Selasa, 05 November 2013

FF: Faith chapter 3 Sonata



.
.
.
Disclaimer                  : Masih perlukah? Ok Naruto Isn’t mine. I just own the story not the character.

Rate                            : M becoz rape scenes, veil language, bad manner, etc.

Genre                         :Romance, Hurt, Family, Angst (maybe), Etc.
.
.
Purely made By Gothiclolita89
.
.
.

Cast

Namikaze Naruto (17 th, usia dimana saya lulus SMA -_-)
Uchiha Sasuke  (21 th, mahasiswa)
Namikaze Kyubi (24 th, mahasiswa prasarjana)
Sabaku Temari (24, mahasiswa PKL)
& cast lain mengikuti.
.
.
.
Gomen udah lama nggak updet yang ini. Masih adakah yang menunggu? Nggak? Ya udah. :-P
.
.
.
.
.
.
“Hyuga!.”
Gadis bermata lavender itupun menoleh ketika mendengar namanya di panggil. Seorang laki-laki tampan berdiri tegak dibelakangnya. Ia tau siapa laki-laki muda itu. Dia adalah kekasih sahabatnya, Naruto. Ia juga pernah beberapa kali bertemu dengan laki-laki itu.
“Bisa bicara sebentar?.” Tanyanya.
.
.
.
Chapter 3. Sonata
.
.
.
“Bisa bicara Sebentar?.” Tanya Sasuke pada gadis yang ia ketahui adalah sahabat kekasihnya, Naruto.
Hinata terdiam sebentar, mencoba mengingat siapa lelaki tampan yang ada di depannya itu. Beberapa saat kemudian ia menggangguk setelah mengingat siapa lelaki tampan itu. Pria yang pernah diperkenalkan Naruto, sahabatnya sebagai kekasih.
Pria dari klan Uchiha.

“Ah tidak enak bicara disini. Bagaimana kalau kita bicara di tempat lain dekat sini?.”
Hinata kembali mengangguk. Sasuke membawa gadis itu ke sebuah restoran keluarga dekat sekolah. Mereka memilih tempat tersepi dan duduk di kursi pojok restoran itu.


Mereka hanya duduk.

Hinata terdiam, menunduk dan tidak berani memandang wajah pria didepannya. Sasuke pun sama. Ia memandangi meja kayu itu dengan pandangan kosong. Tidak satupun diantara mereka  yang membuka suara untuk memulai pembicaraan

Hening

Hening

Hening

“Kau tahu. . . .” Sasuke mencoba membuka percakapan. Beberapa kali ia menelan ludahnya sendiri. Betapa ia sangat gugup kali ini.

Oh God, kenapa Uchiha yang keren ini harus gugup seperti ini?

Bisa berkurang dong kadar kekerenan ‘n ketampanan Uchiha bungsu yang jadi idola cewek-cewek seantero Konoha.

Glek

Terserahlah yang penting sekarang adalah Sasuke harus bisa menemukan Naruto.

.
.
.

-Hinata POV-

Saat aku melewati gerbang sekolah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki tampan yang memanggil namaku.

Siapa dia?

Sepertinya aku pernah melihatnya.

“Hyuga-san, bisa bicara sebentar?.” Tanyanya.

Aku terdiam sebentar, mengingat-ingat laki-laki yang ada didepanku ini.

‘Ah! Aku ingat sekarang.’

Akupun mengangguk. Dia tampak senang dengan reaksiku. Sepertinya dia sadar kalau aku baru mengenalinya.

Dia membawaku ke sebuah restoran keluarga didekat sekolah.

“Kau tau. . .”.

-Hinata POV end-

.
.
.

“Kau tahu . . .” Sasuke terdiam sebentar. “Beberapa saat lalu aku bertengkar dengan Naruto. Aku tidak dapat menghubunginya. Aku sudah mencoba menelponnya tapi nomornya tidak aktif.”

“Ber-bertengkar?. Ke-kenapa?.”

“Ada sedikit masalah. Apa kau kenal dengan yang namanya Akasuna?.”

“A-akasuna? Ah, Sasori sempai.”

Sasuke mengangguk. “Kami bertengkar karena orang itu. Sepertinya aku terlalu cemburu dan . . . kami bertengkar.”

Sasuke menunduk. Ok, baru sekali ini dalam hidupnya ia menunduk didepan orang lain.

“A-anu, Uchiha-san.”

Sasuke mengangkat kepalanya.

