayahnya. Aku yang akan menikahimu dan bertanggung jawab atas anakmu.”

Naruto kaget tidak percaya apa yang baru didengarnya. Naruto menatap wajah Gaara.

“Tidak, bagaimana kau bisa melakukan itu, aku tidak bisa membiarkanmu menanggung yang bukan kesalahanmu.” Gadis itu dengan panik menggelengkan kepalanya. Ia senang karena anaknya tidak akan terlahir sebagai anak haram. Tapi ia tidak mau mengorbankan satu-satunya sahabat yang ia miliki saat ini. Gaara berhak mendapatkan gadis yang lebih baik darinya.

“Naruto.”

“Tidak!.” Naruto menutup telinganya.

“Naruto!.” Bentaknya. Naruto tersentak.

Gaara menangkap kedua tangan gadis itu. Memaksanya untuk mendengar apa yang ingin dikatakannya. Ia menatap lurus mata shappire yang sangat disukainya itu.

“Dengar! Aku melakukannya bukan untukmu. Aku melakukannya untuk diriku.” Ucapnya dengan penuh ketegasan. Gaara harus memastikan agar Naruto dapat menangkap kesungguhannya. Ia melembutkan suaranya. “Aku- aku mencintaimu . . . sejak pertama kali melihatmu.”

Mata shappire Naruto membesar memandang Gaara. Gaara dapat melihat ketidakpercayaan dan keraguan dibola mata yang ia puja keindahannya itu. Naruto bingung. Sungguh ia tidak pernah menyangka bahwa ada orang yang sangat mencintainya berada didekatnya. Selama ini ia begitu dibutakan oleh pesona seorang Uchiha Sasuke hingga tidak menyadari bahwa ia telah melukai perasaan Gaara. Naruto meragu tapi saat melihat wajah Gaara, ia tidak menemukan apapun selain ketegasan. Gaara tidak berbohong padanya. Ia tau ia tidak punya pilihan.

Ia kembali jatuh.

“Kenapa? Kenapa kau mengatakannya sekarang? Kenapa kau tidak mengatakannya dari dulu.” Naruto kembali terisak. Semua emosinya keluar tanpa bisa terbendung lagi. ”Kalau saja kau mengatakannya dari dulu mungkin aku. . .”

“ . . . mungkin aku akan mencintaimu sekarang.”

Gaara kembali mendekap Naruto dengan erat. Ia menyesal. Kalau saja ia mengatakannya dari dulu mungkin Naruto tidak akan jatuh ke pelukan Uchiha bungsu itu. Mungkin saja saat ini Naruto sudah menjadi miliknya. Kali ini, setelah ia mendapatkan kesempatannya lagi. Ia bersumpah tidak akan pernah melepaskan Naruto lagi.

.

.

.

“Maaf.”

.

.

.

Shunsuke terbangun dari tidurnya saat merasakan sinar matahari pagi menyusup dari jendela kamarnya. Pemuda itu mengerjapkan matanya untuk membiasakan matanya dengan cahaya yang semakin terang.

‘Oh, sudah pagi.’

Iapun bangun dan meregangkan tubuhnya. Ia kemudian masuk kamar mandi untuk membersikan diri. Dia langsung berjalan menuju kamar mandi dan membasuh tubuhnya dengan air hangat. Setelah selesai, Ia lalu mengambil jubah mandi dan berjalan kedalam ruangan yang penuh dengan pakaiannya. Beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Jepang, ibunya Naruto telah mengirim barang-barangnya kemari hingga ia tidak perlu repot membawa banyak barang saat akan naik pesawat.

Ibunya itu memang penuh perhitungan dan persiapan. Shunsuke merasa sangat beruntung memiliki ibu seperti Naruto. Ah jangan lupakan juga ayahnya, si panda merah, Gaara, meski kedua orang ini seperti anjing dan kucing tapi mereka sangat dekat. Gaara menyayangi Shunsuke seperti ia menyayangi Arashi. Dan anehnya meski tidak memiliki hubungan darah, Gaara dan Shunsuke memiliki ikatan dan selera yang hampir sama. Mereka bahkan bertengkar untuk mendapatkan perhatian dari sang nyonya muda Sabaku. Jika sudah begitu, tidak akan ada yang bisa melerai mereka kecuali si bungsu berambut merah.

“Ish, dasar panda tua dan rubah buluk.”

Arashi selalu mengatakan itu dengan ketus saat melihat kakak dan ayahnya bertengkar untuk mendapatkan sang Ibu. Shunsuke selalu tertawa saat melihat kelakuan adiknya itu. Padahal dulu sang adik selalu bersikap manis dan mengikutinya kemanapun ia pergi. Ia tidak menyangka adik manisnya tumbuh jadi pemuda ketus dan bermulut tajam walaupun sifat kelewat cerianya masih ada sampai sekarang.

Shunsuke memilih-milih pakaian hingga akhirnya ia mengambil setelan jas Armani berwarna hitam dan sebuah kemeja putih dengan merek yang sama. Ia memakainya dengan cepat. Jas itu begitu pas dengan ukuran tubuhnya. Selera ibunya memang selalu bagus. Hampir semua pakaiannya adalah hasil hunting dari sang ibu. Karena ia sendiri mengaku terlalu malas untuk mengurusi hal sepele seperti itu.

Iapun segera bersiap. Ia menuju wastafel dan berkaca di sana. Dipandangnya pantulan dirinya dalam cermin. Jas yang dipakai tidak terlalu rapi. Kemeja yang tidak dimasukkan ke dalam celana dan 2 kancing teratas yang dibiarkan terbuka. Memberi kesan maskulin dan fashionable pada pemuda 17 tahun itu.

‘Ck, kenapa aku harus mirip dengan laki-laki itu sih. Sial.’ Umpatnya dalam hati saat melihat bayangannya di cermin yang berada di atas wastafel.

Tidak dapat dipungkiri, Shunsuke memang lebih mirip dengan klan Uchiha ketimbang dengan ibunya sendiri. Bukan hanya mirip, tapi dia bagai pinang dibelah dua sengan ayah biologisnya, Sasuke Uchiha. Sekali lihatpun orang akan bisa melihat kesamaan mereka. Terkadang ia iri pada adiknya, Arashi yang lebih mirip dengan ibunya. Meski anak itu memiliki rambut oranye kemerahan dan mata ruby milik ayahnya ,Gaara, tapi wajahnya benar-benar mirip dengan sang ibu.

Shunsuke kini menatap iris matanya yang berwarna dark blue. Satu-satunya yang tidak sama dengan orang itu. Satu-satunya hal yang membuatnya merasa terikat kuat dengan Naruto, ibunya. Meski warna itu jauh lebih gelap dari iris sapphire ibunya.

Shunsuke mengambil sebuah kotak yang berisi contac lens berwarna hitam dan memakainya. Beberapa kali ia mengedipkan matanya. Terakhir ia membuka matanya dengan perlahan dilihatnya sosok yang ada dalam cermin. Iapun menyeringai.

Sempurna!

.

.

.

Kediaman Uchiha.

“Berapa lama lagi kau akan mempertahankan perempuan itu Sasuke?. Kapan kau akan memberiku cucu?.”

“Sudahlah bu, ibu tahu keadaan Hinata.” Jawab Sasuke datar.

“Makanya menikahlah lagi. Ibu akan mencarikan calon istri yang sempurna untukmu.”

“Sudah  kukatakan, aku tidak akan menikahi perempuan lain bu. Aku hanya mencintai Hinata.” Ucap Sasuke. Sudah berapa kali ibunya memaksa untuk menikah lagi. Entahlah. Ia sampai bosan mendengar ibunya selalu mengeluh dan memaksanya mengikuti perjodohan lagi hanya untuk mendapatkan keturunan. Ia tidak mungkin meninggalkan Hinata. “Lagipula ada Hanabi. Dia cucu ibu juga.”

“Gadis itu bukan cucuku. Aku ingin cucu kandung, bukan cucu angkat yang tidak jelas asal usulnya.”

 “Hanabi bukan anak yang tidak jelas bu. Dia anak dari sepupu Hinata. Dia dari keturunan Hyuga yang terhormat.”

Sepuluh tahun lalu, setelah mengetahui Naruto memiliki anak dari Sasuke, pasangan itu sepakat mengangkat Hanabi yang baru saja kehilangan orang tuanya dalam kecelakaan. Mereka berharap dengan adanya Hanabi, Mikoto tidak akan mengungkit lagi mengenai keturunan tapi ternyata mereka salah. Mikoto semakin gencar menyuruh Sasuke untuk menikah lagi.

“Tetap saja, tidak ada darah Uchiha yang mengalir dalam tubuhnya.” Mikoto berjalan dengan anggun meninggalkan sang putra.