“Mu-mungkin Sasuke-san belum tau siapa Sasori senpai.” Jelas Hinata. Sasuke menatap gadis bermata lavender itu dengan lekat. Menunggu penjelasan yang akan didengarnya. “Sa-sasori senpai adalah anak dari teman bibi yang pernah menolong bibi Kushina dulu. Sa-sasori sempai pernah mengatakan dia sudah menganggap Naru adiknya karena ia tidak punya adik perempuan. Ja-jadi tidak he-heran kalau Naruto dengannya. . .

Deg

Deg

Deg

. . .  La-lagipula Sasori senpai sudah punya kekasih. Ja-jadi tidak mu-mungkin Naruto dan Sasori sempai memiliki hubungan tertentu.”

“Apa kau tahu dimana dia?.”

“. . .”

“ Hyuga-san?.” Gadis itu tampak berpikir keras. Ia mengingat kembali sesuatu yang mungkin jadi petunjuk keberadaan sahabatnya itu.

“. . .”

“Hyuga Hinata-san?.”

“A-ano. A-aku hanya ta-tahu Naruto punya kakak di Suna.”

“Suna?.”

Hinata mengangguk. “Di-dia punya kakak laki-laki dan ayah di Suna. Ja-jadi . . .”

Sasuke mengerutkan kedua alisnya tanda ada yang tidak dimengertinya.

‘Kakak? Ayah? Aku tidak pernah tau Naruto punya keluarga lain selain mendiang Ibunya.’ Pikir Sasuke.

 Sasuke mendengarkan perkataan Hinata dengan serius. Siapa tau gadis ini bisa memberi petunjuk dimana Naruto berada. Ia cukup terkejut saat mendengar Naruto memiliki ayah dan kakak karena setahunya Naruto hanya tinggal bersama ibunya. Gadis itu ama sekali tidak pernah menyinggung masalah keluarganya.

Seumur hidupnya baru kali ini ia merasa bodoh. Ia merasa bodoh karena tidak tau apapun tentang sang kekasih. Bagaimana bisa ia mengatakan mencintai Naruto jika ia tidak tau apapun tentang gadisnya?

“A-ano Uchiha-san.”

“Ya?.”

“Su-sudah sore. Saya ha-harus pulang jadi . . .”

“Ah! Gomen. Apa perlu kuantar?.”

Hinata menggeleng. “Ti-tidak, saya akan naik taksi.”

“Baiklah kalau begitu.”

Setelah Hinata pergi, Sasuke kembali kedalam mobilnya. Ia menyandarkan kepalanya di jok mobil itu dan menengadahkan kepalanya. Ia tampak berfikir keras. Lalu dengan tiba-tiba ia mengambil hp yang ada di kantong mantelnya. Ia mendial nomor telfon seseorang.

“Halo, Suigetsu. Aku ingin minta bantuanmu . . . ok. . . temui aku besok ditempat biasa.”

.
.
.
.
.

“Tidak!!! Hentikan!!.” Teriaknya.

Ia menangis. Tapi pria itu tidak menghentikan perbuatannya. Ia justru menampar dan memakinya.

“Bitch!!.”

Ia kemudian memaksa untuk mencium gadis itu. Gadis itu tidak bisa melakukan apapun. Tangannya terikat dasi pada jeruji ranjang itu bahkan saat pria itu mulai melepas paksa kain yang ada di tubuhnya. Ia hanya bisa menangis. Berharap laki-laki yang sedang kalap itu sadar.

Tapi tidak laki-laki itu tidak akan berhenti. Dia terus menciumi tubuh terbalut kulit putih mulus itu dengan rakus. Sesekali ia membuat tanda merah di leher dan dadanya. Tangannya mulai berpartisipasi menelusup di balik gaun berwarna hitam itu.

Tangan kecilnya terus meronta. Tapi apa daya, ia hanya seorang gadis lemah. Ia tidak bisa melawan. Pergelangan tangannya bahkan sudah memerah karna terus bergesekan dengan kain dasi yang mengikat erat tangannya.

“Aaaaaaaaaaakh!!!!!.”

Hanya berteriak dan mencoba melawan yang bisa ia lakukan, meski ia tau itu hanya tindakan sia-sia.

‘Begitu ya?’

‘Jadi beginilah aku dimatamu?’

‘Sebegitu rendahkah aku dimatamu?’
.
.
.

“Hujan badai tengah melanda kota Suna. Menerut para pengamat, hujan badai ini disebabkan oleh angina El nino yang mulai mendekati pantai selatan Jepang. Para penduduk dihimbau untuk tidak keluar rumah selama badai belum reda. Demikian laporan cuaca hari ini. Saya Wakabayashi Eriko melaporkan dari Chanel 9 TV JAPAN.”