Bagaimana ia bisa menerima Hanabi jika ia tau ia memiliki cucu kandung dari Sasuke? Menggelikan bukan? Orang yang tidak seharusnya menyandang nama Uchiha  malah memakainya dibelakang namanya, sedangkan orang yang berhak memakainya justru memakai nama keluarga orang lain.

.

.

.

Shunsuke turun dari kamarnya menuju ke ruang makan di lantai bawah. Disana ia hanya melihat Iruka dan Kakashi yang sedang menata sarapan bersama beberapa maid. Oh, salah. Hanya Iruka yang bekerja menata makanan bersama beberapa maid sedang Kakashi hanya berdiri beberapa langkah dibelakang Iruka. Tangannya terlipat didadanya. Ia terlihat sedang menatap tajam ‘Istrinya’ yang tampak akrab dengan maid-maid wanita itu.

Dari jarak inipun Shunsuke dapat melihat kerutan berbentuk perempatan jalan di kepala Kakashi saat tangan ‘istrinya’ secara tidak sengaja menyentuh tangan maid wanita yang membantunya. Shunsuke hanya dapat tersenyum geli saat melihat tingkah Kakashi yang terlihat menahan kecemburuanya dari balik masker yang ia kenakan. Shunsuke mendekati kedua paman itu dengan hati-hati.

“Ohayou.” Sapanya.

“A-  ohayou tuan muda.”

Shunsuke mendekati meja makan putih berbentuk persegi panjang itu dengan ukiran indah berwarna emas di sisi-sisinya. Ia duduk di salah satu kursi di seberang Iruka dan Kakashi berdiri.

“Ne paman Iruka.”

“Ya?.” Iruka menghentikan pekerjaannya dan beralih memandang Shunsuke.

“Jangan panggil aku tuan muda ne. Aku tidak suka. Lagian pamankan yang membesarkan ibu dari kecil. Jadi anggap aku juga sama seperti ibu. Panggil nama kecilku saja.”

“Tapi . . .”

“Kakek juga sudah mengijinkan. Paman sudah lama ikut keluarga Sabaku jadi keluarga ini sudah menganggap paman sebagai keluarga sendiri. Lagian ibu yang paman asuh menikah dengan Dad.”

Setelah orang tua Naruto meninggal, Irukalah yang merawat gadis pirang itu hingga dewasa. Lalu apa hubungan mereka berdua? Hmm, memang kedua orang ini tidak ada mirip-miripnya sama sekali tapi mereka berdua masih bisa di sebut saudara sepupu karena ibu Iruka adalah kakak sepupu dari Kushina, ibu Naruto.

“Ba-baiklah. Shunsuke-sama.”

“Shun.” Kata Shunsuke. “Panggil aku Shun.”

“Baiklah, um . . . etto . . . Shun-kun.”

Shunsuke tersenyum. “Ne, paman.”

.

.

.

“Kaa-san aku berangkat dulu.”

“Hati-hati di jalan Hanabi.”

“Hai’ kaa-san.” Katanya sambil tersenyum. Ia melihat sang nenek dari dalam rumah bersama kedua sepupu kembarnya, Suki dan Reita. “Nenek selamat pagi.”

Namun seperti biasa Mikoto sama sekali tidak menghiraukan Hanabi. Mereka berjalan menuju ke sebuah mobil mewah yang terparkir rapi di depan mansionitu. Seorang sopir berpakaian rapi membukakan pintu mobil itu untuk para majikannya. Ia sedikit membungkukkan badannya untuk memberi hormat.

“Ayo cepat berangkat, nanti kalian berdua terlambat.” Katanya pada kedua cucu kesayangannya. Berbeda sekali perlakuannya pada Hanabi.

“Hanabi-chan, ayo kita berangkat.” Panggil Suki. Gadis berambut dan bermata hitam itu saat melihat sang sepupu yang terlihat diam disamping bibinya.

“Eh? Umm.” Hanabi langsung menghampiri kedua sepupunya dan masuk kedalam mobil. Begitu semua majikannya masuk, sang sopir menutup langsung menutup pintu mobil dan segera melajukannya keluar dari mansion.

Kini tinggallah Mikoto dan Hinata di depan gerbang mansion Uchiha.

“I-ibu, bi-bisakah ibu bersikap lebih baik pada Hanabi? Ba-bagaimanapun dia juga cucu ibu.” Hinata memberanikan diri untuk berbicara pada Mikoto.