.
.

JEGLERRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRR (Anggap suara petir ne)

.
.

“Aaaaaaaaaaakh!!!!!.”

Naruto membelalakkan matanya. Ia tersentak dan bangun dari tidurnya. Nafasnya memburu. Keringat dingin mengalir dari pelipisnya.

“Hah . . . hah . . . hah . . .”

Ia berusaha menenangkan nafasnya. Tangan kanannya memegang dada kirinya. Jantungnya berdetak dengan cepat. Tangannya meremas selimut orange tebalnya. Wajah cantik itu tampak pucat dan ketakutan. Ia tidak dapat menyembunyikan gemetar tubuh akibat mimpinya. Mimpi buruk yang selalu menghantuinya setiap malam. Mimpi buruk yang ingin dilupakannya.

Takut

Rasa takut.

Ya. Rasa itu yang kini menguasainya kini. Mimpi buruk yang selalu menghantui tiap kali ia memejamkan matanya.

Dia tidak bisa apa-apa.

Benar-benar tidak bisa.

TES

TES

TES

Air mata mulai jatuh dan membasahi punggung tangannya yang masih bergetar.

Dia membencinya.

Dia ingin membencinya.

Dia membenci dirinya yang lemah.

Tapi . . .

Dia tidak bisa.

Bodoh!

Benar, dia adalah wanita yang bodoh.

Semuanya hancur karena laki-laki itu.

Tapi tetap saja dia tidak bisa membencinya.

Dia terlalu mencintainya.

Sangat mencintai laki-laki itu.

.
.
.

“Aku mencintaimu Sasuke.”

 .
 .
.

Kyubi terbangun dari tidurnya. Entah mengapa malam ini terasa sangat pengap. Iapun bangun dari tidurnya dan berencana mengambil air minum di dapur  lantai satu. Ia pun melewati kamar Naruto.

“Aaaaaaaaaaakh!!!!!.”

Deg!

Kyubi di depan kamar adiknya saat mendengar teriakan lirih Naruto. Ia melihat dari celah pintu yang sedikit terbuka. Naruto sedang menangis. Awalnya dia ingin masuk dan menenangkan adik kesayangannya  tapi sesuatu menghentikannya.

“Aku mencintaimu Sasuke.” Lirihnya. Tapi meski begitu, Kyubi masih dapat mendengarnya dengan jelas.

‘Sasuke? Siapa Sasuke? Ada hubungan apa dia dengan Naruto? Aku harus segera mengetahuinya.’ Katanya dalam hati.

Kyubi melenggang pergi dari depan kamar Naruto. Ia tidak jadi mengambil air minum. Ia berbalik menuju kamarnya dan merebahkan tubuhnya ke atas ranjang king sizenya. Ia memandang langit-langit kamarnya.

Sasuke

Kata itu melintas didalam kepalanya. Nama yang keluar dari mulut adiknya. Nama yang jelas untuk seorang laki-laki. Pasti laki-laki itu tau apa yang sebenarnya terjadi pada Naruto.

“Aku harus tau siapa Sasuke itu. Ya! Aku harus tau.”

.
.
.

Jam sudah menunjuk angka 12 malam tapi Minato belum juga berniat untuk beristirahat. Ia sibuk mempelajari file-file yang akan ditandatanganinya. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, pekerjaannya kian terasa berat. Entah sampai kapan ia harus bekerja seperti ini. Kyubi, putra satu-satunya, sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan untuk meneruskan perusahaannya. Minato menghela nafas. Minato menyandarkan punggungnya ke kursi lalu meletakkan kacamata bacanya diatas meja. Ia memijit-mijit pangkal hidungnya. Tampak jelas kelelahan yang tengah melandanya.

Ia melirik ke arah tempat tidurnya. Sara, sang istri sudah tertidur sedari tadi karena kelelahan menemani putrinya membeli beberapa kebutuhan untuk wanita hamil. Sara tampak senang mengurus semua kebutuhan putri bungsunya itu.

Minato membuka laci kanan meja kerjanya. Ia mengeluarkan sebuat pigura persegi usang berwarna emas. Ia membelai kaca pigura kecil itu dengan mata sendu. Pigura berisi sebuah foto bergambar wanita dengan rambut merah menyala yang sedang tersenyum bahagia dengan seorang bayi perempuan berambut pirang dipelukannya. Sungguh hatinya sakit saat mengingat masa lalu.

“Andai kau disini sayang. Andai aku bisa memutar waktu. Aku tidak akan pernah melepaskanmu. Ini semua salahku.” Lirihnya. “Maafkan aku tidak bisa menjaga putri kita dengan baik. Maafkan aku tidak bisa menemanimu di akhir hidupmu.”

Ia tidak tahan lagi. Air matanya terus berjatuhan sekuat apapun ia menahannya. Membasahi kaca foto berharganya itu. Minato begitu larut dengan kesedihannya hingga tidak menyadari Sara terbangun dari tidurnya. Wanita itu memandang nanar suaminya. Ia tersenyum miris. Bahkan setelah 15 tahun berumah tangga, suaminya masih tetap mencintai istri pertamanya.

Ia tau. Sejak awal ia tau, ia hanyalah duri dalam hubungan Minato dan Kushina.

Andai saja ia dulu tidak egois, mungkin Kushina sekarang ini masih hidup dan bahagia bersama Minato dan selama 15 tahun ini ia tidak akan selalu hidup dalam penyesalan.

Menyesal karena telah menjadi orang ketiga.

Menyesal karena telah menyakiti banyak orang yang tidak bersalah.

Menyesal karena memisahkan anak-anak dari orang tuanya.

Karena keegoisannya, kearogansiannya memaksa Minato untuk berpisah dengan orang yang dicintainya.

Minato memang berlaku baik padanya. Pria itu bahkan tidak menyalahkannya atas apa yang terjadi padanya dan Kushina meski ia tau Saralah yang membuatnya berpisah dengan wanita yang sangat dicintainya. Minato menyalahkan dirinya yang tidak bisa melindungi keluarganya.

Tapi tidak. Ini semua adalah salahnya. Andai dia tidak memaksa Senju Harishima, ayahnya, untuk menikahkannya dengan Minato walau ia tau sudah ada Kushina disamping pria tampan itu. Ayahnya yang begitu mencintainya tentu akan mengabulkan semua permintaannya sesulit apapun itu. Ia bahkan membuat perusahaan Minato hampir bangkrut dan mengancam pria itu akan membunuh Kushina dan anak-anaknya jika ia tidak memenuhi keinginan Sara. Maka dengan berat hati Minato melepaskan Kushina hanya agar wanita yang sangat dicintainya itu tidak terluka.

Sara menangis dalam diam. Selama 15 tahun ini Minato sama sekali tidak pernah menyentuhnya sedikitpun. Pria itu memang mempelakukannya dengan baik tapi bukan sebagai istri melainkan hanya sebagai adik. Dan yah Sara memang harus puas dengan itu semua. Ia harus bersyukur karena Minato tidak membencinya.

Tapi seperti pepatah yang mengatakan nasi sudah menjadi bubur. Mereka tidak akan pernah bisa kembali ke masa lalu. Sara kini bertekad, meski tidak bisa lagi menebus kesalahannya pada Kushina tetapi paling tidak ia harus melindungi anak-anak itu. Sara akan menyayangi dan menjaga anak-anak Kushina dengan nyawanya.

.
.
.

Sebuah rumah mewah berdiri kokoh di pusat kota Suna. Bangunan bergaya klasik renaissance dengan taman luas dan indah. Di pagar rumah tersebut terpampang sebuah nama

Namikaze.

Yah rumah ini adalah rumah milik keluarga Namikaze. Kalian tidak menyangka kan kalau Naruto yang selalu berpenampilan sederhana adalah seorang nona besar. Keluarga Namikaze adalah keluarga terpandang di Suna. Bahkan banyak orang mengatakan bahwa kekayaan mereka tidak akan habis untuk tujuh turunan. Bahkan mungkin kalau di bandingkan mereka setara dengan keluarga Uchiha yang menguasai Konoha. Perbedaannya keluarga Namikaze lebih senang berada di balik layar. Beda sekali dengan keluarga Uchiha yang terang-terangan menunjukkan dirinya.

Angin berhembus sejuk hari ini walau hari sudah beranjak siang. Naruto sedang duduk di kursi taman sendirian. Sesekali ia mengelus perutnya yang sedikit membuncit. Usia kandungannya sudah melewati 3 bulan.

“Naru-chan.”

Naruto menoleh. Ia melihat Sara berjalan dari arah rumah sembari membawa sebuah nampan yang berisi setoples kue kering dan segelas susu ditangannya. Naruto tersenyum. Sara meletakkan nampan itu di sebelah Naruto. Ia kemudian ikut duduk disamping putri cantiknya itu.

“Sudah jam 10. Ayo makan kue dan minum susumu.”

“Ibu tidak usah repot. Kenapa tidak menyuruh pelayan saja.”