Mikoto  menatap Hinata dengan tajam.

“Aku sudah memberinya fasilitas mewah. Apa itu kurang?.”

“Ta-tapi . . .”

“Dan anak itu bukan cucuku. Kau tau betul siapa cucu kandungku sebenarnya. Seharusnya kau bersyukur aku mau menerimanya disini.”

Hinata menunduk. Ia mencengkram kain kimononya dengan erat.

“Dasar perempuan tidak berguna.”

Mikoto melewati Hinata yang masih menunduk dengan angkuh. Wanita paruh baya itu masuk kedalam rumahnya.

Sementara Hinata masih menunduk sedih. Ia tau betul siapa yang dimaksud Mikoto. Satu-satunya wanita yang melahirkan anak untuk Sasuke, suaminya. Perempuan yang selalu membayangi rumah  tangganya. Perempuan yang selalu menjadi benalu dalam hidupnya.

.

.

Uzumaki Naruto.

.

.

Hanabi menunduk didalam mobil. Kedua sepupunya tampak saling menukar pandangan kebingungan.

“Ada apa Hanabi-chan?.”

Gadis berambut coklat itu hanya menggeleng. Mereka berdua sebenarnya tau apa yang sekarang dirasakan Hanabi. Namun mereka tidak bisa melakukan apapun untuk membantu gadis itu.

“Yang sabar ne. Aku yakin suatu saat nenek pasti akan berubah.”

Hanabi hanya mengangguk pelan. Sampai sekarang ia masih tidak mengerti kenapa sang nenek sangat membencinya.

Apakah karena ia anak angkat? Tidak, ia yakin bukan hanya itu alasannya. Pasti ada sesuatu yang lain yang disembunyikan darinya.

“Bagaimana kalo pulang sekolah kita jalan-jalan?.” Ajak Suki. Gadis itu berusaha menghibur sepupunya.  Meski Hanabi hanya anak angkat paman dan bibinya. Tapi ia sangat menyayangi gadis itu seperti ia menyayangi Reita.

“em, yah.”

.

.

Shunsuke mengajak Kakashi bicara empat mata di ruang perpustakaan rumah itu.

“Paman, apakah sudah mendapatkan yang aku minta.”

“Ya.” Kakashi mengeluarkan sebuah amplop besar berwarna coklat yang entah keluar darimana. Ia membuka amplop itu dan mulai mengeluarkan isinya. Beberapa lembar foto dan berlembar-lembar kertas yang berisi hasil penyelidikan rahasia yang dilakukan Kakashi. Ia meletakkan foto-foto itu di meja dan membacakan isi dokumennya. “10 tahun lalu, Uchiha Sasuke dan Uchiha Hinata mengadopsi seorang anak perempuan yang bernama Hanabi. Menurut informasi yang kudapat Hanabi adalah anak dari sepupu Hinata yang meninggal dalam kecelakaan.” Kakashi menunjuk sebuah foto berisi seprang gadis muda berambut coklat dan bermata lavender khas keturunan keluarga Hyuga. “Lalu . . .”

Shunsuke mengangkat sebelah alisnya.

“10 tahun lalu?.”

“Ah iya 10 tahun lalu. Lebih tepatnya beberapa saat setelah anda berempat datang ke pesta ulang tahun cucu kembar Uchiha.”

“Ho?, Jadi bisa dibilang kedua orang itu mengadopsi anak setelah tau keberadaanku.”

“Sepertinya begitu. Terlebih sejak saat itu hubungan anggota keluarga Uchiha lain dengan pasangan Uchiha bungsu tampaknya memburuk.”

“Benarkah?.”

“Mungkin anda belum tau tapi Uchiha Ino, Istri dari Itachi, adalah teman Naruto sejak kecil. Itachi sendiri sepertinya lebih menyukai ibu anda ketimbang nona Hyuga itu. Fugaku dan Mikotopun dulu merestui hubungan ibu anda dan Sasuke Uchiha. Karena itu mereka sempat menolak saat Sasuke hendak melamar putri Hyuga itu. Hubungan mertua dan menantu itu memang tidak terlalu dekat sejak awal apalagi setelah tau bahwa Hinata ternyata mandul dan Naruto yang memiliki anda. Hubungan mereka kian memburuk.”

“. . .” Shunsuke terus menatap foto yang tadi ditunjuk Kakashi dengan intens. Sesaat kemudian ia tersenyum menerikan. “I think it’s gonna be so damn interesting.”