“Tidak, ibu ingin melakukannya sendiri untukmu.” Kata Sara sambil menyerahkan segelas susu ke tangan Naruto. “Ayo minum susumu. Oh ya hari ini Naru-chan mau makan apa biar nanti ibu minta pelayan untuk membuatkannya.”

Naruto menggeleng. “Umm, sup.”

“Sup?.”

Naruto mengangguk. “Uhm, sup tomat.”

“Baiklah kalau begitu.” Sara tersenyum. Ia membelai rambut pirang Naruto. Rambut yang sama dengan milik Minato. Sekali lagi, rasa bersalah itu menyergap hatinya. Gadis ini adalah salah satu korban keegoisannya dimasa lalu. Ia berjanji dalam hati untuk melindungi putrinya ini apapun yang terjadi.

Naruto meminum susunya dan memakan beberapa biscuit kering itu. ia beruntung karena tidak mengalami morning sickness seperti pada ibu-ibu hamil lainnya. Ia bahkan tidak mengalami ngidam yang berlebihan dan aneh-aneh. Mungkin anak yang dikandungnya merasakan apa yang dirasakan ibunya sehingga ia tidak mau menyusahkan Naruto.

.
.

Sementara itu di Konoha.

Sasuke menyesap kopinya sesekali. Ia melihat jam tangan rolex yang melekat dipergelangan tangan kirinya. Tampak beberapa wanita yang mencuri-curi pandang ke arahnya. Sasuke tidak peduli. Ia sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini.

Klining!

“Yo! Sasuke.”

Seorang pria berambut putih datang dengan menggandeng seorang wanita berambut merah disebelahnya. 
Pria berambut putih itu mendekati meja Sasuke.

“Sudah lama?.”

“Hn.”

“Ck, sama sekali tidak berubah. Selalu saja kata itu.”

“Sudahlah. Aku ingin meminta bantuanmu.”

“Eits, tumben kau meminta bantuanku. Apa anak buah keluargamu sudah tidak mampu lagi hmmm?.”

“Ck, sudahlah kau mau membantuku atau tidak.” Kata Sasuke kesal.

“Ok, Ok, jangan marah dulu. Katakana apa yang bisa kubantu.”

“Aku ingin kau mencari seseorang.”

Shuigetsu menaikkan sebelah alisnya.

“Seorang gadis.”

Ia kemudian menyeringai. “Lalu apa imbalanku?.”

“Hmm, seperti biasa.”

.
.
.

Kediaman Namikaze.

Saat ini Kyubi sedang serius berkutat dengan telpon genggamnya. Ibu dan adiknya sedang pergi jalan-jalan. Jadi ia bebas melakukan  apa saja tanpa ada yang akan mengganggu. 

“Kalau kau punya info segera hubungi aku. . . um . . . ya. Secepatnya aku ingin tau siapa yang namanya Sasuke itu.”

Kyubi menutup hpnya lalu menghela nafas. Ia mendudukkan dirinya ke sofa empuk di dekatnya. Ia memijit-mijit pelipisnya sekarang. Terlalu banyak masalah akhir-akhir ini. Membuatnya sedikit lelah dan pusing.

Brakkkk!!!

“Kyuuuuuuuuuuuu-chan.”

Seorang pria berambut raven menerobos masuk ruang keluarga Namikaze dengan tidak elitnya. Pria itu menghambur ke arah Kyubi untuk memeluknya. Sayang, Kyubi menghadiahinya telapak tangan dipipi kanan miliknya dengan penuh perasaan dan penghayatan.

“Cih, apa- apaan kau keriput bagaimana bisa kau menerobos masuk rumahku hah?!.” Marahnya.

“Kyu-chan tambah manis kalo marah.” Ucapnya tanpa peduli aura raja siluman rubah keluar dari tubuh Kyubi.

“Uchiha keriput jelek!.”

Kyubi hampir saja memukul itachi jika saja tidak ada sesuatu yang menghalanginya kali ini.

“Lho ada tamu?.”

Kedua pria itupun mengalihkan perhatiannya ke arah pintu. Disana berdiri Naruto dengan wajah tersenyum.

“Nii-san?.”

“Siapa?.”

“Ah, ini adik perempuanku Tachi. Namanya Naruto.”

Itachi memperhatikan wajah Naruto. Senyum aneh mengembang dibibirnya.

“Hn.”

.
.
.

-TBC-

.
.
.
Saya emang orang yang gak bisa konsisten. Whyyyyyy? --___________________--
Ya udahlah. Hmmm tapi saya tetep merasa ada yang aneh nih dengan cerita ini.
 .
.
.