Kakashi hanya diam dan tidak mampu berkata-kata.

.

.

“Hanabi-chan ayo kesana. Ah itu imut sekali.” Suki terus saja menarik lengan sepupunya dengan semangat. Hanabi hanya bisa pasrah. Ia tahu ia tidak akan bisa menghentikan sepupunya itu kalo sudah menyangkut hobinya. BELANJA, ya belanja. Gadis cantik itu menarik Hanabi untuk melihat toko barang-barang yang menurutnya sangat lucu. Reita, sang adik hanya mengikuti kedua gadis itu. Ia tidak berminat untuk menyela kegiatan keduanya. Lebih tepatnya tidak berani. Suki kakaknya sangat mengerikan kalau sedang kesal dan gadis cantik itu akan sangat kesal kalau ia diganggu dengan hobinya.

Beberapa kali Reita menghela nafasnya saat melihat tingkah kekanak-kanakan dari saudari kembernya itu. Padahal Suki lahir lebih dulu darinya tapi kenapa kelakuannya lebih mirip seperti adiknya.

“Hanabi-chan coba lihat.” Kata Suki memberi isyarat agar Hanabi mengikutinya.

Hanabi berjalan dengan cepat berusaha mengikuti Suki.

Brukk

Tubuh Hanabi oleng karena menabrak sesuatu di depannya. Hanabi menutup matanya saat merasa tubuhnya oleng. Tiba-tiba sebuah lengan meraih pinggangnya dan mencegahnya untuk tidak membentur tanah. (taulah adegan ini kek gimana :D)

“Kau tidak apa-apa nona?.” Tanyanya.

Hanabi membulatkan matanya. Di depannya ada seorang pemuda tampan berambut hitam yang sedang memeluknya atau lebih tepannya menyangga tubuhnya agar tidka jatuh. Pemuda itu benar-benar tamapan. Tapi bukan itu yang membuatnya terkejut.

“Nona? Kau tidak apa-apa?.”

Hanabi tersadar dari lamunannya. Ia segera membenarkan posisi berdirinya.

“A… um tidak apa. Maafkan aku.” Hanabi membungkukkan badannya.

“No prob.”katanya sambil tersenyum. “Ah aku baru 2 hari di kota ini. Maaf sudah menabrakmu.”

“Ti-tidak, aku yang salah. Hountou ni Gomenasai.”

“Ah oh ya siapa namamu?.”

“eh. Aku Uchiha Hanabi.”

“Hanabi? Nama yang cantik seperti orangnya.”

Pipi Hanabi merona mendengar pujian untuknya. Selama ini tidak ada yang memujinya cantik. Mungkin karena ia selalu bersama Suki yang diakuinya sangat cantik.
Perkenalkan, aku . . .”

.

.

.

Di Paris.

“Ne Mom, kapan kita menyusul?.” Tanya seorang pemuda berambut merah yang sedang bermanja-manja pada sang ibu. Tumben-tumbenan ia mendapat kesempatan seperti ini karena biasanya ayah dan kakaknya selalu memonopoli sang ibu. Pemuda berambut merah itu tiduran dan meletakkan kepalanya dipangkuan sang ibu dengan santai. “I miss him like hell.”

“Hmm?. Setelah semua urusan Dad di sini selesai.” Wanita itu membelai lembut rambut sang anak. Wanita yang usianya hampir memasuki kepala 4 itu masih terlihat cantik dan segar. Tidak sedikit dari orang yang baru mengenalnya mengira usianya masih pertengahan 20 tahunan. Itu membuat sang suami kadang uring-uringan karena tidak sedikit dari relasi bisnisnya mengira sang istri adalah adiknya dan jatuh hati padanya. Naruto hanya bisa tertawa saat sang suami menceritakan hal itu padanya.

“Benar-benar akan melakukannya?.”

“Ya.”

“Can I help too?.”

“Do you want to?.”

Bocah itu menggangguk mantap.

“Fine. Then just call and tell him.”

Senyum lebar merekah dibibir bocah merah itu. ia langsung bangkit dari pangkuan ibunya.

“Ok.”

Pemuda itu memasuki mansion mewah itu sambil bersiul senang. Wanita itu memandang punggung anaknya yang berjalan menjauhinya. Ia kemudian memandang langit biru diatanya.

.

.

.

There will be always a yellow sun for bue sky

And the moon for black sky.

Very black sky

.

.

.

-TBC-

.

.

.
 

1 komentar: